Dalam sebuah pelayanan bersama Anak Remaja, saya sering bertanya dan
diskusi bersama anak-anak. Karena sering kali pola pikir anak-anak yang sederhana
memberikan saya pengetahuan dan cara berfikir yang baru. Salah satunya seorang
anak bernama Abel. Dalam suatu kesempatan, saya bertanya kepada, anak-anak
Remaja saat itu. Apa hal yang paling penting dan paling kamu ingat dari ajaran
orang tuamu?. Semua memiliki jawaban yang menarik. Tapi salah satu jawaban yang
saya ingat adalah jawaban dari Abel, anak SMP yang menjawab dengan penuh
senyuman bahwa ajaran yang paling diingatnya dari Bapaknya adalah “Menjadi
seorang laki-laki yang berprinsip”. Dalam benak saya, terlalu idealis, bocah
ini. Pasti dia memiliki seorang Ayah yang idealis seperti bapak saya juga. Namun
faktanya, sedikit manusia saat ini yang masih memegang dan memiliki prinsip
dalam hidupnya. Seperti curhatan seorang Soe Hok Gie dalam melihat
teman-temannya yang berjuang bersama sama dengan dia kala itu. Gie, sangat
sedih ketika teman-temannya duduk di bangku kehormatan menjadi orang-orang yang
lupa pada prinsipnya. Makanya tidak heran ada banyak pemuda dahulu yang sangat
pasif pada dunia politik. Karena semua yang berteriak dan mengeluarkan urat
lehernya mengatakan kebenaran dan keadilan juga bisa berubah ketika di duduk di
bangku pemerintahan. Seperti banyak celutukan yang kita dengar, namanya politik
tidak ada teman yang abadi, tidak ada yang musuh abadi.
Sebagai seorang yang idealis, saya juga sering kecewa dan marah pada kakak
senior saya. Ketika mereka di kampus selalu berusaha dengan pemikiran-pemikiran
yang kritis dan kuat, namun saat kembali masuk dalam pelayanan Gereja harus
mundur hanya karena aturan-aturan dan tradisi. Bukan berarti saya antipati
terhadap aturan ataupun tradisi. Terlalu naif pula jika kita berfikir
kemanusiaan jauh lebih penting daripada aturan-aturan. Semuanya harus berjalan
seimbang. Tapi ketika kemanusiaan dilupakan hanya karena tradisi dan
aturan-aturan, saat itu pula ketidakadilan terjadi dan akan muncul manusia
manusia yang sering kita sebut sebagai pembangkang. Jangan sedih disebut
manusia pembangkang, jika yang kita perjuangkan adalah keadilan. Tapi sedihlah
seperti ketika kita menjadi manusia yang berprinsip namun menolak untuk
mendengarkan dan masuk dalam kebenaran yang orang lain sampaikan. Sama seperti
bahan kita pada saat ini, setiap orang diajak untuk menggali dan menggali
sesuatu jauh lebih dalam sampai menemukan batuan sebagai dasar ia membangun,
bukan pasir yang hanya berada pada permukaan saja. Merendahkan hati untuk mau
belajar dan melihat kebenaran dari orang lain. Ini yang sedang aku refleksikan
selama bulan ini. Bahkan ketika dulu aku kecewa kepada kakak seniorku yang
telah menjadi pendeta, saat ini pula aku merasa mengerti dan menjadi bagian
dari mereka. Yang harus mengalah, bukan untuk dikalahkan atau membuang prinsip
yang kita hidupi. Tapi menjadi seorang yang juga mau mendengar dan belajar dari
orang lain.
Bahasa yang menyusahkan, tapi inilah yang menjadi renungan kita di malam
penutup tahun baru ini. Saya akan membaginya dalam beberapa bagian,
1. Menjadi
seorang yang berprinsip harus mengenal dasarnya.
