Mencari Dasar Yang Teguh (Matius 7:24-27)


Dalam sebuah pelayanan bersama Anak Remaja, saya sering bertanya dan diskusi bersama anak-anak. Karena sering kali pola pikir anak-anak yang sederhana memberikan saya pengetahuan dan cara berfikir yang baru. Salah satunya seorang anak bernama Abel. Dalam suatu kesempatan, saya bertanya kepada, anak-anak Remaja saat itu. Apa hal yang paling penting dan paling kamu ingat dari ajaran orang tuamu?. Semua memiliki jawaban yang menarik. Tapi salah satu jawaban yang saya ingat adalah jawaban dari Abel, anak SMP yang menjawab dengan penuh senyuman bahwa ajaran yang paling diingatnya dari Bapaknya adalah “Menjadi seorang laki-laki yang berprinsip”. Dalam benak saya, terlalu idealis, bocah ini. Pasti dia memiliki seorang Ayah yang idealis seperti bapak saya juga. Namun faktanya, sedikit manusia saat ini yang masih memegang dan memiliki prinsip dalam hidupnya. Seperti curhatan seorang Soe Hok Gie dalam melihat teman-temannya yang berjuang bersama sama dengan dia kala itu. Gie, sangat sedih ketika teman-temannya duduk di bangku kehormatan menjadi orang-orang yang lupa pada prinsipnya. Makanya tidak heran ada banyak pemuda dahulu yang sangat pasif pada dunia politik. Karena semua yang berteriak dan mengeluarkan urat lehernya mengatakan kebenaran dan keadilan juga bisa berubah ketika di duduk di bangku pemerintahan. Seperti banyak celutukan yang kita dengar, namanya politik tidak ada teman yang abadi, tidak ada yang musuh abadi.

Sebagai seorang yang idealis, saya juga sering kecewa dan marah pada kakak senior saya. Ketika mereka di kampus selalu berusaha dengan pemikiran-pemikiran yang kritis dan kuat, namun saat kembali masuk dalam pelayanan Gereja harus mundur hanya karena aturan-aturan dan tradisi. Bukan berarti saya antipati terhadap aturan ataupun tradisi. Terlalu naif pula jika kita berfikir kemanusiaan jauh lebih penting daripada aturan-aturan. Semuanya harus berjalan seimbang. Tapi ketika kemanusiaan dilupakan hanya karena tradisi dan aturan-aturan, saat itu pula ketidakadilan terjadi dan akan muncul manusia manusia yang sering kita sebut sebagai pembangkang. Jangan sedih disebut manusia pembangkang, jika yang kita perjuangkan adalah keadilan. Tapi sedihlah seperti ketika kita menjadi manusia yang berprinsip namun menolak untuk mendengarkan dan masuk dalam kebenaran yang orang lain sampaikan. Sama seperti bahan kita pada saat ini, setiap orang diajak untuk menggali dan menggali sesuatu jauh lebih dalam sampai menemukan batuan sebagai dasar ia membangun, bukan pasir yang hanya berada pada permukaan saja. Merendahkan hati untuk mau belajar dan melihat kebenaran dari orang lain. Ini yang sedang aku refleksikan selama bulan ini. Bahkan ketika dulu aku kecewa kepada kakak seniorku yang telah menjadi pendeta, saat ini pula aku merasa mengerti dan menjadi bagian dari mereka. Yang harus mengalah, bukan untuk dikalahkan atau membuang prinsip yang kita hidupi. Tapi menjadi seorang yang juga mau mendengar dan belajar dari orang lain.
Bahasa yang menyusahkan, tapi inilah yang menjadi renungan kita di malam penutup tahun baru ini. Saya akan membaginya dalam beberapa bagian,
1.      Menjadi seorang yang berprinsip harus mengenal dasarnya.
Semua orang mengatakan dirinya sebagai seorang yang berprinsip. Namun tidak semua orang memiliki prinsip dengan dasar yang benar. Kita semua tau, jika Firman Tuhan menjadi dasar yang benar? Apa itu, Firman Tuhan bila kita berangkat pada Yohanes 1 maka Firman Tuhan adalah Dia yang hidup, yakni Yesus itu sendiri. Jika Yesus menjadi kiblat kita dalam membangun sebuah prinsip maka saat itu pula dasar itu sangatlah kuat. Namun jika prinsip itu kita buat berdasarakan apa yang kita mau, kita rasa mudah bukan apa yang Tuhan mau. Maka pertanyakanlah prinsip itu sendiri? Dimanakah kita membangunnya, di atas batukah atau hanya diatas pasir? Jangan berteriak minta keadilan pada Tuhan, jangan berteriak dan menilai Tuhan, jika pada akhirnya kehidupan yang kita jalani bukan dari Firman Tuhan sebagai dasarnya, tetapi dari Firman Ginting, (Alias pengakap Firman Ginting saja)
2.      Menjadi seorang yang berprinsip memang harus konsisten, namun bukan menjadi seorang yang keras kepala.

