MERENDAH DI HADAPAN SANG MAHAKUASA Matius 21:23-32


Pengalaman saya, saat mendapatkan kesempatan khotbah di GKJ Sarimulyo rasanya seperti senang dicampur dengan ketakutan. Senang dikarenakan, dalam kesempatan berkhotbah di GKJ Sarimulyo saya tidak hanya mendapatkan kesempatan untuk bercerita saja, tetapi lebih daripada itu saya juga dapat ikut memimpin liturgi, bahkan memberikan berkat kepada anak-anak sekolah minggu. Sesuatu yang saya kira akan dilakukan bila saya sudah menjadi pendeta. Karena di GBKP, tempat saya beribadah selama ini, hanya diizinkan untuk membawa khotbah saja, sementara bagian liturgi dan pemberkatan hanya dilakukan oleh para pelayan yang sudah dithabiskan. Namun, ketika saya mulai membaca pada bagian tema yang dianjurkan pada tanggal ini, saya malah menjadi takut. Ketakutan saya muncul karena tidak mengerti tentang apa yang harus disampaikan mengenai “Merendah di Hadapan Sang Mahakuasa”. Jika jemaat GKJ Sarimulyo diajak untuk merendah, sepertinya sama seperti mengajari seorang pemain bola untuk berlari yang sudah pasti bisa dilakukan oleh seorang pemain bola, karena berlari merupakan hal yang dasar dan harus dilakukan oleh seorang pemain bola. Sama perihalnya dengan jemaat GKJ Sarimulyo, yang sekalipun memiliki campuran dari suku yang beragam, tetapi menghidupi tanah jawa dan budaya jawa. Sementara budaya jawa yang selama ini saya kenal dan lihat menjadikan sikap rendah hati sebagai dasar untuk berlaku selayaknya orang jawa. Bahkan hal ini juga selalu di ajarkan dalam pewayangan, misalnya Semar yang merupakan pusat dari punakawan sendiri dan asal usul dari keseluruhan punakawan itu sendiri. Semar disegani oleh kawan maupun lawan Semar menjadi rujukan para kesatria untuk meminta nasihat dan menjadi tokoh yang dihormati. Namun karakter tetap rendah hati, tidak sombong, jujur, dan tetap mengasihi sesama dapat menjadi contoh karakter yang baik. Penuh kelebihan tetapi tidak lupa diri karena kelebihan yang dimiliki. Sehingga dapat dipastikan bahwa jemaat GKJ Sarimulyo adalah kumpulan orang-orang yang sudah terbiasa mendengar dan bahkan mengajari kepada satu dengan yang lainnya untuk saling rendah hati.

Karena ketakutan saya berubah menjadi kebingungan, akhirnya sayapun mencoba untuk membaca Bahan Bulan Keluarga (Pedoman dari Sinodal GKJ untuk Khotbah) yang isinya justru membuat saya terheran. Adapun yang tertulis dalam bahan tersebut adalah demikian;

Paling tidak, dalam kehidupan ini ada tiga godaan yang harus kita waspadai, yakni kemelekatan pada 3P (power/kuasa, popularism/popularisme, property/kepemilikan harta). Kelekatan pada kuasa misalnya, mendorong orang untuk meraup kuasa setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya dengan perbagai cara. Dampaknya, kuasa tidak dipergunakan untuk membantu mengurai dan menyelesaikan masalah bersama melainkan malah dipakai untuk merekayasa kelanggengan kekuasaannya! Hal ini bukan hanya merupakan realitas di masyarakat melainkan juga kerap terjadi di kalangan rohaniwan. Pemimpin agama seharusnya peka terhadap penyataan Allah, rendah hati bekerjasama dengan berbagai pihak yang dipakai Allah, dan rela merendah untuk meneladankan pertobatan yang menginspirasi umat untuk turut menyatakan pertobatan. Ironisnya, banyak pemimpin justru bersikap angkuh, resisten, menolak bekerjasama, dan mengeraskan hati terhadap pelbagai masukan positif. Semua itu demi bertahannya kekuasaan!

Jika diperhatikan, maka si pembuat bahan sudah membuat simpulan mengenai realita yang terjadi di masyarakat dan bahkan di kalangan rohaniawan. Mengejutkan dan saya berharap itu hanya sekedar opini untuk membangun suasana tema khotbah ini, untuk dirasa tetap penting dan harus terus dibagikan.

Karena itu, baiklah bila kita mengetahui lebih jauh bagaimana sosok Yesus yang digambarkan dalam bahan kita yang diambil dari Matius 21:23-32. Adapun dari bahan tersebut kita menemukan; Pertama ada perasaan terganggu akan kenyamanan mereka selama ini sebagai imam pada saat itu. Sehingga dapatlah kita pahami bahwa pertanyaan yang muncul dari para imam ini dapat muncul karena kegelisahan mereka akan nasib dan kekuasaan mereka sebagai imam. Kalau dipikir lebih jauh, peristiwa ini adalah peristiwa yang beberapa kali saya hadapi sebagai seorang yang bersuku batak karo, yang kalau memberikan pendapat kepada orang tua selalu tidak dipedulikan. Karena ada anggapan yang mengatakan bahwa orang tua lebih berpenglaman dan sudah sepatutnya untuk mendidik anak. Orang tua jauh lebih paham akan apa yang paling baik oleh anaknya. Pandangan-pandangan yang jika dipikirkan lebih jauh, ternyata memang benar adanya. Karena orang tua nyatanya akan selalu benar dan lebih tahu yang baik pada masanya. Bukan berarti tidak benar pada masa sekarang juga, saya rasa simpulan itu tidaklah tepat.

