HAI TUAN LAHAN, BENARKAH PEMERATAAN DAN KEADILAN ITU, SEDANG ENGKAU PERJUANGKAN?

(Refleksi Debat CAPRES )


Kisah kebun anggur Nabot dalam teks 1 Raja-raja 21: 1-29 menjadi kisah yang muncul dalam benak saya ketika mendengar debat CAPRES. Perikop ini menceritakan bagaimana kebun anggur seseorang bernama Nabot diambil paksa dengan cara yang “licik”. Awalnya raja Samaria bernama Ahab yang meminta Nabot agar mau menukar kebun anggurnya dengan kebun anggur Ahab. Tetapi Nabot tidak mau menukar tanahnya meskipun sudah ditawari kebun anggur yang lebih baik maupun uang sebagai gantinya. Kemudian Izebel, istri Ahab, dengan sebuah siasat licik mencoba membunuh Nabot agar tanahnya bisa dikuasai. Izebel menyuruh agar Nabot difitnah dan dilempari batu sampai mati. Kemudian siasat itu berhasil, Nabot mati dan kebun anggurnya bisa dikuasai oleh Ahab. Mungkin bagi beberapa teolog, ini suatu pemaksaan pemikiran dari pribadi saya. Tapi, tak apalah, saya hanyalah seorang calon teolog yang melihat beberapa kecurigaan seperti;

Bagaimana bisa, seseorang memiliki tanah (sekalipun dalam bentuk HGU) yang begitu luas di Pulau Kalimantan? Sementara menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan ada begitu banyak konflik tumpang tindih lahan di Pulau Kalimantan.[1]

Bahkan (lagi), menurut salah satu artikel[2] yang saya akses disebutkan bahwa; Menurut hukam adat dayak, tanah yang diwariskan dari para orang tua akan turun temurun menjadi milik keturunannya.Tentu, ada alasan logis mengenai kepemilikan tanah masyarakat hukum adat dayak. Salah satunya, karena masyarakat hukum adat dayak melakukan pembukaan lahan dengan cara nomaden (berpindah – pindah) setelah tanah itu dikelolah dan mereka menganggap tanah itu tidak subur maka tanah itu akan di tinggalkan bukan maksud untuk meninggalkan selamanya. Masyarakat Dayak menanami lahanya secara rasioanal.mereka akan menanaminya lagi setelah lewat beberapa waktu lamannya.Batas – batas itu sudah diketahui . Di antara orang – orang dayak dengan patok – patok yang ditancapkan di setiap sudut petak tanah untuk menunjukan batas – batasnya. Tanda pengusaan tanah yang umum adalah adanya pondok, pohon – pohon,buah – buahan, dan pohon – pohon kayu keras. Bahkan, orang dihukum berdasarkan hukum adat apabila mereka tidak mentaati aturan – aturan pengusaan tanah ,termasuk bila mereka menanami tanah – tanah kosong milik orang lain. Pemerintah indonesia telah memeberlakukan sertifikasi tanah bagi kepemilikan tanah. Satu sisi, kebijakan ini bagi penulis artikel tersebut , justru akan  menyulitkan masyarakat Dayak. Karena menurut masyarakat dayak, mereka adalah satu – satunya kelompok manusia yang mendiami pulau kalimantan. Sehingga ketika ada sertifikasi tanah di tambah dengan adanya proyek pembangunan pada masa orde baru yang meng-eksploitasi tanah – tanah pedalaman Karena itu tidak heran, bagi penulis artikel ini ada anggapan dari Masyarkat Dayak bahwa hukum nasional tidak menghargai hukum yang ada lebih dulu dan berjalan dalam masyarakat hukum adat. Tentu, bagi penulis artikel, sengketa – sengketa tanah bukan hal yang baru lagi kalimantan timur . Konflik tersebut pada mulanya muncul dari masalah eksploitasi hutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada daerah pedalaman masyarakat dayak. Jadi bisa dibayangkan, berdasarkan sumber penulisan artikel yang saya akses ini. Hal dan kemungkinan apa yang bisa dilakukan seseorang untuk memiliki tanah yang luas baik dalam bentuk HGU ataupun sebagainya?

Karena itu, saya kembali berfikir. Jika suatu paslon memiliki cita-cita untuk melakukan pemertaan dan keadilan bagi masyarakat Indonesia, apakah benar-benar bisa? Jangan-jangan Kisah Kebun Anggur Nabot telah terjadi atau bahkan ini akan diulangi kembali oleh orang-orang yang memiliki lahan-lahan yang luas, ketika dia berkuasa? Mari kita terus berefleksi!


Komentar