Aku Masih Berdoa dan Aku Masih Hidup (I Tesalonika 5:17-18)


Ada suatu kisah tentang seorang supir bis Rumah Sakit Jiwa. Supir tersebut ditugaskan oleh pimpinan dokter untuk membawa orang-orang yang mengalami gangguan jiwa pergi rekreasi ke suatu tempat, beberapa dokter lainnya menunggu mereka di tempat yang tuju. Dengan kata lain, si supir hanya ditemani oleh beberapa ODGJ tersebut. Dalam perjalanannya, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Salah satu bannya kempes dan membuat perjalanan harus diberhentikan sebentar. Supir tersebutpun menghentikan Bis dan turun untuk mengganti ban yang kempes. Karena kesalnya, ban tersebut ditendang beberapa kali oleh si supir. Lalu kemudian ia membuaka secara perlahan baut-baut yang ada pada bannya. Karena kesalnya, ban tersebut ditendang lagi oleh si supir dan membuat keempat bautnya terlempat ke salah satu kali yang ada di dekat supir tersebut berhenti. Semakin stress dan mengeluh lah ia, kemudian salah seorang pasien ODGJ berterika kepada si supir, “Hey, mengapa mukamu muram dan bersedih”. Si supir awalnya diam saja, karena menggap tidak akan mendapatkan apa-apa dari si pasien tersebut. Sampai akhirnya, pasien tersebut berteriak kembali dan akhirnya membuat si supir kesal dan bercerita tentang masalahnya. Yang menarik, si pasien tersebut memberikan solusi, katanya. “Engkau masih memiliki 3 ban dengan empat baut yang utuh. Ambillah dari setiap ban tersebut satu baut, lalu pasanglah diban yang tidak memiliki baut tersebut. Mungkin agak goyang, tapi itu lebih baik dan akan menghantarkan kita ke bengkel terdekat.”. Si Supir bingung, karena solusi yang diberikan oleh ODGJ cukuplah masuk akal. Kemudian ia bertanya kepada pasien tersebut. “Anda pintar, tapi mengapa anda menjadi pasien ODGJ?”. Dengan penuh tawa dia berkata kepada supir, “Saya Gila, tapi saya tidak Goblok sepertimu”.
            Apa yang disampaikan dalam kisah ini sangatlah sederhana, bahwa banyak orang Kristen yang berhadapan dengan masalah malah menjadi goblok, mereka menjadi kuatir, pesimis dan penuh ketakutan. Padahal Dia punya Allah yang penuh kuasa.
            Dalam I Tesalonika 5:17-18, dituliskan bagaimana Penulis mengingatkan kepada jemaat di Tesalonika untuk berjaga-jaga setiap saat untuk menyambut kedatang Yesus yang kedua kalinya. Dengan cara tetap berdoa dan mengucap syukur dalam segala hal. Nasihat yang tampaknya masih relevan untuk saat ini. Bahwa setiap orang harusnya masih tetap berdoa, sebagai bentuk penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Bukannya menjadi Goblok, seperti yang disampaikan oleh Pasien ODGJ sebelumnya. Orang Kristen harusnya tidak perlu diam dalam kekhawatiran dan stress dalam menghadapi setiap khawatir. Juga ketakutannya.
            Tapi, benarkah bahwa manusia tidak ada yang mengeluh? Benarkah bahwa manusia tidak boleh mengeluh? Bila kita kembali pada Alkitab dan melihat beberapa kisah seperti Habakuk misalnya. Maka kita mendapati bahwa Habakuk sekalipun ia beriman kepada Tuhan, Ia juga berkeluh kesah dan menyampaikan aduannya kepada Tuhan. Bukankah ini membuktikan bahwa Tuhan kita bukanlah Tuhan yang tersinggung ketika anak-anaknya datang dengan wajah yang kusut dan muram? Bahkan dari Habakuk kita juga belajar bagaimana doa orang yang beriman dapat berisi pengaduan sekaligus pujian, mempertanyakan sekaligus percaya. Bahkan inilah bukti bahwa dalam doa, kita menjalin relasi yang baik dengan Tuhan.
            Bahkan lebih daripada itu, melalui doa kita menyadari bahwa di dalam Yesus ada kekuatan dan didalamnya juga ada ketenangan. Karena itu kita menanggalkan seluruh beban kita dan meletakannya dalam doa dan pengharapan dalam Kristus secara total. Ini pula yang menjadi bukti, bahwa orang Kristen tidak pernah bisa terlepas dari yang namanya keyakinan kepada Kristus. Makanya didalam doa, kita juga harus dengan penuh keyakinan. Tanpa keyakinan doa itu juga akan sia-sia. Sehingga, sekalipun situasi dan kondisi tidak mendukung bahkan membuat kita terjepit, kita tetap tidak boleh sampai kehilangan keyakinannya kepada Krsitus.
            Kita saat ini ada dalam masa penantian akan kehadiran Yesus untuk kedua kalinya. Dalam masa penantian ini, mungkin kita akan menghadapi banyak sekali percobaan; banyak mungkin orang yang akan mengecewakan kita, banyak pula orang yang menyakiti kita, meneror bahkan membunuh saudara-saudara kita. Tetapi kita tidak boleh hilang keyakinan dan harapan. Kita harus memiliki iman selayaknya seorang anak-anak yang berantam dengan temannya. Anak-anak yang kalah saat berantam, umumnya akan mengatakan, “Awas, aku bilang engkau kepada Bapaku. Mungkin saat ini aku sakit engkau buat. Tapi Bapaku tidak akan pernah diam melihat kesakitanku”. Kita masih memiliki Tuhan, kita masih memiliki Bapa yang akan membela kita. Itulah keyakinan kita yang kita sebut dengan iman percaya kita.
            Saudaraku, masihkah kita memiliki keyakinan dan pengharapan yang demikian? Orang yang memiliki keyakinan dan pengharapan kepada Kristus adalah orang-orang yang beriman. Dan mereka yang beriman akan tetap berdoa, sebagai bukti bahwa dirinya beriman. Karena tanpa keyakinan dan harapan (iman) orang sebenarnya akan mati, sekalipun jasmaninya hidup. Dengan itu pula, doa menjadi bukti bahwa orang Kristen tetap hidup. Itulah sesungguhnya apa yang ingin dikatakan oleh Martin Luther King, Jr., “Menjadi seorang Kristen tanpa doa sama tiak mungkinnya dengan kehidupan tanpa bernapas.” Dengan cara lain Oswald Chambers berkata, “Doa adalah napas hidup orang Kristen; bukanlah apa yang membuatnya hidup, namun bukti bahwa ia hidup.”

Komentar