Belum lama ini kita mendengar seorang pendeta yang harus ditahan untuk
kedua kalinya karena kasus Korupsi. Saya tidak begitu ingin berkomentar atas
penahananya yang kedua kali ini. Tapi hal ini menjadi pesan yang nyata untuk
kita, bahwa orang-orang yang kita lihat sudah mempersembahkan dirinya sebagai
persembahan yang hidup bagi Tuhan, juga belum tentu mempersembahkan hidupnya
secara “utuh” kepada Tuhan. Lebih daripada itu pula, orang-orang yang tercatat
di dalam warta Gereja masing-masing dengan persembahan persepuluhannya, ucapan
syukurnya juga ternyata belum tentu mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan.
Bahkan yang menarik, orang-orang yang demikian ini, sekalipun diketahui oleh
pendetanya bahwa dia tidak memberikan persembahan seutuhnya kepada Tuhan. Dia
tidak akan mendapatkan teguran, sebab kalau ditegur. Takutnya persembahan
Gereja menjadi berkurang.
Seperti kasus seorang komika yang selalu membahas hal-hal yang gila dan
bahkan dalam beberapa topik ia menyentuh pula pembahasan Gereja. Sampai
akhirnya, Gereja menegurnya dan menganjutkan agar komika tersebut mengurangi
pembahasan-pembahasan yang demikian. Seketika itu pula komika tersebut menolak
permintaan dari pendeta tersebut sambil mengatakan, agar gereja mengembalikan
uang-uang yang diberikan olehnya kepada Gereja. Karena uang-uang tersebut
berasal dari kesalahan-kesalahan yang telah ditegur oleh pendeta tersebut.
Kasus setelahnya, jelas saja menurut kesaksian dari komika tersebut, Gereja
tidak berani lagi menegurnya dan membiarkan dirinya menyentuh topik-topik itu
kembali.
Demikianlah kisah-kisah yang sebutkan ini menunjukan orang-orang yang tidak
menjadikan hidupnya sebagai persembahan yang hidup untuk Tuhan. Lalu bagaimana
persembahan yang hidup itu? Jika kita telusuri dari nats khotbah yang kita
dapatkan saat ini, maka didapati bahwa persembahan atau kurban dalam natas ini
dilukiskan dengan tiga cara yakni hidup, kudus dan berkenan dengan Allah.
1. Kurban yang hidup artinya setiap orang menyerahkan
kehidupannya secara utuh kepada Tuhan. Sehingga dalam kehendak bebasnya ia
menjadikan hidupnya sebagai persembahan untuk Tuhan. Sehingga dalam akal
budinya ia menjadikan hidupnya sebagai persembahan. Jadi bukan persembahan
seperti “Ayam Oto”. Kenapa disebut
jangan seperti persembahan seperti “Ayam
oto”, sebab seperti yang kita lihat mereka jauh lebih mudah untuk ditangkap
dan dipotong. Sangat berbeda dengan manusia yang menjadikan hidupnya sebagai
persembahan yang hidup. Manusia yang hidup, yang mendapatkan kemurahan dan
anugerah dari Allah. Dalam bentuk material ataupun non material. Ketika ia
mendapatkan hal itu, maka ia akan menjadikannya sebagai persembahan kepada Tuhannya. Ia
mempersembahkan segala sesuatu yang ada dalam hidupnya kepada Allah seutuhnya
pula. Jadi apabila ada seorang pendeta yang mengatakan bahwa sepuluh persen
dikehidupan kita itu adalah bagian dari Tuhan. Mungkin ada yang keliru dari
perkataannya. Sebab seluruh bagian dalam kehidupan kita adalah untuk Tuhan.
Bahkan sehelai rambutpun kita, tidak berhak atasnya. Karena itupun adalah
miliki Tuhan. Dengan kata lain, memberi kepada Allah itu jangan
hitung-hitungan, karena Allahpun tidak pernah hitung-hitungan dalam memberikan
berkatnya kepada kita anak-anaknya.
2. Kurban yang kudus artinya kita harusnya
menyediakan hidup dan dirinya sebagai sesuatu yang khusus untuk Allah. Hal ini
sebenarnya sesuatu yang cukup sulit untuk dijelaskan. Sebab bagi beberapa
orang, bersedia menyediakan hidupnya seutuhnya untuk Tuhan. Tapi mereka
bertanya lalu darimana nanti “uang masuk” kami katanya? Atau adapula yang
melihat beberapa keluarga yang orang tuanya menyediakan hidup dan dirinya dalam
semua pelayanan. Alhasil, anak-anaknya terlupakan dan kurang didikan. Sehingga
mereka bisa memberikan didikan yang baik untuk anak anak orang lain, tapi tidak
mampu memberikan didikan untuk
anak-anaknya sendiri. Hal ini cukup sering terjadi bagi seorang pendeta.