Semua orang yang berprinsip dalam menghadapi suatu konflik akan dinilai oleh banyak orang sebagai seorang yang keras kepala. Jangan takut, jangan minder apalagi mundur karena penilaian ini. Justru saat seperti setiap orang yang berprinsip itu butuh yang namanya “JEDA” untuk menjernihkan kembali. Jika kita, menggap diri kita sebagai seorang yang berprinsip namun terus berjuang sampai kehilangan akal sehat dan “perasaan/emosi” yang lebih menguasai. Saat itu pula memang kita menjadi seorang yang keras kepala. Karena itu, ambil waktumu untuk “JEDA” mengevaluasi diri dan intropeksi. Di tahun 2018 ini kita sudah menjalani dan mengalami begitu banyak hal. Coba berefleksilah sebentar dan lihatlah diri kita masing-masing. Orang yang tidak mau berefleksi dan “JEDA” sebentar. Orang tersebut biasanya sudah merasa menjadi orang yang paling benar dengan prinsipnya. Ketika seorang menjadi seperti itu, saat itu sebenarnya dia sedang menggali dan menyelesaikan galiannya hanya pada permukaan saja. Tidak jauh kedalam, sehingga dia hanya membangun di atas pasir. Alhasil, wajarlah jika dia disebut sebagai orang yang keras kepala, lupa untuk menggali kembali. Lupa untuk belajar dari orang lain, padahal sampai matipun kita terus harus belajar pada orang lain. Ambilah waktu “JEDA”-mu, evaluasilah diri kita masing-masing, apakah kita menjadi seorang berprinsip atau hanya menjadi seorang yang keras kepala?
3.      Menjadi seorang yang berprinsip bukan menjadi seorang yang naif, tapi menjadi seorang yang cerdik
Ketika saya gagal dalam tes vikaris kemarin. Nasihat yang saya refleksikan saat ini adalah nasihat dari Bapak saya, ia mengatakan “Menjadi seorang yang idealis itu baik, tapi menjadi seorang idealis juga harus cerdik pula. Jangan sampai lupa pada realitas dan kenyataan yang ada”. Saya tidak bisa menceritakan mengapa hal ini dia sampaikan. Tapi kehidupannya menjadi kesaksian sendiri dalam hidup saya. Saat ini, Bapak saya menjadi Caleg. Saya adalah orang yang paling tidak setuju ketika dia mengambil keputusan untuk terjun ke dunia politik. Mengingat usianya dan sudah saatnya dia mulai untuk menikmati jerih payahnya. Tapi disisi lain, saya mengerti tentang bagaimana menjadi seorang yang cerdik dengan dirinya yang terjun dalam dunia politik. Seperti halnya apa yang diajarkan dalam Film Ahok, bahwa tidak akan mungkin kita bisa mengubah sesuatu dalam pemerintahan jika kita sendiri tidak pernah mau masuk dan alergi terhadapnya. Bagaimana mungkin kita bisa merubah pemerintahan jika pada akhirnya kita pasif dan antipati pada pemerintahan tersebut. Kita justru membiarkan orang-orang yang sudah kita liat keburukannya untuk tetap berdiri pada pemerintahan dan tidak mau untuk menggantikannya. Demikianlah yang dimaksudkan oleh Bapak saya saat itu. Saya terlalu naif dalam melihat dunia ini, lupa kalau saya hidup di dunia dan dunia punya cara yang begitu keras. Cara yang mau atau tidak kita harus ikuti dan terjun di dalamnya. Tanpa harus kehilangan prinsip kita. Bagaimana melakukannya? Kita memiliki caranya masing-masing. Seperti kisah seseorang yang bekerja dibidang asuransi. Dia mengatakan kalau sebulannya di mendapatkan jatah 10 juta untuk setiap kegiatan pemasarannya. Tapi dengan idealisnya dia hanya menghabiskan 1 juta agar perusahaan tidak mendapatkan banyak kerugian. Namun karena idealisnya tersebut, dia malah dimarah-marahin dan dianggap tidak