Pindah Agama, menjadi salah satu diskusi yang menarik saat ini. Banyak
orang mulai melihat hal ini, terlebih dilakukan oleh seorang yang mau menikahi
BTP. Hal yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana bisa kita berpindah
Agama? Bila selama ini kita hidup dan dibesarkan oleh agama kita masing-masing.
Kemungkinan besar berarti ada yang salah dalam ajaran Agama yang kita anut.
Atau sebenarnya orang yang mengajarkan Agama tersebut yang membuat kekecewaan
kepada kita, sampai tidak mempercayai kembali pada Agama yang kita peluk saat
ini. Atau mungkin bisa saja, kita salah dalam memahami ajaran Agama kita
sendiri. Nah, atau ini atas nama
Cinta? Kalau memang atas nama cinta, berarti Cinta melebihi dari pada Agama itu
sendiri? Namun, bukankah seharusnya dalam beragama itu seorang penuh cinta?
Jadi ini bagaimana bisa?
Salah satu dari teman sekolah saya ada juga yang berpindah Agama. Padahal
seingat saya, sejak dia berada di Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah
Atas, ia selalu berada di sekolah yang dimiliki oleh Yayasan Kristen ataupun
Yayasan Katolik. Bahkan dia, cukup rajin dalam beribadah. Hal yang paling saya
ingat dari percakapan kami adalah tegurannya ketika saya melakukan kesalahan
dan mendapatkan informasi bahwa, saya bercita-cita menjadi seorang Pendeta. Ia
menegur saya dan mengatakan, “Seperti anda ini, calon pendeta nanti. Bagaimana
nanti jemaatnya?”. Kata-kata yang selalu saya ingat dari dia, karena memang
kelakukan saya saat itu cukup nakal baginya. Tapi saya tidak ambil pusing saat
itu, karena saya pikir kesalahan yang dilihatnya adalah kesenangan tersendiri
buat saya (Tentu, hal ini perlu dikritisi pula). Tapi yang terpenting justru
bukan teguran itu, tapi mengapa dia memilih untuk berpindah Agama. Bahkan yang
sangat menyedihkan, orang tuanya sangat bersedih dan malu mendengar keputusan
itu keluar dari mulutnya. Alhasil Ibunya juga harus keluar dari Gereja
tersebut, bukan karena dia menginginkannya. Tetapi, ini dikarenakan orang-orang
yang berada dalam Gereja terus menghakimi dan menggap dirinya sebagai sosok
yang gagal dalam mendidik anak-anaknya. Kala itu, saya tidak mengenal ibunya
dan saya juga tidak berada dalam komunitas Gereja tersebut. Tapi saya mengenal
beberapa orang yang menghakimi ibunya tersebut. Saya hanya bertanya kepada
mereka, apa yang utama dari kemanusiaan Yesus? Bukankah, Kasih adalah nilai
utama dari kehidupan Yesus, lalu mengapa pengikutnya tidak menghidupi tersebut?
Seketika itu, juga saya dianggap sebagai seorang yang terlalu
menggampangkan banyak hal. Tidak, benar-benar memiliki ketegasan dalam
mengimani Kristus. Karena saya tidak memberikan teguran kepada seorang Ibu yang
telah membiarkan anak-anaknya berpindah keyakinan. Justru malah memberikan
pembelaan kepada itu. Tentu, saya tidak akan membela diri saya. Sebab bagi saya
ini adalah pengalaman dan jalan yang saya percayai ketika hidup bersama
Kristus. Justru, hal yang perlu ditanyakan adalah diri kita sendiri. Bagaimana
bila seorang dari beragama lain meninggalkan agamanya hanya untuk menjadi
seorang Kristen, saya rasa kita akan memiliki sikap yang berbeda dalam merespon
hal ini. Mengapa? Sebagai komunitas suatu Agama, kita akan merasa diuntungkan
karena orang lain masuk dalam komunitas kita sendiri. Jadi, apakah ini soal
keuntungan dari komunitas saja, atau nilai dan cara hidup yang kita percayai?
Jangan-jangan ke-egois-an kita menjadi ungkapan kita dalam beragama?
Ketika, sampai pada titik ini. Maka bentuk “empati” saya akan
dipertanyakan. Masa-kan, sebagai
orang tua, saya tidak merasa gagal, ketika anak saya nantinya akan berpindah
pada agama lain. Apalagi, bila suatu saat nanti saya menjadi seorang pendeta,
lalu anak saya berpindah pada agama lain. Tentu saya akan merasa, menjadi
seorang tua yang gagal. Itu hal yang lumrah, tapi tahukah anda. Bahwa yang
membuat saya merasakan hal itu nantinya, bukan karena pilihan yang diambil oleh
anak ataupun seorang dalam keluarga saya. Tetapi saya menjadi pribadi gagal dan
menyedihkan justru karena, orang-orang yang berada dilingkungan saya, terus
menerus menghakimi saya dan bertanya
selayaknya allah yang baru. Mengapa? Karena kesedihan itu semakin berlipat
ganda oleh penghakiman yang diberikan oleh orang lain kepada diri saya. Lalu,
jika demikian, apa artinya persekutuan di dalam Kasih?
