PERSEMBAHAN YANG HIDUP ( Roma 12:1-3 )


Belum lama ini kita mendengar seorang pendeta yang harus ditahan untuk kedua kalinya karena kasus Korupsi. Saya tidak begitu ingin berkomentar atas penahananya yang kedua kali ini. Tapi hal ini menjadi pesan yang nyata untuk kita, bahwa orang-orang yang kita lihat sudah mempersembahkan dirinya sebagai persembahan yang hidup bagi Tuhan, juga belum tentu mempersembahkan hidupnya secara “utuh” kepada Tuhan. Lebih daripada itu pula, orang-orang yang tercatat di dalam warta Gereja masing-masing dengan persembahan persepuluhannya, ucapan syukurnya juga ternyata belum tentu mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan. Bahkan yang menarik, orang-orang yang demikian ini, sekalipun diketahui oleh pendetanya bahwa dia tidak memberikan persembahan seutuhnya kepada Tuhan. Dia tidak akan mendapatkan teguran, sebab kalau ditegur. Takutnya persembahan Gereja menjadi berkurang.

Seperti kasus seorang komika yang selalu membahas hal-hal yang gila dan bahkan dalam beberapa topik ia menyentuh pula pembahasan Gereja. Sampai akhirnya, Gereja menegurnya dan menganjutkan agar komika tersebut mengurangi pembahasan-pembahasan yang demikian. Seketika itu pula komika tersebut menolak permintaan dari pendeta tersebut sambil mengatakan, agar gereja mengembalikan uang-uang yang diberikan olehnya kepada Gereja. Karena uang-uang tersebut berasal dari kesalahan-kesalahan yang telah ditegur oleh pendeta tersebut. Kasus setelahnya, jelas saja menurut kesaksian dari komika tersebut, Gereja tidak berani lagi menegurnya dan membiarkan dirinya menyentuh topik-topik itu kembali.
Demikianlah kisah-kisah yang sebutkan ini menunjukan orang-orang yang tidak menjadikan hidupnya sebagai persembahan yang hidup untuk Tuhan. Lalu bagaimana persembahan yang hidup itu? Jika kita telusuri dari nats khotbah yang kita dapatkan saat ini, maka didapati bahwa persembahan atau kurban dalam natas ini dilukiskan dengan tiga cara yakni hidup, kudus dan berkenan dengan Allah. 
1.   Kurban yang hidup artinya setiap orang menyerahkan kehidupannya secara utuh kepada Tuhan. Sehingga dalam kehendak bebasnya ia menjadikan hidupnya sebagai persembahan untuk Tuhan. Sehingga dalam akal budinya ia menjadikan hidupnya sebagai persembahan. Jadi bukan persembahan seperti “Ayam Oto”. Kenapa disebut jangan seperti persembahan seperti “Ayam oto”, sebab seperti yang kita lihat mereka jauh lebih mudah untuk ditangkap dan dipotong. Sangat berbeda dengan manusia yang menjadikan hidupnya sebagai persembahan yang hidup. Manusia yang hidup, yang mendapatkan kemurahan dan anugerah dari Allah. Dalam bentuk material ataupun non material. Ketika ia mendapatkan hal itu, maka ia akan menjadikannya sebagai persembahan kepada Tuhannya. Ia mempersembahkan segala sesuatu yang ada dalam hidupnya kepada Allah seutuhnya pula. Jadi apabila ada seorang pendeta yang mengatakan bahwa sepuluh persen dikehidupan kita itu adalah bagian dari Tuhan. Mungkin ada yang keliru dari perkataannya. Sebab seluruh bagian dalam kehidupan kita adalah untuk Tuhan. Bahkan sehelai rambutpun kita, tidak berhak atasnya. Karena itupun adalah miliki Tuhan. Dengan kata lain, memberi kepada Allah itu jangan hitung-hitungan, karena Allahpun tidak pernah hitung-hitungan dalam memberikan berkatnya kepada kita anak-anaknya.

2.   Kurban yang kudus artinya kita harusnya menyediakan hidup dan dirinya sebagai sesuatu yang khusus untuk Allah. Hal ini sebenarnya sesuatu yang cukup sulit untuk dijelaskan. Sebab bagi beberapa orang, bersedia menyediakan hidupnya seutuhnya untuk Tuhan. Tapi mereka bertanya lalu darimana nanti “uang masuk” kami katanya? Atau adapula yang melihat beberapa keluarga yang orang tuanya menyediakan hidup dan dirinya dalam semua pelayanan. Alhasil, anak-anaknya terlupakan dan kurang didikan. Sehingga mereka bisa memberikan didikan yang baik untuk anak anak orang lain, tapi tidak mampu memberikan didikan untuk  anak-anaknya sendiri. Hal ini cukup sering terjadi bagi seorang pendeta. Banyak pendeta yang jatuh dan terjebak dalam pelayanannya, sampai melupakan keluarganya sendiri. Karena takut, dikritik oleh jemaat katanya “Apa kata jemaat nanti? Kalau aku tidak ini dan itu?. Lalu bagaimana menjadikan hidup sebagai persembahan yang kudus? Sebenarnya sederhana, ketika setiap detik yang kita lakukan dalam kehidupan kita lakukan seutuhnya untuk Tuhan. Karena itu kita tidak sembarang dalam melakukannya. Bahkan dalam setiap pekerjaan kita, setiap pelayanan kita, setiap pendidikan yang kita jalani, tanpa terkecuali semua tanggung jawab yang kita miliki. Lakukan itu untuk Tuhan. Jadikan itu sebagai persembahan yang terbaik untuk Tuhan.