Saya teringat akan apa yang disampaikan oleh Pdt. Djoko Prasetyo yang mengatakan demikian, “Apa yang saya ajarkan saat ini bukanlah sesuatu yang secara mentah dibawakan dalam jemaat anda masing masing. Sebab bila anda mengajarkan hal yang sama maka anda membawa jemaat anda mundur kepada generasi bapak sebelumnya”.Mungkin inilah simpulan yang lebih baik bahwa, orang tua memang benar pada masanya dan seorang anakpun benar pada masanya. Tapi keduanya harus benar benar memiliki kerendahan hati untuk saling mendengar dan didengar. Sehingga, dari kegiatan tersebut tidak ada lagi yang merasa dikalahkan ataupun ditaklukan. Tetapi saling berbagi pengalaman, bukankah merendah yang demikian ini menciptakan keharmonisan dalam keluarga kita?

Kedua, tindakan Yesus yang mampu mengendalikan dan mempertimbangkan setiap apa yang dilakukan olehnya. Hal tersebut dapat dilakukannya dengan tidak langsung menjawab pertanyaan dari para imam. Tetapi secara cerdas membalikan apa yang mereka tanyakan kepada dirinya dengan menanyakan asal dari kuasa Yohanes. Suatu hal yang justru membuat mereka tidak mampu memperdaya Yesus dan malah menunjukan keangkuhan mereka untuk tidak mengakui kuasa Ilahi yang bekerja atas Yohanes Pembaptis. Jika memang demikian, maka dapat diasumsikan bahwa seseorang yang rendah hati akan lebih mampu mengendalikan dirinya, tidak mudah terpancing emosinya. Lalu, apakah seorang yang rendah hati tidak boleh marah? Bukankah setiap manusia juga memiliki masa dimana ia tidak mampu menahan setiap dari emosinya? Nyatanya sekalipun Yesus rendah hati, terkadang Ia juga pernah naik darah, umpamanya ketika Ia mengusir para pedang dari halaman Bait Allah, atau mengecam kaum farisi dan ahli Taurat, atau ketika para pemuka sedang mengintai-Nya jangan sampai Ia mau menyembuhkan orang pada hari Sabat. Hal ini justru ingin menyampaikan kepada kita bahwa orang yang rendah hati juga boleh marah. Karena marah juga salah satu dari sekian banyak emosi yang telah diberikan Allah kepada kita. Tetapi Yesus juga mengingatkan dalam Ucapan bahagia, bahwa mereka yang mampu mengendalikan dirilah yang memiliki bumi. Ataupun seperti surat paulus kepada jemaat Efesus, Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.

Hal ketiga yang dapat kita lihat dari perumpaman yang merupakan teguran dari Yesus kepada para imam yakni; Mereka tidak rendah hati untuk turut serta dalam arak-arakan pertobatan umat melalui pembaptisan Yohanes. Mereka malah bersikap merendahkan Yohanes! Mereka merasa percaya diri dengan mengandalkan keselamatan pada ‘aliran darah genetik’ sebagai keturunan Abraham secara fisik! Tidak perlu pertobatan!

Sesuatu yang menurut saya masih relevan bagi saya saat ini. Kesombongan-kesombongan rohani sebagai seorang Kristen yang sudah mendapatkan keselamatan dan pengampunan, Sehingga justru membuat diri saya sebagai orang Kristen yang lebih suka untuk menghakimi akan keselamatan dari agama orang lain. Untuk itu saya berharap kalau hal ini, adalah sesuatu hal yang cuman saya alami. Karena realitanya beberapa teman yang mengatakan dirinya adalah Pancasila dan menghargai perbedaan, juga bingung bahkan “sombong iman” bila ditanyakan mengenai keselamatan oleh orang-orang yang beragama lain. Sehingga arti dari Pancasila itu juga tidak dihidupi dalam pengalaman dirinya sebagai umat Kristen.

Keempat, dari perumpaman Yesus pula,kita belajar bagaimana sikap rendah hati Yesus yang tidak pura-pura, namun dihidupi secara langsung ketika Dia mampu memusatkan sebagian besar perhatian-Nya demi golongan yang papa dan lemah. Dan dengan kata lain, kerendahan hati Yesus mewujud khususnya sebagai keakraban pada kaum yang dianggap oleh orang-orang pada masa itu sebagai orang-orang rendahan. Sesuatu yang menginspirasi banyak tokoh-tokoh yang menyeburkan dirinya langsung dalam kesederhanaan, bahkan sampai pada pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sangat berbeda misalnya dengan beberapa orang yang akan lebih mudah merendahkan hatinya didepan orang-orang yang dianggap jauh lebih hebat olehnya.

Mungkin demikian jugalah yang dimaksudkan pada teks kita saat ini, diajak merendah di hadapan Sang Mahakuasa, bukan sebagai manusia yang rendahan tetapi manusia yang memiliki martabat dan kebebasan untuk bertindak rendah hati, karena beranggapan bahwa apa yang kita lakukan kepada sesama juga menjadi perlakukan kepada Sang Mahakuasa. Karena itu pula, sekalipun saya di awal mengatakan bahwa diri saya takut membawakan bahan kita saat ini. Tetapi saya merasa senang kembali karena pada akhirnya jemaat GKJ Sarimulyo memberikan kesempatan dan mendengarkan saya untuk berbagi mengenai bahan ini. Bukti bahwa jemaat GKJ Sarimulyo adalah orang-orang yang dengan rendah hati mau memberikan dan mendengarkan saya seorang muda ini. Amin

Komentar