Saya mengerti bila, dari semua yang telah saya tuliskan tidak sedikitpun
memberikan jawaban bagi para pembaca, tidak mengapa. Sebab sayapun tidak
memahami betul, mana jawaban yang paling baik untuk pertanyaan ini. Tapi saya
memahami, bahwa setiap orang tidak pernah memilih untuk hadir di dunia ini
dengan memiliki agama yang seperti apa dan bagaimana. Karena itu, sebagai orang
tua, baik bila ditanamkan dalam diri masing masing. Bahwa keturunanmu, bukanlah
menjadi milikmu secara pribadi. Sebab yang memilikinya adalah Allah. Orang tua
hanya diberikan tanggung jawab untuk mengenalkan cinta dan kasih yang mereka
rasakan dalam mereka beragama. Sebab beragama itu, bagi saya merupakan bentuk
dari perayaan CINTA itu sendiri. Saat anak dan orang lain tidak merasakan itu
dalam, Agama yang kita miliki dan ajarkan. Biarkan dia berkembang dan memilih
jalannya, sebab Allah lebih besar daripada agama itu sendiri.
Sebab apa artinya, setiap orang mengatakan bila dia mencintai Allah dalam
perayaan Agamanya. Namun tidak pernah membagikanNya kepada orang-orang
disekitarnya. Untuk itu, sebelum bertanya Mengapa, orang lain memilih berpindah
dari apa yang kita yakini dan rayakan. Tanyakan pada diri kita sendiri, apa
yang telah kita bagikan kepadanya. Karena seseorang itu tidak mampu menjelaskan
bagaimana dan apa itu Allah. Tapi setiap orang mampu membagikan pengalamannya
bersama Allah kepada orang lain, sehingga orang lain mampu menerima dan
merasakannya pula. Dengan kata lain, beragama itu adalah penamaan atas apa yang
kita sebut sebagai pengalaman bersama Allah. Jadi, bagaimana mungkin kita
mengatakan jangan berpindah, bila dia tidak pernah mengalami apa yang sedang
kita hidupi ketika bersama Kristus?
Sehingga tidak heran, banyak orang yang memilih untuk meninggalkan agamanya
ketika dia memutuskan untuk berkeluarga. Selain karena tuntutan dari konstruksi
sosial / cibiran orang yang tidak memperbolehkan
hal tersebut. Juga karena dalam dia mengenal pasangannya, diapun meraskan
pengalaman hidup dalam cinta dan kasih dari Allah yang dia hidupi. Alhasil, ini
akan menjadi tanggung jawab tersendiri bagi orang yang membawa dia berpindah
dari agama sebelumnya. Walaupun demikian, hal ini juga baik untuk kita kritisi
kembali. Seperti halnya saat pengalaman saya yang menjalin kasih dengan seorang
yang beragama berbeda dengan saya. Kala itu, dia menyatakan dirinya dan memilih
untuk menjadi seorang Kristen seperti saya. Selayaknya, manusia biasa yang
melihat suatu keuntungan. Sayapun berbahagia, karena ada seorang yang masuk
dalam komunitas saya. Tapi disisi lain, saya juga mengujinya. Sebab bagi saya
beragama itu, bukan soal perayaan Cinta pada sesama saja, tetapi juga bersama
dengan Allah. Alhasil kekecewaan itu datang dan mengisi kehidupannya. Sebab
saya memilih untuk fokus pada impian saya. Seperti yang saya duga pula, hal
inipun berpengaruh pada apa yang dia inginkan sebelumya untuk masuk dalam agama
saya sendiri. Dia tidak menginginkannya lagi, dan memilih stay dengan agamanya sendiri.
Sekiranya kita memahaminya sekarang, bahwa dari kesemua hal ini beragama
itu bentuk dari kebebasan seseorang dalam memahami apa yang mereka anggap
sebagai kebenaran. Benar, bahwa setiap orang tidak pernah memilih untuk
beragama seperti apa kelak saat ia lahir di dunia ini. Tapi setiap orang berhak
untuk menentukan dan mengalami cinta itu sendiri. Demikian juga kita yang
merayakan cinta itu, tidak perlu untuk menghakimi dan merasa bahwa diri kita
adalah allah baru yang mewakili dari Allah yang kita cintai. Jangan tutup
pemikiran kita dengan kata “Surga” dan “Neraka”. Sebab kita tidak berhak
menentukannya, terlebih apa arti cintaMu kepada Allah, bila surga yang menjadi keinginanmu,
bukan Dia yang mencintaimu.
Berhenti pula untuk mencari dan belari dari yang satu dengan yang lainnya.
Sekalipun itu kita lakukan, atas nama cinta. Sebab CINTA dari Allah itu bukan
dari usaha ataupun perjuangan dari diri kita kepada Allah, sebaliknya Allah
sendirilah yang menganugerahkan CINTA itu kepadamu. Karena itu, cukup rasakan
dan bagikan kepada banyak orang.
Terakhir, berhenti pula
untuk mengasihani dirimu, bila kerabatmu ataupun anakmu harus pergi
meninggalkan agamamu sendiri. Sebab saat engkau mencintai kerabat ataupun
anakmu sendiri, saat itu pula engkau memberikan dan menyadari bahwa, dia memiliki hidup dan kebebasan itu. Selayaknya
Allah yang mencintai Adam dan Hawa, ataupun umatNya. Dia tidak pernah
memaksakan hal apapun dalam diri Adam dan Hawa, ataupun umatNya. Justru
CINTAnya membebaskan kita, untuk memilih setiap jalan hidup yang kita alami.
Tapi kasihanilah mereka yang tidak merasakan dan merayakan CINTA yang itu
bersama Allah. Dan kasihanilah orang-orang yang mengaku beragama dan mencintai
Allah, namun masih memiliki ego yang melebihi dari cinta itu sendiri. Selamat
merayakan CINTA-mu bersama Allahmu dan mari kita bagikan CINTA tersebut pada
semua Makhluk Ciptaan yang dikasihi olehNya.
Komentar
Posting Komentar