3.    Kurban yang berkenan kepada Allah artinya dalam setiap kehidupan kita akan selalu bertanya, apa yang terbaik untuk Tuhan, dan Tuhan sedang menginginkan untuk kita melakukan apa dalam kehidupan kita. Dengan kata lain, kita melakukan segala sesuatu di dalam kehidupan kita, bukan berdasarkan ego dan keinginan pribadi kita. Tapi sesuai dengan apa yang Firman ingin kita lakukan, bahkan jadikanlah kehidupan Yesus sebagai kiblatmu. Belum lama ini di Sekolah Minggu kami sedikit ada masalah, karena saya meminta agar Guru-gurunya harus menyediakan waktu persiapan sebelum mengajar secara bersama-sama dengan saya dan Guru lainnya. Seketika semua terganggu, karena sulit menyesuaikan waktu mereka masing masing. Lalu salah seorang Guru mengajak untuk masing-masing Guru bertanya tentang diri mereka masing-masing. Siapkah mereka melayani Tuhan. Apa yang disampaikan oleh Guru tersebut cukup sering terjadi, banyak sekali orang-orang akhirnya mundur karena mereka bertanya pada dirinya sendiri dan kemudian merasa tidak sanggup. Karena itu sayapun mengatakan kepada Guru-Guru Sekolah Minggu juga untuk kita semua disini. Coba tanyakan, “Apa yang Tuhan ingin kita lakukan untuknya?” Jangan-jangan selama ini kita selalu bertanya kepada ego dan kemanusiaan kita saja. Tapi kita tidak pernah bertanya pada Tuhan, “apa yang seharusnya kita lakukan untukNya”. Ada banyak hubungan itu rusak karena ketidakinginan untuk saling mendengar. Semua ingin didengarkan, semua ingin menuntut dan lupa untuk bertanya. Apa yang harus kita lakukan untuk orang lain.  

Sebagai pesan yang terakhir, ketika kita sudah memahami bagaimana untuk menjadi persembahan yang hidup. Sudah saatnya untuk kita meminta diubahkan oleh pembaharuan yang datangnya dari Allah. Bukan pembaharuan yang pertimbangannya dari kedagingan,  karena merasa sanggup dan tidak sanggup. Sebab jika kedagingan selalu dipertanyakan, maka tidak ada satupun dari kita yang mampu mempersembahkan hidup kita untuk Allah. Tapi jangan pula ketika saya menyampaikan hal ini, kita mengambil bagian orang lain menjadi bagian kita. Atau dengan kata lain, menjadikan diri kita sebagai orang lain, hanya untuk berusaha menginginkan orang lain. Karena Tuhanpun menginginkan jujur pada diri kita sendiri. Jangan sampai nanti kita terlalu membohongi diri kita sendiri dan alhasil membuat kita melakukannya dalam ketakutan. Sebab ada pula suatu kisah bagaimana seorang pelayan yang awalnya tidak mau disuruh menjadi seorang penatua di Gerejanya. Lalu kemudian seorang pendeta menyuruh salah satu ibu yang sudah sesupuh untuk berbicara dengan dia. Dalam satu kali pertemuan, ibu itu berhasil menyuruhnya untuk menjadi seorang penatua di Gereja tersebut. Lalu pendeta itupun bingung dan bertanya taktik apa yang dilakukan oleh Ibu sesepuh itu sehingga membuat orang tadi yang bersikeras menolak, seketika mau menjadi seorang pelayan. Lalu si Ibu menjawabnya dengan penuh keyakinan, “Pendeta, jika menolak panggilan untuk menjadi seorang penatua nanti bisa dapat kutukan. Jadi mana mungkin dia akan menolak panggilan itu”. Sehingga pendeta itu menyadari, bahwa banyak para penatuanya ternyata menjadi seorang pelayan bukan karena panggilan, tapi karena ketakutan.
Jadikanlah hidup kita sebagai persembahan yang hidup untuk Tuhan. Bukan karena rasa pasrah, bukan karena pamrih tidak ada ketulusan, bukan pula karena ketakutan. Tapi jadikanlah hidupmu sebagai ucapan syukurmu kepada Tuhan Allahmu yang selalu bersamamu, ketika jalan hidupmu penuh dengan suka dan duka

Komentar