Banyak anggota jemaat yang mengalami kebingungan dalam hal
persepuluhan. Mereka kerap mendengar dari banyak orang Kristen dari denominasi
lain bahwa persepuluhan merupakan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh
semua orang Kristen, karena mereka sudah diberkati atau supaya mereka
diberkati.. Lalu mengapa, kenapa dan
seperti apa itu memberikan persepuluhan?
Terlebih dahulu perlu kita sadari adalah pernyataan yang
mengatakan bahwa 10% penghasilan kita adalah hak Allah, benar. Namun hanya
sebagian (!) Karena kita memahami juga bahwa 100% milik kita adalah milik
Allah, yang kemudian dipercayakan kepada kita untuk kita tatalayani secara
bertangung jawab. Jika demikian, lalu seperti apa dan mengapa kita memberikan
persepuluhan?
Bila kita telusuri dalam Perjanjian lama, maka kita menemukan banyak jawabannya dalam Kitab Kejadian–Ulangan. Secara umum kita bisa melihat bahwa pengaturan persembahan persepuluhan tidaklah “stabil.” Ada beragam model pengaturan. Ada yang diberikan kepada orang-orang Lewi, ada yang diberikan kepada orang-orang Lewi dan janda, anak yatim dan orang asing dan ada yang tidak menjelaskan sama sekali kepada siapa persepuluhan diberikan.
Kita juga dapat melihat pergeseran tempat persembahan persepuluhan, dari tempat-tempat ibadah lokal ke pusat ibadah utama. Ada pula tradisi yang menyarankan persembahan persepuluhan dimakan bersama secara komunal sebagai tanda kebersamaan persekutuan umat percaya. Soal apa yang dipersembahkan pun beragam. Kebanyakan adalah hasil alam dan ternak, namun tidak tertutup kemungkinan diberikan dalam bentuk uang, dengan menambah seperlima dari persepuluhan tersebut. Lalu dengan peraturan yang begitu banyak.
Lalu, menjadi pertanyaan "bagaimana aku harus memberikan persembahan persepuluhan?"
Menjadi penting bagi kita untuk menolak bahwa orang Kristen yang telah ditebus oleh darah Kristus masih terikat pada kewajiban persembahan persepuluhan. Tidak wajib, bukan berarti tidak boleh. Jemaat tetap saja boleh memberikan persepuluhan, asal dengan tulus, sukarela dan disertai pemahaman yang benar, yaitu sebagai disiplin dan komitmen rohani dan pribadi, tanpa pemahaman bahwa semua itu adalah kewajiban. Justru melalui hal ini, jemaat mampu menyeimbangkan antara ibadah formal dan ibadah sosial, antara persembahan kepada Tuhan dan pelayanan kepada sesama. Dalam hal ini maka apa yang kita lakukan kepada sesama kita, termasuk pertolongan finansial, perlu dilihat sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan sendiri.
Sekalipun kita meyakini bahwa hidup kita seluruhnya adalah persembahan yang hidup bagi Allah, namun kita tetap perlu mengungkapkan syukur kita melalui persembahan uang, baik melalui persembahan mingguan dalam ibadah, persembahan persepuluhan untuk membantu tri-tugas Gereja, maupun pelayanan kasih kepada sesama, (bdk. Mat. 23:23; Luk. 12:18) sejauh dilakukan dengan motivasi pengucapan syukur. Jadi bukan, demi mendapatkan berkat Allah. Karena justru sebaliknya, kita memberi karena Allah sudah terlebih dahulu memberkati kita. Seperti kata Bapa Gereja kita J. Calvin bahwa manusia yang dibenarkan dibebaskan dari kewajiban untuk menaati Hukum Taurat untuk memperoleh keselamatan. Hukum Taurat di Alkitab penting sebagai sumber pengetahuan mengenai kehendak Allah. Tetapi bila kekuatiran mengenai hal-hal sepele (persepuluhan, sunat ataupun aturan-aturan lahiriah) menguasai kepercayaan kita, maka orang-orang demikian ini belum mengalami kebebasan hati nurani dari Rahmat Allah yang diberikan secara cuma-cuma kepada manusia.
Engkau telah memberikan begitu banyak bagiku, Berilah satu hal
lagi, yaitu sebuah hati yang bersyukur, yang tak hanya berterima kasih, ketika
kesenangan kuperoleh; namun, sebuah hati yang detaknya pun juga membawaku untuk membantu dan memberi kepada sesamku
Komentar
Posting Komentar