Refleksi dari Henri Nouwen, “Kau ubah Ratapku
Menjadi Tarian”
Dalam kehidupan
saat ini, saya sering menjumpai orang-orang terdekat saya, baik itu keluarga,
saudara ataupun teman-teman terdekat saya sedang mengalami kesedihan dan luka.
Acapkali, mereka sering bertanya dan mengungkapkanya secara rinci kepada saya.
Secara spontan, saya langsung saja menjawab apa yang mereka sampaikan. Saya
menjawab dengan menggunakan logika saya. Tak jarang, saya menjawab dengan nada
marah dan kecewa, karena bagi saya, mereka terlalu banyak mengeluhkan hidupnya
dan lupa bersyukur. Maka dari itu, dalam setiap jawaban yang disampaikan, saya
sering sekali mengajak mereka untuk berhenti mengeluh dan belajar bersyukur.
Bersyukur bagi
saya adalah hal terpenting dalam hidup ini. dengan bersyukur kita bisa
mendapatkan penyembuhan dari Allah. Mengeluh ataupun kecewa memang tidak salah,
para pemazmur dalam tulisannya sering mengungkapkan rasa kecewa dan keluhannya
kepada Tuhan. Itu wajar dan normal dalam kehidupan ini. Tetapi kapasitasnya
haruslah seimbang, manusia tidak boleh berhenti dan hidup dalam
keluh-kesahnya. Manusia harus bisa hidup bersyukur baik dalam suka ataupun
duka. Seperti dalam Roma 14:6, Paulus mengajak kita untuk mengucap syukur
sekalipun saat kita makan ataupun tidak. Ini adalah hal terpenting dalam hidup
ini. Maka dari itulah ajakan-ajakan saya untuk bersyukur dan berhenti
mengeluhkan kehidupan sering saya sampaikan kepada mereka-mereka yang bercerita
tentang keluhan dan kekecewannya kepada saya.
Namun setelah
membaca buku ini, apa yang telah saya lakukan telah salah, bahkan sangat salah dan bukanlah
sesuatu yang dianjurkan. Memang mengajarkan seseorang untuk hidup bersyukur itu
penting, tetapi apabila seseorang bercerita dan kita secara spontan memberikan
nasihat yang mengajarkannya untuk hidup bersyukur, hal itu hanyalah membuat
mereka semakin tertekan. Terlebih lagi apa yang kita lakukan kepada mereka
sebenarnya adalah sebuah cara kita untuk tidak mau turut hadir dalam
penderitaan dan kekecewaan yang mereka alami. Kita sengaja menyampaikan hal itu
kepada mereka, karena (tanpa disadari) kita sebenarnya tidak ingin mendengarkan
dan meresakan kekecewaan mereka, bahkan tak jarang pula dalam nasihat tersebut
(tanpa disadari) ada rasa ingin dipuji, atau secara sederhana dapat imbalan.
Yesus berhubungan
dengan manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri, bukan untuk
kepentingan-Nya. Dalam istilah sederahana, Ia memberikan perhatian kepada kita
tanpa mengaharap imbalan. Dia tidak bertanya, “Bagaimana Aku mendapatkan
kepuasaan?” melainkan “Bagaimana Aku dapat menanggapi kebutuhanmu?”. Hal inilah
yang seharusnya kita hidupi. Memiliki kepuasan dan keintiman yang dalam, yang
mengandung perhatian. Dengan ini, kita dapat mengasihi sesama tanpa syarat,
meski kebutuhan Anda belum sepenuhnya terpenuhi.
Karena itu, hal baik yang sebenarnya saya lakukan adalah ketika seseorang sedang
berduka, saya mampu hidup dalam duka mereka. Kemudian saya melayani mereka,
membawa mereka kepada sesuatu yang lebih besar diri saya sendiri – pusat
keberadaan saya, kenyataan dari Dia yang tak terlihat- Bapa yang merupakan
sumber kehidupan dan penyembuhan.
Tidak ada penderitaan
manusia yang tidak menjadi bagian dari pengalaman Allah sendiri. Allah menjadi
bagian dari dukacita kita dan mengundang kita untuk belajar menari- tidak
seorang diri, tetapi dengan orang lain, berbagi dalam belas kasihan Allah
sebagaimana kita telah memberi dan menerimanya.
Komentar
Posting Komentar