Satu ayat yang sederhana dengan tema yang sebenarnya
justru lebih luas dari pada ayat yang diberikan pada kita saat ini. Ayat ini
bercerita bagaimana penulis Amsal menyadari kalau mahkota dari orang tua
adalaha anak cucu. Konsep yang kalau saya pikir-pikir mirip dengan konsep orang
suku karo “cawir metua”. Banyak
sekali anak-anak yang berdoa agar orang tuanya cawir metua, demikian pula orang
tua yang berharap dirinya bisa cawir metua. Artinya cawir metua sebagai sesuatu
yang menjadi tujuan bagi beberapa orang tua. Cawir metua sendiri adalah konsep
dimana orang tua memiliki anak-anak yang telah menikah dan memiliki cucu juga.
Karena itu pula doa orang tua kepada anaknya yang baru saja menikah adalah lampas jumpa bulan ras matawri. Berharap
agar anak-anaknya cepat memiliki keturunan. Kalau anaknya belum menikah atau
belum mendapatkan keturunan, maka untuk mengatasinya dibikin pula tradisi nengget. Tradisi orang karo, untuk memberikan
kejutan kepada anak-anaknya yang belum memiliki keturunan. Agar tendi yang dipercaya dalam diri anak
tersebut merasa malu dan akhirnya memotivasinya untuk menghasilkan keturunan.
Itu adalah gambaran keluarga yang selalu menjadi topik doa di dalam keluarga.
Sekarang saya mungkin sudah hampir pada masa-masa itu,
masa dimana saya melihat abang saya paling tua ditanyain kapan nikah. Masa
dimana kakak saya, setelah menikah ditanyain kapan punya anak, walaupun
sekarang saya juga sudah memiliki keponakan. Sekarang pula masa dimana, saya
disuruh cepat jadi pendeta, dan kalau bisa sudah memikirkan tentang nora.
Padahal bagi kami anak zaman milenial ini, umur saya ini masih terlalu muda
untuk menikah.
Dari berbagai cerita ini, hal yang saya ingin tanyakan
kepada kita semua. Bagaimana bila cawir metua tadi tidak kita
dapatkan? Bagaimana ketika anak-anak kita justru memilih untuk selibat
atau tidak menikah? Bagaimana ketika anak anda tidak mampu meberikan cucu bagi
anda? Bagaimana bila anak-anak anda, tidak mampu memberikan keturunan laki-laki
untuk anda? Beberapa waktu terakhir, saya kunjungan diakonia kepada salah satu
jemaat yang sakit. Kebetulan yang sakit adalah anaknya. Singkat cerita dalam
obrolan kami, mentor saya menanyakan kepada mamak dari anak yang sakit tersebut
soal umur yang ingin dia miliki. Seketika si Ibu menjawab, saya cuman ingin
umur yang seperti Tuhan inginkan. Saya tidak mau terlalu tua, takut menjadi
beban bagi anak-anak saya katanya. Seketika itu juga saya bingung, karena anak
yang saat itu sedang sakit lebih tua dari saya dan memang belum menikah. Yang
saya bingungkan adalah mengapa si Ibu tidak berdoa agar umurnya lebih panjang
supaya bisa melihat anak-anaknya menikah dan memiliki keturunan. Apakah si Ibu
tidak ingin cawir metua, pikir saya.
Saya belum ingin menjawab pertanyaan ini, tapi saya ingin
mengajak kita untuk berfikir lagi tentang apa yang dikatakan Amsal 17:6. Pada
teks kita juga ditulis “Dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka”.
Saya berfikir bahwa dari teks ini kita dapati, bahwa anak-anak juga akan
menjadikan Kakek, Neneknya, atau orang tuanya menjadi kebanggan. Bahkan menjadi
cerita yang sering kali dibagikan untuk orang lain. Yang menjadi pertanyaannya
adalah, bagaimana ketika orang tua kita tidak lagi menjadi cerita, justru
menjadi beban seperti yang pada umumnya disampaikan oleh beberapa Rohaniawan
sebagai “Penghasil dosa Keturunan”.
Belum lama ini, dalam pos pelayanan saya kedatangan seorang Rohaniawan. Ia
diundang langsung oleh yang keluarga yang menyediakan ruangan untuk kita
beribadah di tempat itu. Rohaniawan ini spesialisnya mengusir setan dan roh-roh
jahat. Singkat cerita, setelah urusannya dengan keluarga yang bersangkutan
selesai. Lalu ia memberikan kesaksian sedikit kepada kami semua yang hadir.
Dalam kesaksian tersebut, salah satu diantara jemaat yang hadir bertanya
tentang dosa keturunan. Disebutkannya bahwa ia memiliki kakek yang menikah 3 kali.
Lalu jawaban dari Rohaniawan tersebut adalah dia harus doa pelepasan. Agar kutukan yang datang dari kakeknya dapat diikat
dan diputuskan daripadanya. Sebab kutukan yang datang kepadanya adalah dia
perempuan dan akan menikah 3 kali atau dia bakal jomblo untuk seumur hidupnya.