Banyak pendeta yang jatuh dan terjebak dalam pelayanannya, sampai melupakan
keluarganya sendiri. Karena takut, dikritik oleh jemaat katanya “Apa kata
jemaat nanti? Kalau aku tidak ini dan itu?. Lalu bagaimana menjadikan hidup
sebagai persembahan yang kudus? Sebenarnya sederhana, ketika setiap detik yang
kita lakukan dalam kehidupan kita lakukan seutuhnya untuk Tuhan. Karena itu
kita tidak sembarang dalam melakukannya. Bahkan dalam setiap pekerjaan kita,
setiap pelayanan kita, setiap pendidikan yang kita jalani, tanpa terkecuali
semua tanggung jawab yang kita miliki. Lakukan itu untuk Tuhan. Jadikan itu
sebagai persembahan yang terbaik untuk Tuhan.
3. Kurban yang berkenan kepada Allah artinya dalam setiap
kehidupan kita akan selalu bertanya, apa yang terbaik untuk Tuhan,
dan Tuhan sedang menginginkan untuk kita melakukan apa dalam kehidupan kita.
Dengan kata lain, kita melakukan segala sesuatu di dalam kehidupan kita, bukan
berdasarkan ego dan keinginan pribadi kita. Tapi sesuai dengan apa yang Firman
ingin kita lakukan, bahkan jadikanlah kehidupan Yesus sebagai kiblatmu. Belum
lama ini di Sekolah Minggu kami sedikit ada masalah, karena saya meminta agar
Guru-gurunya harus menyediakan waktu persiapan sebelum mengajar secara
bersama-sama dengan saya dan Guru lainnya. Seketika semua terganggu, karena
sulit menyesuaikan waktu mereka masing masing. Lalu salah seorang Guru mengajak
untuk masing-masing Guru bertanya tentang diri mereka masing-masing. Siapkah
mereka melayani Tuhan. Apa yang disampaikan oleh Guru tersebut cukup sering
terjadi, banyak sekali orang-orang akhirnya mundur karena mereka bertanya pada
dirinya sendiri dan kemudian merasa tidak sanggup. Karena itu sayapun
mengatakan kepada Guru-Guru Sekolah Minggu juga untuk kita semua disini. Coba
tanyakan, “Apa yang Tuhan ingin kita lakukan untuknya?” Jangan-jangan selama
ini kita selalu bertanya kepada ego dan kemanusiaan kita saja. Tapi kita tidak
pernah bertanya pada Tuhan, “apa yang seharusnya kita lakukan untukNya”. Ada
banyak hubungan itu rusak karena ketidakinginan untuk saling mendengar. Semua
ingin didengarkan, semua ingin menuntut dan lupa untuk bertanya. Apa yang harus
kita lakukan untuk orang lain.
Sebagai pesan yang terakhir, ketika kita sudah memahami bagaimana untuk
menjadi persembahan yang hidup. Sudah saatnya untuk kita meminta diubahkan oleh
pembaharuan yang datangnya dari Allah. Bukan pembaharuan yang pertimbangannya
dari kedagingan, karena merasa sanggup
dan tidak sanggup. Sebab jika kedagingan selalu dipertanyakan, maka tidak ada
satupun dari kita yang mampu mempersembahkan hidup kita untuk Allah. Tapi
jangan pula ketika saya menyampaikan hal ini, kita mengambil bagian orang lain
menjadi bagian kita. Atau dengan kata lain, menjadikan diri kita sebagai orang
lain, hanya untuk berusaha menginginkan orang lain. Karena Tuhanpun
menginginkan jujur pada diri kita sendiri. Jangan sampai nanti kita terlalu
membohongi diri kita sendiri dan alhasil membuat kita melakukannya dalam
ketakutan. Sebab ada pula suatu kisah bagaimana seorang pelayan yang awalnya
tidak mau disuruh menjadi seorang penatua di Gerejanya. Lalu kemudian seorang
pendeta menyuruh salah satu ibu yang sudah sesupuh untuk berbicara dengan dia.
Dalam satu kali pertemuan, ibu itu berhasil menyuruhnya untuk menjadi seorang
penatua di Gereja tersebut. Lalu pendeta itupun bingung dan bertanya taktik apa
yang dilakukan oleh Ibu sesepuh itu sehingga membuat orang tadi yang bersikeras
menolak, seketika mau menjadi seorang pelayan. Lalu si Ibu menjawabnya dengan
penuh keyakinan, “Pendeta, jika menolak panggilan untuk menjadi seorang penatua
nanti bisa dapat kutukan. Jadi mana mungkin dia akan menolak panggilan itu”.
Sehingga pendeta itu menyadari, bahwa banyak para penatuanya ternyata menjadi
seorang pelayan bukan karena panggilan, tapi karena ketakutan.
Jadikanlah hidup kita
sebagai persembahan yang hidup untuk Tuhan. Bukan karena rasa pasrah, bukan
karena pamrih tidak ada ketulusan, bukan pula karena ketakutan. Tapi jadikanlah
hidupmu sebagai ucapan syukurmu kepada Tuhan Allahmu yang selalu bersamamu,
ketika jalan hidupmu penuh dengan suka dan duka
Komentar
Posting Komentar