bekerja. Mengapa? Karena indikasi atasanya dalam melihat pekerjaannya dari anggaran pemasaran tersebut. Semakin banyak dihabiskannya anggaran tersebut, maka semakin yakin pula atasannya bahwa dia bekerja. Apalagi bila hasil dari kinerjannya sesuai atau melebihi dari target yang diinginkan. Karena itu, jadilah seorang yang berprinsip namun jangan terlalu naif. Karena setiap orang diajarkan untuk tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. Jangan terlalu cerdik juga, sampai melupakan ketulusan merpati.
4.      Menjadi seorang yang berprinsip bukan menjadi seorang individual dan ekslusif. Tapi menjadi seorang yang mau melihat tanpa harus menutup diri dari kenyataan yang ada.
Menjadi seorang yang berprinsip itu sama seperti dua kucing yang diikat dengan satu tali dilehernya masing-masing dengan posisi saling membelakangi dan dihadapnya disediakan makanannya masing-masing pula. Jika kita menggap diri kita sebagai seorang berprinsip dan hanya fokus pada makanan kita masing-masing. Maka yang terjadi adalah kita saling menyakiti satu dengan yang lainnya. Faktanya memang sulit untuk binatang bisa berbagi makanan satu dengan yang lainnya. Tapi kita bukan binatang, kita adalah manusia. Kita bisa bekerja bersama-sama, kita bisa pulang saling berbagi satu dengan yang lainnya. Mendengarkan misi dan visi kita masing-masing, dan bekerja sama untuk meraihnya. Kita membutuhkan dialog yang terbuka, kalau kata buku, apa arti pendidikan yang kita raih jika akhrinya orang lain selalu kita anggap bodoh. Apa artinya kita kuliah dan memiliki pendidikan yang tinggi jika akhirnya orang tua tidak berani lagi mengajari kita sebab dia menganggap dirinya bodoh. Apa artinya pendidikan dan umur yang lebih jika pada akhirnya justru rasa tinggi hatilah yang muncul. Apa artinya sebuah kebenaran yang kita pegang bila kebenaran yang kita pegang justru membuat orang lain merasa tidak bebas. Ini adalah khotbah Yesus terakhir dibukit. Kesan pendengarnya sangatlah baik, mengapa? Sebab ia mengajar seperti orang yang “berkuasa”, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka. Apa artinya? Bukankah kala itu ahli-ahli taurat juga memiliki kuasa? Mengapa justru Yesus mendapatkan kesan yang baik, sementara ahli-ahli taurat yang lain tidak. Jawabanya sederhana, karena kehidupan Yesus membuat orang lain merdeka. Kebenaran yang diajarkannya membuat orang lain tidak terjajah dan merasa diri terhukum. Jadi jika selama tahun 2018 ini kita masih banyak membuat orang lain merasa terhina, terjajah dan tidak bebas. Coba tanyakan diri kita masing-masing. Tanyakan, prinsip yang kita jalani? Jangan-jangan ada yang salah dengan dasar yang kita bangun? 

Sebagaian orang yang memulai tahun 2019 ini memiliki semangat yang baru. Bahkan kita memiliki rancangan-rancangan yang baik, tidak perlu lagi rasanya kita membahas soal prinsip dan dasar yang kita pegang. Tapi baik bila dalam hati kita masing-masing. Menyadari bahawa hari esok tidak ada kepastian, karena itu sadarilah bahwa esok akan ada suka yang baru. Adapula kekecewaan yang baru lagi. Tapi semua itu akan tetap bisa kita lewati, jika prinsip yang sudah kita bangunkan kita letakkan dalam rancangan Tuhan saja.

Komentar

Unknown mengatakan…
Bahasa dan makna tulisannya sangat mudah dicerna dipahami pendeta.semagat terus buat tulisan2nya,....
Aron Ginting Manik (AGM) mengatakan…
Bujur melala. Tuhan berkati