Perjalanan di Emaus : Berjalan Bersama-Nya dalam Harapan dan Khawatirku / Lukas 24:13-35


Suatu ketika, seseorang pemuda mengalami kecelakaan yang parah dan membuat tangan kanannya harus diamputasi. Hal ini membuat dia sangat depresi, karena dia tidak bisa membayangkan seperti apa hidup dengan hanya tangan kiri saja. Selama di Rumah Sakit, dia mengutuki dirinya, atas semua yang telah dia lakukan sebelumnya. Sampai akhirnya dia bangkit dari tempat tidurnya dan berniat untuk bunuh diri. Mengingat saat itu tidak ada keluarga yang menemani, ia pun keluar jendela untuk melakukan aksi bunuh dirinya. Tetapi ketika dia melihat kebawah, ada banyak orang yang melihat lelaki dewasa yang tidak memiliki kedua tangan sedang menari-nari dan dikrumuni oleh banyak orang. Seketika itu pula, dia mengurungkan niatnya dan bersyukur atas apa yang masih dia miliki saat ini. Lalu dia turun, untuk menemui bapak itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Karena berkat bapak itu, dia tidak jadi untuk bunuh diri. Sesampainya dia dibawah, dia langsung mendekati bapak itu dan berkata,
“Terima kasih pak, kamu telah menyelamatkan nyawa saya. Tadi saya berniat untuk bunuh diri. Tetapi ketika saya melihat anda menari, saya bersyukur dan mengurungkan niat saya untuk bunuh diri”.

Seketika pula, si Bapak menjawab ;

“Maaf nak, kamu dan mereka semua ini sama saja. Kalian melihat saya seolah-olah saya sedang menari. Padahal ada sesuatu yang menyangkut di kantong belakang celana saya dan membuat saya merasa gatal. Jadi saya tidak sedang menari nak. Melainkan saya sedang berusaha untuk menghilangkan rasa gatal ini dengan melompat-lompat dan menggerakan kaki saya dengan lincah.”

Kisah ini menjadi cerminan dalam diri kita masing-masing. Dalam banyak hal, kita perlu untuk menyelesaikan masalah kita sendiri tanpa orang lain. Menyelesaikan masalahnya dengan melepaskan beban pikiran yang justru hanya menghambat dan menghalangi pandangan kita kedepannya. Sama seperti pemuda tadi, ketika dia melihat bapak itu dari atas. Dia melepaskan bebannya dan berhenti untuk mengutuki dirinya, sehingga dia memiliki pandangan yang siap untuk melangkah kedepannya. Mungkin demikian pula yang sedang dialami oleh kedua orang murid Yesus, duka dan harapan yang tidak tercapai membuat pandangan mereka tertutup. Sampai-sampai Yesus yang telah bangkit dan sedang berjalan bersama mereka, tidak mereka sadari.

Yesus mendatangi mereka dan sebenarnya sedang menyentil mereka dengan bertanya, “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?”. Sentilan sederhana tapi maknanya sangatlah mendalam. Karena kedua murid itu sedang berjalan, tetapi kecewa dan dukannya justru menyelubungi matanya sampai akhirnya dia buta akan Yesus bersama mereka, ataupun (mungkin) akan lingkungan tempat dimana mereka sedang berjalan. Kalau saja mereka ada di zaman ini, mungkin mereka adalah orang-orang yang berkendara tetapi sibuk ngobrol sampai tidak menikmati setiap perjalananya dan bahkan membahayakan keselamatannya. Atau seperti orang yang sedang berliburan, tapi sibuk memikirkan tentang oleh-oleh yang seperti apa harus aku bawakan saat aku pulang nanti.

Idealnya setiap orang harusnya mau belajar cara melepas. Karena dengan tidak mampu melepas, maka kita sedang menjalani kehidupan dengan membawa kenangan buruk masa lalu, perasaan negatif masa kini, ketakuutan akan masa depan, dan semuanya hanya akan menyebabkan begitu banyak duka dan rasa sakit. Bukan hanya pada kita, namun juga pada orang-orang yang bersama kita. Seperti kedua murid tadi, mereka berdua tidak mampu melepas duka dan kekecewaan mereka, sehingga kehadiran dan kebangkitan Yesus, tanda kemenanganNya dari kematian justru terabaikan oleh suasanan yang menghalangi pandangan mereka kepada Yesus. Sampai-sampai membuat Yesus sepertinya menjadi kesal (menurut saya) dan mengatakan “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”
       
Karena itu, jika kita mencintai keluarga kita dan rekan-rekan kerja kita, marilah kita melatih batin kita untuk melepas, sehingga kita mampu meraih keheningan, kedamaian dan kebahagian. Tetapi, dengan belajar melepas bukan berarti kita sedang melepas sepanjang waktu atau menjadi seorang biarawan. Karena seorang biarawan sekalipun yang selalu melatih batin mereka, juga memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan. Kita tidak bisa melepas segala hal sepanjang waktu, akan tetapi sungguh indah jika dalam rutinitas kita kapan saja, dalam situasi apa saja, kita memiliki kemampuan yang sebagian besar orang tidak bisa lakukan yakni sekedar melepas dan membiarkan segala sesuatu berjalan dengan alami.

Kalau kita kembali kepada teks, maka kita harus belajar cara untuk melepas masa lalu kita. Moment-moment buruk yang justru menghalangi pandangan kita untuk menikmati hidup saat ini. Tetapi, kita juga tidak diajak untuk melepas hal itu saja, karena kita juga diajak untuk melepas baik itu moment buruk ataupun moment indah sekalipun. Seperti kisah teman saya, yang sangat senang dengan bumbu pecal buatan mamanya dan mengatakan bahwa tidak ada yang lebih enak dari bumbu pecal buatan mamanya. Sehingga setiap kali diajak untuk menikmati bumbu pecal dari jawa timur sekalipun, tidak membuat dia nikmat untuk memakannya. Dengan kita belajar untuk melepas, kita bisa menikmat setiap rasa baru yang mungkin hadir di dalam kehidupan kita saat ini.

Karena apa yang terjadi saat ini seumpama seperti saat kita sedang bergantung pada satu cabang pohon yang tak lama lagi akan membuat kita jatuh ke bawah. Tugas kita cuman melompat kebawah dan biarkan Yesus menangkap dan menolong kita. Tanpa harus mengutuki diri kita yang telah memanjat pohon tersebut, ataupun khawatir kalau tidak ada yang menangkap kita dibawah. Memberanikan diri untuk melompat kebawah, adalah cara kita untuk mengatakan kalau kita mau berserah dan berjalan bersama dengan Yesus dalam setiap harapan dan kekhawatiran kita.

Komentar