Keluarga Cemara? Keluargaku adalah Sorgaku? Cemara? Sorga? Ah.. Ntahlahh (Amsal 17:6)


Satu ayat yang sederhana dengan tema yang sebenarnya justru lebih luas dari pada ayat yang diberikan pada kita saat ini. Ayat ini bercerita bagaimana penulis Amsal menyadari kalau mahkota dari orang tua adalaha anak cucu. Konsep yang kalau saya pikir-pikir mirip dengan konsep orang suku karo “cawir metua”. Banyak sekali anak-anak yang berdoa agar orang tuanya cawir metua, demikian pula orang tua yang berharap dirinya bisa cawir metua. Artinya cawir metua sebagai sesuatu yang menjadi tujuan bagi beberapa orang tua. Cawir metua sendiri adalah konsep dimana orang tua memiliki anak-anak yang telah menikah dan memiliki cucu juga. Karena itu pula doa orang tua kepada anaknya yang baru saja menikah adalah lampas jumpa bulan ras matawri. Berharap agar anak-anaknya cepat memiliki keturunan. Kalau anaknya belum menikah atau belum mendapatkan keturunan, maka untuk mengatasinya dibikin pula tradisi nengget. Tradisi orang karo, untuk memberikan kejutan kepada anak-anaknya yang belum memiliki keturunan. Agar tendi yang dipercaya dalam diri anak tersebut merasa malu dan akhirnya memotivasinya untuk menghasilkan keturunan. Itu adalah gambaran keluarga yang selalu menjadi topik doa di dalam keluarga.
Sekarang saya mungkin sudah hampir pada masa-masa itu, masa dimana saya melihat abang saya paling tua ditanyain kapan nikah. Masa dimana kakak saya, setelah menikah ditanyain kapan punya anak, walaupun sekarang saya juga sudah memiliki keponakan. Sekarang pula masa dimana, saya disuruh cepat jadi pendeta, dan kalau bisa sudah memikirkan tentang nora. Padahal bagi kami anak zaman milenial ini, umur saya ini masih terlalu muda untuk menikah.
Dari berbagai cerita ini, hal yang saya ingin tanyakan kepada kita semua. Bagaimana bila cawir metua tadi tidak kita dapatkan? Bagaimana ketika anak-anak kita justru memilih untuk selibat atau tidak menikah? Bagaimana ketika anak anda tidak mampu meberikan cucu bagi anda? Bagaimana bila anak-anak anda, tidak mampu memberikan keturunan laki-laki untuk anda? Beberapa waktu terakhir, saya kunjungan diakonia kepada salah satu jemaat yang sakit. Kebetulan yang sakit adalah anaknya. Singkat cerita dalam obrolan kami, mentor saya menanyakan kepada mamak dari anak yang sakit tersebut soal umur yang ingin dia miliki. Seketika si Ibu menjawab, saya cuman ingin umur yang seperti Tuhan inginkan. Saya tidak mau terlalu tua, takut menjadi beban bagi anak-anak saya katanya. Seketika itu juga saya bingung, karena anak yang saat itu sedang sakit lebih tua dari saya dan memang belum menikah. Yang saya bingungkan adalah mengapa si Ibu tidak berdoa agar umurnya lebih panjang supaya bisa melihat anak-anaknya menikah dan memiliki keturunan. Apakah si Ibu tidak ingin cawir metua, pikir saya.  
Saya belum ingin menjawab pertanyaan ini, tapi saya ingin mengajak kita untuk berfikir lagi tentang apa yang dikatakan Amsal 17:6. Pada teks kita juga ditulis “Dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka”. Saya berfikir bahwa dari teks ini kita dapati, bahwa anak-anak juga akan menjadikan Kakek, Neneknya, atau orang tuanya menjadi kebanggan. Bahkan menjadi cerita yang sering kali dibagikan untuk orang lain. Yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana ketika orang tua kita tidak lagi menjadi cerita, justru menjadi beban seperti yang pada umumnya disampaikan oleh beberapa Rohaniawan sebagai “Penghasil dosa Keturunan”
Belum lama ini, dalam pos pelayanan saya kedatangan seorang Rohaniawan. Ia diundang langsung oleh yang keluarga yang menyediakan ruangan untuk kita beribadah di tempat itu. Rohaniawan ini spesialisnya mengusir setan dan roh-roh jahat. Singkat cerita, setelah urusannya dengan keluarga yang bersangkutan selesai. Lalu ia memberikan kesaksian sedikit kepada kami semua yang hadir. Dalam kesaksian tersebut, salah satu diantara jemaat yang hadir bertanya tentang dosa keturunan. Disebutkannya bahwa ia memiliki kakek yang menikah 3 kali. Lalu jawaban dari Rohaniawan tersebut adalah dia harus doa pelepasan. Agar kutukan yang datang dari kakeknya dapat diikat dan diputuskan daripadanya. Sebab kutukan yang datang kepadanya adalah dia perempuan dan akan menikah 3 kali atau dia bakal jomblo untuk seumur hidupnya. Seketika itu saya berfikir ulang, apakah selama ini saya juga mengalami kutukan yang datang dari Kakek saya, karena kakek saya menikah 3 kali. Lalu bagaimana kutukan yang datang dari Nenek Moyang saya semisalnya juga dulunya merupakan “dukun”. Betapa banyaknya kutukan yang datang pada saya, pikir saya demikian. Terlepas daripada itu cerita itu semua, apakah itu benar atau tidak. Mungkin pertanyaannya sekarang adalah, kalau begitu, apakah saya masih memiliki kebanggan atas orang tua saya atau nenek saya ?
