Ada suatu kisah, ketika seorang Koruptor yang terheran-heran ketika ia memasuki gerbang neraka. Sungguh di luar dugaan.
Ternyata suasana di neraka begitu menyenangkan. Semua petugas bersikap sopan, santun dan murah senyum. Langsung koruptor itu merasa betah tinggal di
neraka. Akan tetapi, petugas di bagian
pendaftaran berkata, “Maaf, Pak. Ternyata ada kesalahan administrasi. Bapak
belum tiba waktunya untuk meninggal dunia. Jadi, Bapak dipersilakan kembali
lagi ke Gedung KPK.”
Beberapa bulan kemudian koruptor ini betul-betul
meninggal karena tidak tahan makan seperti makanan mahasiswa selama di tempat
tahanan KPK. Ia merasa terjamin sebab ia tahu bahwa keadaan di neraka sangat
menyenangkan. Akan tetapi, baru saja beberapa menit di neraka ia kecewa. Semua
orang di situ ternyata bermuka masam. Para petugas bersikap kasar dan
marah-marah. Mereka ketus dan judes. Koruptor itu memberanikan diri bertanya
kepada seorang petugas, “Mbak, mengapa keadaan sudah berubah. Semua orang
beringas. Padahal beberapa bulan lalu di sini semua orang ramah”
Langsung petugas itu membentak, “Kapan Bapak singgah ke sini?” Koruptor itu menjawab, “Bulan Febuari”. Para petugas di situ langung menjawab, “Bulan Febuari.” Para petugas di situ langsung menertawakannya, “Ah, bulan Febuari itu bulan cinta! Menyambut hari Valentine! Waktu itu cinta sedang obral. Ada diskon. Itu promosi cinta. Sekarang promosinya sudah lewat. Bukankah anda sudah terbiasa menghadapi yang demikian? Masa Papa juga bisa ketipu dengan janji janji yang demikian?
Pilkada juga merupakan masa promosi cinta dan janji manis kepada rakyat. Ketika sedang berkampanye kita bicara dengan suara yang penuh kasih sayang, halus lembut, dan panjang sabar. Memberikan tampilan-tampilan bahwa mereka yang mencalon adalah orang-orang yang siap untuk membela, melindungi, membentu dan membawa rakyat menjadi sejahtera. Sebentar-sebentar beretorika, sebentar-sebentar blusukan, sebentar-sebentar membela rakyat yang digusur, sebentar-sebentar menjanjikan rumah dp 0%, sebentar-sebentar menjanjikan ojek terbang, tapi semuanya hanya sebentar. Bagaimana halnya kemudian hari ketika sudah menikah?Ah, T-S-T alias tahu sama tahulah! Promosinya sudah lewat. Janji kampanye tidak berlaku, karena masa kampanye sudah habis.
Kepura-puraan,
tampaknya menjadi pemandangan yang tidak lagi asing di tahun perpolitikan ini.
Banyak elite politik sibuk dengan kepura-puraan, hanya untuk mendapatkan kursi
empuk di pemerintahan. Tetapi seperti apa yang disampaikan Paulus kepada jemaat
di Roma, demikianlah hari ini mamre diajarkan untuk tidak berpura-pura. Bahkan
lebih tepatnya lagi jijiklah kepada hal tersebut, dan lakukanlah yang baik.
Perikop ini adalah perikop yang, tampaknya menjadi sering kita baca, bahakan terlalu biasa. Sama seperti halnya bahasan mengenai Orang Kristen Berpolitik. Ini menjadi sesuatu yang terus-menerus diulang, sampai-sampai saya sendiri saja sudah bosan dan muak untuk membahasnya. Termasuk ketika saya memulai untuk menulis ini, saya bingung untuk harus menulis apa lagi. Karena rasanya pembahasan-pembahasan ini sudah banyak sekali dimuat dalam berbagai artikel. Semua sudah terangkum dan jelas sekali bagi kita tentang apa dan bagaiman setiap orang kristen itu berpolitik. Tapi karena biasa, hal ini tampaknya tidak lagi diingat ataupun dilaksanakan dalam kehidupan kita saat ini. Selayaknya seorang politis yang sudah terbiasa mengungkapkan janji politiknya kepada masyarakat, sampai lupa bagaimana dan seperti apa yang harus dia lakukan untuk memenuhi janji politisnya. Semangat untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik, seketika hilang begitu saja. Tetapi firman yang sampai pada kita saat ini, mengajak kita untuk menyalakan roh dan tetap melayani Tuhan.
Tapi bagaimana mungkin ada semangat itu lagi, bila dunia saat ini semakin edan? Mungkin ini menjadi salah satu hal yang tampaknya disadari oleh banyak orang sampai lupa dengan semangat awalnya. Situasi yang dihadapi oleh Paulus saat itu juga tidak benar-benar aman dan lancar. Ia tahu saat mengirim surat ke Roma ini, harus secara hati-hati karena pengajaran-pengajaran yang melawan Paulus sangat banyak berkembang saat itu. Namun, semangatnya juga tidak kendor, Paulus tetap mengirimkan suratnya kepada jemaat di Roma. Bahkan Paulus juga mengajak mereka untuk sama sepertinya, tetap semangat dan stay di dalam jalan Tuhan. Saya yakin, bahwa ada banyak politisi yang mungkin sedang duduk nyaman dibangkunya, dahulunya adalah pemikir-pemikir yang hebat, memiliki semangat-semangat yang kuat untuk memperbaiki dan membangun bangsa. Tetapi tampaknya mereka justru mati ditelan oleh situasi yang justru mematahkan dan menguburkan semangat mereka. Spirit untuk berpolitik sehat, harusnya adalah spirit yang tidak hanya terbatas karena situasi dan kondisi saja. Karena sprit bukan karena ataupun agar orang lain, tetapi spirit ini adalah bentuk relasi kita sebagai orang Kristen yang melakukan segala sesuatunya sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Sehingga sekalipun situasi dan kondisi tidak mendukung kita, spirit itu tidak hilang. Karena kita melakukannya bukan untuk orang lain, tetapi untuk melayani Tuhan saja.