Seketika itu saya berfikir ulang, apakah selama ini saya juga mengalami kutukan
yang datang dari Kakek saya, karena kakek saya menikah 3 kali. Lalu bagaimana
kutukan yang datang dari Nenek Moyang saya semisalnya juga dulunya merupakan “dukun”.
Betapa banyaknya kutukan yang datang pada saya, pikir saya demikian. Terlepas
daripada itu cerita itu semua, apakah itu benar atau tidak. Mungkin
pertanyaannya sekarang adalah, kalau begitu, apakah saya masih memiliki kebanggan atas orang tua saya atau nenek
saya ?
Katanya kita tidak boleh membangun keluarga dengan
materi, karena hanya kan menjadi perebutan bagi anak-anak kita. Tapi bagi orang
tua karo umumnya, menjadi kemaluan sendiri ketika dia tidak dapat memberikan
warisan kepada anak-anaknya. Jika demikian, masihkah ada surga itu? Bahkan
lebih lagi jika kita satukan semua pada pertanyaan yang sebelumnya. Apakah masih ada surga dalam keluarga yang
anaknya gak menikah-menikah, gak punya anak laki-laki, gak punya keturunan,
atau nenek moyagnnya justru pabrik dosa keturunan. Apakah masih ada surga
didalam keluarga yang demikian?
Definisi surga bukan soal keberadaan tetapi mengenai
kondisi yang diciptakan. Dengan kata lain, di dalam keluarga kita bisa
mendapatkan surga tersebut itu. Kalau keluarga kita buruk, maka dengan cepat
pula kita merasakan neraka. Sudahkah kita mengalaminya? Atau kita adalah
orang-orang yang malas kumpul di dalam keluarga, tidak ada ketenangan. Akhirnya
cari ketenangan di luar rumah. Kalau demikian apa yang membuat keluarga kita
menjadi surga? Atau surga yang selama ini kita bayangkan adalah kontruksi
sosial dari orang-orang yang melihat saja. Bukan tentang apa yang bisa kita
ciptakan dalam keluarga kita? Ketika keluarga tidak lagi seperti apa yang
dikatakan orang, maka kita menganggap bahwa keluarga kita tidak lagi menjadi
surga. Apa yang disampaikan oleh Amsal itu normatif, karena demikianlah pada
umumnya kehidupan seorang yang diharapkan dalam keluarga Israel. Namun tidak
dituliskan, bahwa ketika semua itu tidak terjadi, maka tidak ada surga
didalamnya kan? Dengan kata lain, yang menentukan Keluarga itu menjadi surga
bagi kita atau tidak. Itu bukan berasal dari kata orang, ataupun sesuai dengan
ukuran kata orang. Melainkan kondisi yang kita ciptakan didalamnya yang
menentukan apakah surga itu tercipta atau tidak.
Beberapa waktu yang lalu salah satu saudara kita di
terminal tempat saya pernah melayani bersaksi, bahwa dulu dia merantau ke jawa
ini di usianya yang masih muda. Bahkan ia juga memutuskan dan menikah dengan
orang keturunan sunda di usianya yang masih muda pula. Banyak cerita dan kabar
yang mengatakan kepadanya bahwa dirinya tidak mungkin mampu membina
keluarganya. Karena dia tidak mendapatkan bimbingan apapun dalam membangun
keluarga, tentu hal ini diakibat karena pernikahan mereka tidak mendapatkan
persetujuan dari keluarga di kampung. Tapi sampai detik ini, dengan penghasilan
yang secukupnya. Ia tetap menjadwalkan waktu pulangnya ke rumah. Ketika dia
sudah merasa capek untuk nyupir, ia selalu ingin pulang ke rumah melihat
anak-anaknya yang sudah besar dan sekolah. Dari kisahnya ini aku melihat,
bagaimana seorang yang mampu bersyukur menjalani kehidupannya, tidak peduli
dengan apa yang orang sampaikan tentang keluarganya, dapat merasakan bahwa
keluarganya adalah surganya. Tempat ia beristirahat sejenak dari kesibukannya
yang selama ini. Sementara ada banyak orang, yang tidak mampu mengucap syukur
dan selalu berusaha memberikan yang luar biasa istimewanya kepada keluarga
sampai tidak sadar bahwa keluarganya butuh sesuatu yang biasa-biasa saja. Waktu
yang biasa-biasa saja, ketika semua bisa tertawa dan berkumpul bersama. Atau
sesuai dengan prinsip orang Jawa, bahwa hidup itu harus mau nerimo secara legowo. Yang mau menerima semua yang terjadi didalam keluarganya
dengan lapang ada, tanpa harus membandingkannya dengan mencari setiap
kekurangan-kekurangan yang ada dalam keluarga kita.Misalnya saja seperti lagu
“Bojo Galak”, prinsip didalamnya adalah nerimo.
Karena pada kenyataannya, tidak ada kehidupan seideal cerita-cerita sinetron.
Toh, artis-artis yang memerankannya dalam kehidupannya nyata saja, dia sering
cerai.