Katanya kita tidak boleh membangun keluarga dengan materi, karena hanya kan menjadi perebutan bagi anak-anak kita. Tapi bagi orang tua karo umumnya, menjadi kemaluan sendiri ketika dia tidak dapat memberikan warisan kepada anak-anaknya. Jika demikian, masihkah ada surga itu? Bahkan lebih lagi jika kita satukan semua pada pertanyaan yang sebelumnya. Apakah masih ada surga dalam keluarga yang anaknya gak menikah-menikah, gak punya anak laki-laki, gak punya keturunan, atau nenek moyagnnya justru pabrik dosa keturunan. Apakah masih ada surga didalam keluarga yang demikian?
Definisi surga bukan soal keberadaan tetapi mengenai kondisi yang diciptakan. Dengan kata lain, di dalam keluarga kita bisa mendapatkan surga tersebut itu. Kalau keluarga kita buruk, maka dengan cepat pula kita merasakan neraka. Sudahkah kita mengalaminya? Atau kita adalah orang-orang yang malas kumpul di dalam keluarga, tidak ada ketenangan. Akhirnya cari ketenangan di luar rumah. Kalau demikian apa yang membuat keluarga kita menjadi surga? Atau surga yang selama ini kita bayangkan adalah kontruksi sosial dari orang-orang yang melihat saja. Bukan tentang apa yang bisa kita ciptakan dalam keluarga kita? Ketika keluarga tidak lagi seperti apa yang dikatakan orang, maka kita menganggap bahwa keluarga kita tidak lagi menjadi surga. Apa yang disampaikan oleh Amsal itu normatif, karena demikianlah pada umumnya kehidupan seorang yang diharapkan dalam keluarga Israel. Namun tidak dituliskan, bahwa ketika semua itu tidak terjadi, maka tidak ada surga didalamnya kan? Dengan kata lain, yang menentukan Keluarga itu menjadi surga bagi kita atau tidak. Itu bukan berasal dari kata orang, ataupun sesuai dengan ukuran kata orang. Melainkan kondisi yang kita ciptakan didalamnya yang menentukan apakah surga itu tercipta atau tidak.
Beberapa waktu yang lalu salah satu saudara kita di terminal tempat saya pernah melayani bersaksi, bahwa dulu dia merantau ke jawa ini di usianya yang masih muda. Bahkan ia juga memutuskan dan menikah dengan orang keturunan sunda di usianya yang masih muda pula. Banyak cerita dan kabar yang mengatakan kepadanya bahwa dirinya tidak mungkin mampu membina keluarganya. Karena dia tidak mendapatkan bimbingan apapun dalam membangun keluarga, tentu hal ini diakibat karena pernikahan mereka tidak mendapatkan persetujuan dari keluarga di kampung. Tapi sampai detik ini, dengan penghasilan yang secukupnya. Ia tetap menjadwalkan waktu pulangnya ke rumah. Ketika dia sudah merasa capek untuk nyupir, ia selalu ingin pulang ke rumah melihat anak-anaknya yang sudah besar dan sekolah. Dari kisahnya ini aku melihat, bagaimana seorang yang mampu bersyukur menjalani kehidupannya, tidak peduli dengan apa yang orang sampaikan tentang keluarganya, dapat merasakan bahwa keluarganya adalah surganya. Tempat ia beristirahat sejenak dari kesibukannya yang selama ini. Sementara ada banyak orang, yang tidak mampu mengucap syukur dan selalu berusaha memberikan yang luar biasa istimewanya kepada keluarga sampai tidak sadar bahwa keluarganya butuh sesuatu yang biasa-biasa saja. Waktu yang biasa-biasa saja, ketika semua bisa tertawa dan berkumpul bersama. Atau sesuai dengan prinsip orang Jawa, bahwa hidup itu harus mau nerimo secara legowo. Yang mau menerima semua yang terjadi didalam keluarganya dengan lapang ada, tanpa harus membandingkannya dengan mencari setiap kekurangan-kekurangan yang ada dalam keluarga kita.Misalnya saja seperti lagu “Bojo Galak”, prinsip didalamnya adalah nerimo. Karena pada kenyataannya, tidak ada kehidupan seideal cerita-cerita sinetron. Toh, artis-artis yang memerankannya dalam kehidupannya nyata saja, dia sering cerai.