Selain dari pada itu, Paulus juga mengajak jemaat di Roma kala itu untuk membantu dan memberikan tumpangan kepada orang-orang kudus. Suatu sikap yang juga tidak jarang kita dengar, seperti misalanya “lebih baik memberi, daripada meminta”. Tapi sepertinya hal ini tidak begitu mudah pula untuk dilaksanakan, sampai-sampai perkataan ini terlalu mudah dilupakan. Karena sudah terlalu biasa. Misalnya saja, sikap pesimis yang beranggapan bahwa dirinya tidak memiliki dampak bagi banyak orang. Pola pikir yang beranggapan, bahwa “aku akan berdampak apabila aku berada pada posisi-posisi seperti elite politik” atau “aku akan berdampak apabila aku menjadi seorang mayoritas bukan minoritas”. Mitos-mitos yang menurut saya harus dikesampingkan. Sama seperti halnya untuk memberikan kasih kepada orang lain, apakah kita harus menjadi seorang yang kaya maka kita dapat mengasihi orang lain. tentu tidak, kan? Karena banyak orang kaya justru tidak mementingkan sekitarnya. Banyak pula orang-orang yang memiliki mimpi untuk memberikan dampak saat dia menjadi elite politik, tetapi faktanya malah dia tidak memikirkan rakyat kecil, bahkan justru merampas hak-hak orang lain. Karena itu Mamre diajak untuk berdampak bagi banyak orang tanpa harus berkhayal tentang posisi, terlebih kuasaan yang besar. Karena didalam pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja, Mamre juga mampu memberikan warna dan dampak yang baru bagi banyak orang.
Kemudian, apabila kita menyadari bahwa politik adalah seni yang bersangkut-paut dengan proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang berbeda kepentingannya, di mana pengambilan keputusan ini menyangkut masa depan orang banyak. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut,dibutuhkan kaidah-kaidah moral yang disebut sebagai etika politik. Maka firman ini mengajak untuk kita bersimpati dan berempati terlebih dahulu kepada orang lain. Dengan bersukacita-bersama dengan orang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis.
Jangan seperti seekor kera, yang melihat dari pohon ada banjir bandang yang tidak lama lagi menuju tempatnya. Karena berniat baik, ia pun mengatakan kepada ikan yang kebetulan sedang berenang di sungai yang tak jauh dari pohon yang sedang dipanjat oleh kera tersebut. Karena dia sudah berniat baik, maka berteriaklah ia kepada ikan tersebut; “Ikan, disana ada banjir bandang yang akan datang. Marilah, nanti kamu akan mati karenanya”. Tetapi si Ikan tidak mendengarnya, ia tetap asik berenang di sungai tersebut. Karena banjir bandang itu semakin dekat ke arah mereka, maka si Kera mengangkat ikan tersebut dari sungai dan meletaknnya di atas pohon yang lebih aman menurut si Kera. Tidak lama kemudian, ternyata si ikan mati.
Cerita ini mengingatkan bahwa, jangan hanya karena satu hal yang menurut kita baik. Kemudian kita menghasilkan keputusan ataupun tindakan yang justru membuat orang lain itu terganggu dan kehilangan akan dirinya. Kita justru diajak untuk terbuka pada situasi dan kondisi yang ada saat ini. Jangan terlalu cepat memberikan kartu kuning, sebelum tau bagaimana orang lain memberikan solusi kepada situasi yang kita anggap buruk. Ataupun sebagai Mamre, harusnya kita tidak terlalu cepat menyimpulkan tentang situasi dan kondisi pergaulan anak-anak kita. Jangan-jangan kita sudah beranggapan pada sesuatu yang salah hanya, karena kondisi dan situasi yang tidak sama seperti saat kita juga berumur seperti anak-anak kita. Tetapi jangan pula tidak perduli kepada situasi dan kondisi pergaulannya, dan terlalu sibuk untuk melaksanakan tanggung jawab. Karena justru situasi dan kondisi yang berbeda saat ini, anak-anak kita juga butuh dampingan untuk bagaimana belajar menjalani kehidupannya.
Terakhir, politik memang memiliki ruang lingkup yang
besar. Karena itu, setiap dari kita harusnya tidak perlu terlalu sibuk
memikirkan politik secara luas, bahkan tak habis-habisnya dibahas. Justru
karena kesadaran bahwa ruang lingkup politik yang terlalu besar, maka Orang
Kristen menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan seorang mamre dalam
lingkup yang kecil pula, seperti dalam lingkungan bermasyarakat, tempat bekerja
dan keluarga. Sehingga Orang Kristen yang berpolitik bukanlah kumpulan orang
yang sibuk membahas persoalan-persoalan partai, paslon ataupun pemerintahanan
yang hanya habis dan hilang setelah teh susu ataupun kopi susu yang disediakan
telah habis diminum. Sebaliknya orang Kristen yang berpolitik adalah mereka
yang benar-benar memiliki dampak dan warna bagi keluarga dan lingkungannya.
Sehingga ada damai yang tercipta dalam keluarga dan dengan lingkungan sesama
ciptaanNya.
Komentar
Posting Komentar