Kematian merupakan hal yang tidak semua orang bisa
menerimanya. Orang Israel kuno percaya bahwa ketika mereka meninggal dan
dikuburkan, jiwa mereka turun dan tinggal dalam dunia bawah yang gelap, yang
disebut “Syeol” atau “Hades”. Kebudayaan-kebudayaan lain di dunia kuno juga
memiliki keyakinan serupa, meskipun tidak sama persis, mengenai apa yang
terjadi pada manusia setelah mereka meninggal. Banyak orang Yunani percaya
bahwa jiwa tidak akan mati, tetapi tetap ada walaupun tubuh telah mati. Namun
paham kematian dalam Alkitab khsusunya pada Perjanjian Baru mengajarkan kepada
kita bahwa, Yesus menjadi Tuhan untuk orang-orang mati, maupun atas orang-orang
hidup. Sehingga kematian orang beriman tidak memisahkannya dari Yesus Kristus,
karena Kristus adalah Tuhan orang yang hidup dan yang Mati (Roma 14:9). Mereka
yang telah lebih dulu meninggalkan dunia, juga akan dikumpulkan kembali bersama
dengan Allah. Dengan kata lain, akan ada masa dimana kita akan selama-lamanya
pula bersama kembali dengan Tuhan. (1 Tes 4:14).
Tetapi edukasi yang demikian juga bukan merupakan sesuatu
yang dapat dengan seketika merubah pandangan kita untuk melihat kematian. Atau
terlebih membuat kita untuk dengan mudah menghadapi kematian atau bahkan
menghadapi peristiwa atas kehilangan dengan orang-orang terdekat kita. Namun
sekalipun hal itu tidak mudah, bukan berarti kita juga harus takluk dan
berhenti pada peristiwa itu saja. Karena itupula dalam 1 Tes 4:14, kitapun
diajak untuk tidak berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai
pengharapan. Oleh sebab itu, bukan dukacitanya yang tidak diperbolehkan, tetapi
kehilangan pengharapannya yang jangan sampai terjadi dalam setiap kita. Karena
dalam pengharapan kepada Kristuslah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari
kita selanjutnya.
Ijinkanlah pula waktu untuk perlahan menutup dan
menyembuhkan luka itu. Memang masih ada bekasnya, tapi rasa sakit itu cepat
atau lambat pasti akan sembuh dengan sendirinya. Kita kehilangan, tapi kita
tidak pernah kehilangan sosoknya melalui orang-orang yang hadir disekitar kita.
Tuhan sendiripun punya cara menghadirkan penghiburan untuk kita. Ia selalu
hadir, dengan dan seperti apapun keadaan kita. Seseorang yang kehilangan
Ayahnya pernah menuliskan kisahnya dalam akun media sosialnya. Dalam tulisan
tersebut dikatakannya, bagaimana ia bertemu dengan seorang laki-laki tua yang
mendukung dan mendorongnya ketika ia berada di perantauan. Saat-saat seperti
itupula itu kembali bersyukur kepada penghiburan yang Allah berikan kepadanya.
Bahkan Tuhan kitapun bukan hanya sekedar menghibur kita.
Kita juga memiliki Tuhan yang mau merasakan dan mampu merasakan kedukaan yang
ada dalam hidup kita. Cerita dari kebangkitan Lazarus menjadi salah satu
buktinya. Bagi beberapa orang Lazarus sebagai salah satu bukti bahwa, atas
kematianpun Yesus berkuasa. Namun bagi saya sendiri, peristiwa kebangkitan
Lazarus juga bagian dari cerita yang meyakinkan saya bahwa seseorang itu harus
mampu menjadi sosok Maria yang mau menerima semua keputusan Allah dengan legowo (besar hati). Bukan karena kita
takluk dan menjadi pribadi yang tidak bebas atas keputusan Allah. Tetapi kita
diajak untuk menjadi pribadi yang mau menerima segala keputusan yang diambil
Allah untuk kita. Sebab Yesuspun bukanlah pribadi yang otoriter. Dalam setiap
keputusannyapun Ia masih memiliki rasa empati. Hal ini tertulis, bagaimana
ketika Yesuspun ikut menangis atas apa yang dirasakan oleh Maria karena
kehilangan Lazarus. Adakah hal yang lebih indah daripada kasih dan rasa empati
yang diberikan saat kita menghadapi peristiwa kehilangan orang-orang yang
berada didekat kita. Allah kita menawarkannya untuk kita semua, ia memberikan
kasihnya, empatinya bahkan kuasanya kepada kita. Ia bersama-sama dengan kita
dalam pengharapan dan iman percaya kita.
Terakhir, dalam realita kematian, kitapun diajarkan
bagaimana dalam realita kehidupan ini juga kita mengalami proses yang mana
berjalan-menjadi-menggapai kepenuhannya dalam pelukan Sang Cinta itu sendiri.
Dalam proses berjalan, kita membawa kehidupan kita untuk merespon setiap kasih
Allah melalui kesetiaaan kita kepadaNya. Dalam proses menjadi, kita membawa
kehidupan kita untuk tetap setia menjadi anak-anak yang selalu memiliki
pengharapan dan saling membagi pengharapan tersebut bersama orang lain yang ada
disekitar. Sedang dalam proses menggapai, kita diajak untuk menyongsong pelukan
Sang Cinta itu sendiri. Menyongsong pelukan itu merupakan momen menggetarkan.
Tetapi, saat sampai dalam pelukan-Nya, kita akan dipersatukan dengan Sang Cinta
itu sendiri. .
Komentar
Posting Komentar