Semua orang mengatakan dirinya sebagai seorang yang berprinsip. Namun tidak
semua orang memiliki prinsip dengan dasar yang benar. Kita semua tau, jika
Firman Tuhan menjadi dasar yang benar? Apa itu, Firman Tuhan bila kita
berangkat pada Yohanes 1 maka Firman Tuhan adalah Dia yang hidup, yakni Yesus
itu sendiri. Jika Yesus menjadi kiblat kita dalam membangun sebuah prinsip maka
saat itu pula dasar itu sangatlah kuat. Namun jika prinsip itu kita buat
berdasarakan apa yang kita mau, kita rasa mudah bukan apa yang Tuhan mau. Maka
pertanyakanlah prinsip itu sendiri? Dimanakah kita membangunnya, di atas
batukah atau hanya diatas pasir? Jangan berteriak minta keadilan pada Tuhan,
jangan berteriak dan menilai Tuhan, jika pada akhirnya kehidupan yang kita
jalani bukan dari Firman Tuhan sebagai dasarnya, tetapi dari Firman Ginting,
(Alias pengakap Firman Ginting saja)
2. Menjadi
seorang yang berprinsip memang harus konsisten, namun bukan menjadi seorang
yang keras kepala.
Semua orang yang berprinsip dalam menghadapi suatu konflik akan dinilai
oleh banyak orang sebagai seorang yang keras kepala. Jangan takut, jangan
minder apalagi mundur karena penilaian ini. Justru saat seperti setiap orang
yang berprinsip itu butuh yang namanya “JEDA” untuk menjernihkan kembali. Jika
kita, menggap diri kita sebagai seorang yang berprinsip namun terus berjuang
sampai kehilangan akal sehat dan “perasaan/emosi” yang lebih menguasai. Saat
itu pula memang kita menjadi seorang yang keras kepala. Karena itu, ambil
waktumu untuk “JEDA” mengevaluasi diri dan intropeksi. Di tahun 2018 ini kita
sudah menjalani dan mengalami begitu banyak hal. Coba berefleksilah sebentar
dan lihatlah diri kita masing-masing. Orang yang tidak mau berefleksi dan
“JEDA” sebentar. Orang tersebut biasanya sudah merasa menjadi orang yang paling
benar dengan prinsipnya. Ketika seorang menjadi seperti itu, saat itu
sebenarnya dia sedang menggali dan menyelesaikan galiannya hanya pada permukaan
saja. Tidak jauh kedalam, sehingga dia hanya membangun di atas pasir. Alhasil,
wajarlah jika dia disebut sebagai orang yang keras kepala, lupa untuk menggali
kembali. Lupa untuk belajar dari orang lain, padahal sampai matipun kita terus
harus belajar pada orang lain. Ambilah waktu “JEDA”-mu, evaluasilah diri kita
masing-masing, apakah kita menjadi seorang berprinsip atau hanya menjadi
seorang yang keras kepala?
3. Menjadi
seorang yang berprinsip bukan menjadi seorang yang naif, tapi menjadi seorang
yang cerdik
Ketika saya gagal dalam tes vikaris kemarin. Nasihat yang saya refleksikan
saat ini adalah nasihat dari Bapak saya, ia mengatakan “Menjadi seorang yang
idealis itu baik, tapi menjadi seorang idealis juga harus cerdik pula. Jangan
sampai lupa pada realitas dan kenyataan yang ada”. Saya tidak bisa menceritakan
mengapa hal ini dia sampaikan. Tapi kehidupannya menjadi kesaksian sendiri
dalam hidup saya. Saat ini, Bapak saya menjadi Caleg. Saya adalah orang yang
paling tidak setuju ketika dia mengambil keputusan untuk terjun ke dunia
politik. Mengingat usianya dan sudah saatnya dia mulai untuk menikmati jerih
payahnya. Tapi disisi lain, saya mengerti tentang bagaimana menjadi seorang
yang cerdik dengan dirinya yang terjun dalam dunia politik. Seperti halnya apa
yang diajarkan dalam Film Ahok, bahwa tidak akan mungkin kita bisa mengubah
sesuatu dalam pemerintahan jika kita sendiri tidak pernah mau masuk dan alergi
terhadapnya. Bagaimana mungkin kita bisa merubah pemerintahan jika pada
akhirnya kita pasif dan antipati pada pemerintahan tersebut. Kita justru
membiarkan orang-orang yang sudah kita liat keburukannya untuk tetap berdiri
pada pemerintahan dan tidak mau untuk menggantikannya. Demikianlah yang
dimaksudkan oleh Bapak saya saat itu. Saya terlalu naif dalam melihat dunia
ini, lupa kalau saya hidup di dunia dan dunia punya cara yang begitu keras.