Selain daripada itu, keluarga bisa menjadi surga ketika keluarga dibangun oleh Tuhan. Bagaimana caranya, tentu dengan mendengarkan Tuhan bukan dengan akal dan pikiran kita sendiri. Tapi bagaimana cara Tuhan menjawab , mengajari dan membangun keluarga kita. Sebenarnya cara Tuhan sederhana, ia dapat menggunakan setiap anggota keluarga kita untuk berbicara dengan kita. Jadi bukan satu orang, melainkan di dalam setiap anggota ada Roh kudus yang bekerja.
Tapi kenyataannya keluarga sulit dibangun oleh Tuhan, karena ada salah mengerti di dalamnya. Sama seperti kisah seorang dari timur yang ingin mencuci motornya yang kotor. Dalam perjalanannya, ia melihat banyak cucian motor 24 jam. Ia melihat saja dan sampai akhirnya ia menemukan cucian motor yang bukan 24 jam. Kemudian, si tukang cuci bertanya kepada pemuda tersebut, “Pace, kenapa ko punya motor tidak ko cuci di tempat yang lain kah? Ko berjalan jauh dair sana melewati banyak itu tempat cucian? Apa keunggulan sa punya tempat cucian maka ko memilih kami” . Lalu si pemuda menjawab, “Ah, ia kakak ko punya tempat nyucinya tidak lama seperti mereka. Ko cuci sa pu motor cuman sejam, mereka 24 jam nyucinya”.
Apa yang terjadi pada pemuda tersebut adalah salah mengerti. Dia sulit mengerti karena tidak bertanya maksud dari 24 jam tersebut. Dalam keluarga sering terjadi sulit mengerti, Orang tua selalu berusaha melakukan yang terbaik sementara anak, tidak pernah mau mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang tuanya. Atau sebaliknya, ketika banyak orang tua yang selalu membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain, padahal anaknya sudah berusaha semampunya dan berharap agar orang tuanya bangga padanya. Tapi orang tuanya tidak memiliki kebanggan tersebut dan tetap membandingkan, karena tidak mengerti apa yang dilakukan oleh anaknya.
Sulit mengerti sebenarnya bisa diatasi apabila ada komunikasi yang baik terjadi di dalam keluarga tersebut. Sulit mengerti terjadi karena tidak ada saling keterbukaan untuk satu dengan yang lainnya. Mengapa Yesus tahu tentang kehendak Bapa? Karena Yesus satu dengan Bapa, demikianlah Bapa satu dengan Yesus. Kesatuan di dalam keluarga itu perlu, satu bukan dengan harus sepikir dan sepaham. Tapi satu bahwa aku mau mencoba untuk memhami dan mendengar apa yang dimaksudkan anakku, aku mau mencoba untuk memahami dan mendengar apa yang dimaksudkan orang tuaku.  Tanpa ada ras takut, karena kita akan semakin sulit mengerti karena ada rasa takut yang muncul di antara masing-masing anggota keluarganya.
Mengapa anak laki-laki lebih mudah berkomunikasi dengan Ibunya? Karena dengan ibu ada keterbukaan, sedang dengan bapak kami selalu bicara tentang sosok laki-laki yang harus ideal. Begitu pula sebaiknya, mengapa sulit untuk seorang anak perempuan dekat dengan ibunya? Karena dengan ibu selalu ribut membicarakan bagaimana menjadi perempuan yang ideal, sedang dengan bapak pembicaraannya bisa kemana aja. Beberapa orang ada yang mampu mengubah hal ini dan membuat semuanya justru terbalik. Tapi tidak jarang, yang nyerah pada situasi ini dan menganggap sebagai masalah. Padahal sebenarnya ini peluang untuk bagaimana kita membangun komunikasi yang lebih baik untuk saling mengerti.
   Terakhir, didalam keluarga tentu akan selalu yang ada namanya masalah. Karena kecewa dan kesedihan tidak akan pernah bisa kita hindari. Termasuk dari orang-orang terdekat kita yang justru akan memberikan kecewa yang paling berat. Misalnya ketika seorang Ibu yang sudah bersusah payah menyiapkan sarapan, namun Suaminya tidak bisa memakannya karena terburu-buru pada kerjaan, atau saat anak-anak kita terlau sibuk dengan lingkungannya yang baru dan urusan sekolahnya sampai tidak mengingat waktu bersama dengan kita lagi. Semuanya pasti akan terjadi dan mengecewakan kita, tetapi apabila kita memiliki kesadaran bahwa setiap perjalanan ini akan mengalami kekecewan dan mau menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Maka kita akan jauh lebih kuat menjalaninya karena Roh Kudus yang selalu memberi kekuatan yang baru atas kita semua. Termasuk melalui persekutuan Gereja kita seperti komsel dan sebagainya, bukan karena rekreasinya yang membuat kita kuat, tapi karena ada pribadi-pribadi yang mau berempati dan mendengar.

Komentar