Selain daripada itu, keluarga bisa menjadi surga ketika
keluarga dibangun oleh Tuhan. Bagaimana caranya, tentu dengan mendengarkan
Tuhan bukan dengan akal dan pikiran kita sendiri. Tapi bagaimana cara Tuhan
menjawab , mengajari dan membangun keluarga kita. Sebenarnya cara Tuhan
sederhana, ia dapat menggunakan setiap anggota keluarga kita untuk berbicara
dengan kita. Jadi bukan satu orang, melainkan di dalam setiap anggota ada Roh
kudus yang bekerja.
Tapi kenyataannya keluarga sulit dibangun oleh Tuhan,
karena ada salah mengerti di dalamnya. Sama seperti kisah seorang dari timur
yang ingin mencuci motornya yang kotor. Dalam perjalanannya, ia melihat banyak
cucian motor 24 jam. Ia melihat saja dan sampai akhirnya ia menemukan cucian
motor yang bukan 24 jam. Kemudian, si tukang cuci bertanya kepada pemuda
tersebut, “Pace, kenapa ko punya motor tidak ko cuci di tempat yang lain kah? Ko
berjalan jauh dair sana melewati banyak itu tempat cucian? Apa keunggulan sa
punya tempat cucian maka ko memilih kami” . Lalu si pemuda menjawab, “Ah, ia
kakak ko punya tempat nyucinya tidak lama seperti mereka. Ko cuci sa pu motor
cuman sejam, mereka 24 jam nyucinya”.
Apa yang terjadi pada pemuda tersebut adalah salah
mengerti. Dia sulit mengerti karena tidak bertanya maksud dari 24 jam tersebut.
Dalam keluarga sering terjadi sulit mengerti, Orang tua selalu berusaha
melakukan yang terbaik sementara anak, tidak pernah mau mengerti apa yang
dimaksudkan oleh orang tuanya. Atau sebaliknya, ketika banyak orang tua yang
selalu membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain, padahal anaknya sudah
berusaha semampunya dan berharap agar orang tuanya bangga padanya. Tapi orang
tuanya tidak memiliki kebanggan tersebut dan tetap membandingkan, karena tidak
mengerti apa yang dilakukan oleh anaknya.
Sulit mengerti sebenarnya bisa diatasi apabila ada
komunikasi yang baik terjadi di dalam keluarga tersebut. Sulit mengerti terjadi
karena tidak ada saling keterbukaan untuk satu dengan yang lainnya. Mengapa
Yesus tahu tentang kehendak Bapa? Karena Yesus satu dengan Bapa, demikianlah
Bapa satu dengan Yesus. Kesatuan di dalam keluarga itu perlu, satu bukan dengan
harus sepikir dan sepaham. Tapi satu bahwa aku mau mencoba untuk memhami dan
mendengar apa yang dimaksudkan anakku, aku mau mencoba untuk memahami dan
mendengar apa yang dimaksudkan orang tuaku.
Tanpa ada ras takut, karena kita akan semakin sulit mengerti karena ada
rasa takut yang muncul di antara masing-masing anggota keluarganya.
Mengapa anak laki-laki lebih mudah berkomunikasi dengan
Ibunya? Karena dengan ibu ada keterbukaan, sedang dengan bapak kami selalu
bicara tentang sosok laki-laki yang harus ideal. Begitu pula sebaiknya, mengapa
sulit untuk seorang anak perempuan dekat dengan ibunya? Karena dengan ibu
selalu ribut membicarakan bagaimana menjadi perempuan yang ideal, sedang dengan
bapak pembicaraannya bisa kemana aja. Beberapa orang ada yang mampu mengubah
hal ini dan membuat semuanya justru terbalik. Tapi tidak jarang, yang nyerah
pada situasi ini dan menganggap sebagai masalah. Padahal sebenarnya ini peluang
untuk bagaimana kita membangun komunikasi yang lebih baik untuk saling
mengerti.
Terakhir, didalam
keluarga tentu akan selalu yang ada namanya masalah. Karena kecewa dan
kesedihan tidak akan pernah bisa kita hindari. Termasuk dari orang-orang
terdekat kita yang justru akan memberikan kecewa yang paling berat. Misalnya
ketika seorang Ibu yang sudah bersusah payah menyiapkan sarapan, namun Suaminya tidak bisa
memakannya karena terburu-buru pada kerjaan, atau saat anak-anak kita terlau
sibuk dengan lingkungannya yang baru dan urusan sekolahnya sampai tidak
mengingat waktu bersama dengan kita lagi. Semuanya pasti akan terjadi dan
mengecewakan kita, tetapi apabila kita memiliki kesadaran bahwa setiap perjalanan ini
akan mengalami kekecewan dan mau menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Maka
kita akan jauh lebih kuat
menjalaninya karena Roh Kudus yang selalu memberi kekuatan yang baru atas kita semua. Termasuk melalui
persekutuan Gereja kita seperti komsel dan sebagainya, bukan karena rekreasinya
yang membuat kita kuat, tapi karena ada pribadi-pribadi yang mau berempati dan
mendengar.
Komentar
Posting Komentar