Cara yang mau atau tidak kita harus ikuti dan terjun di dalamnya. Tanpa harus
kehilangan prinsip kita. Bagaimana melakukannya? Kita memiliki caranya
masing-masing. Seperti kisah seseorang yang bekerja dibidang asuransi. Dia
mengatakan kalau sebulannya di mendapatkan jatah 10 juta untuk setiap kegiatan
pemasarannya. Tapi dengan idealisnya dia hanya menghabiskan 1 juta agar
perusahaan tidak mendapatkan banyak kerugian. Namun karena idealisnya tersebut,
dia malah dimarah-marahin dan dianggap tidak bekerja. Mengapa? Karena indikasi
atasanya dalam melihat pekerjaannya dari anggaran pemasaran tersebut. Semakin
banyak dihabiskannya anggaran tersebut, maka semakin yakin pula atasannya bahwa
dia bekerja. Apalagi bila hasil dari kinerjannya sesuai atau melebihi dari
target yang diinginkan. Karena itu, jadilah seorang yang berprinsip namun
jangan terlalu naif. Karena setiap orang diajarkan untuk tulus seperti merpati
dan cerdik seperti ular. Jangan terlalu cerdik juga, sampai melupakan ketulusan
merpati.
4.
Menjadi seorang yang berprinsip bukan menjadi seorang
individual dan ekslusif. Tapi menjadi seorang yang mau melihat tanpa harus
menutup diri dari kenyataan yang ada.
Menjadi seorang yang berprinsip itu sama seperti dua kucing yang diikat
dengan satu tali dilehernya masing-masing dengan posisi saling membelakangi dan
dihadapnya disediakan makanannya masing-masing pula. Jika kita menggap diri
kita sebagai seorang berprinsip dan hanya fokus pada makanan kita
masing-masing. Maka yang terjadi adalah kita saling menyakiti satu dengan yang
lainnya. Faktanya memang sulit untuk binatang bisa berbagi makanan satu dengan
yang lainnya. Tapi kita bukan binatang, kita adalah manusia. Kita bisa bekerja
bersama-sama, kita bisa pulang saling berbagi satu dengan yang lainnya.
Mendengarkan misi dan visi kita masing-masing, dan bekerja sama untuk
meraihnya. Kita membutuhkan dialog yang terbuka, kalau kata buku, apa arti
pendidikan yang kita raih jika akhrinya orang lain selalu kita anggap bodoh.
Apa artinya kita kuliah dan memiliki pendidikan yang tinggi jika akhirnya orang
tua tidak berani lagi mengajari kita sebab dia menganggap dirinya bodoh. Apa
artinya pendidikan dan umur yang lebih jika pada akhirnya justru rasa tinggi
hatilah yang muncul. Apa artinya sebuah kebenaran yang kita pegang bila
kebenaran yang kita pegang justru membuat orang lain merasa tidak bebas. Ini
adalah khotbah Yesus terakhir dibukit. Kesan pendengarnya sangatlah baik,
mengapa? Sebab ia mengajar seperti orang yang “berkuasa”, tidak seperti
ahli-ahli Taurat mereka. Apa artinya? Bukankah kala itu ahli-ahli taurat juga
memiliki kuasa? Mengapa justru Yesus mendapatkan kesan yang baik, sementara
ahli-ahli taurat yang lain tidak. Jawabanya sederhana, karena kehidupan Yesus
membuat orang lain merdeka. Kebenaran yang diajarkannya membuat orang lain
tidak terjajah dan merasa diri terhukum. Jadi jika selama tahun 2018 ini kita
masih banyak membuat orang lain merasa terhina, terjajah dan tidak bebas. Coba
tanyakan diri kita masing-masing. Tanyakan, prinsip yang kita jalani?
Jangan-jangan ada yang salah dengan dasar yang kita bangun?
Sebagaian orang yang memulai tahun 2019 ini memiliki semangat yang baru. Bahkan
kita memiliki rancangan-rancangan yang baik, tidak perlu lagi rasanya kita
membahas soal prinsip dan dasar yang kita pegang. Tapi baik bila dalam hati
kita masing-masing. Menyadari bahawa hari esok tidak ada kepastian, karena itu
sadarilah bahwa esok akan ada suka yang baru. Adapula kekecewaan yang baru
lagi. Tapi semua itu akan tetap bisa kita lewati, jika prinsip yang sudah kita
bangunkan kita letakkan dalam rancangan Tuhan saja.
Komentar
Posting Komentar