PENDETA LUKAU DAN YESUS? INI SOAL EKSISTENSI, HARGA PASAR PENDETA ATAU IMAN?

Refleksi dari Matius 16:13-20


Pendeta Lukau adalah seorang pendeta yang akhir-akhir ini menjadi viral dibeberapa media. Mungkin karena dia menjadi salah satu pendeta yang terkaya, ataupun hal-hal yang pernah dilalkukan seperti  menghidupkan orang mati (?) yang membawa dia juga akhirnya pada penangkapan karena aksi ini. Saya tidak ingin membicarakan tentang aksinya, justru yang sedang saya ingin bicarakan adalah tentang orang-orang yang banyak mempercayainya karena mukjizat yang telah dilakukan dan diharapkan terjadi pula bagi banyak orang saat itu. Hal ini yang ingin saya bicarakan, ketika perekonomian pendeta ditentukan dari berapa banyak mukjizat, berapa doa yang Tuhan kabulkan untuk menyembuhkan orang, berapa kisah ekstrim yang pernah dialaminya. Seolah-olah mukjizat jadi, doa yang penuh kuasa, kesaksian hidup atau bahkan bahasa roh menjadi alat untuk seorang pendeta memasarkan dirinya sehingga patokan harga dia melayani besar. Tidak heran banyak pendeta yang menginginkan hal ini sampai harus menipu, hanya karena mengikuti “harga pasaran pendeta”. Seolah-olah pendeta memiliki harga pasaran.

            Sangat berbeda dengan Yesus, ia sepertinya tidak begitu senang ketika dirinya disematkan ataupun disamakan dengan orang-orang yang kita ketahui eksistensinya sangat berpengaruh pada masa itu, seperti Elia, Yohanes Pembaptis, Yeremia dan para nabi lainnya. Yesus sepertinya tidak menginginkan nama-nama itu disematkan untuknya. Karena itu Yesus bertanya tentang anggapan murid-murid, sebagai orang-orang yang berada didekatnya. Beberapa, teolog beranggapan bahwa ini menunjukan sikap Yesus yang tidak ingin disamakan oleh manusia. Tapi sebagai seorang calonteolog, saya memiliki pandangan yang berbeda. Sebab, bila Yesus tidak mau disamakan seperti manusia, rasa-rasanya itu adalah sikap yang tinggi hati dari para penafsir. Sementara Yesus sendiri merendahkan diri untuk mau dan menjadi sama seperti manusia. Alhasil saya melihat, bahwa Yesus merasa tidak puas dengan jawaban dan anggapan itu, dikarenakan baginya eksistensinya tidak perlu diperbandingkan oleh orang-orang tersebut, tetapi dia ingin melihat bagaimana orang-orang terdekatnya merasakan kehadiranNya sebagai manusia bersama Kristus. Jadi Yesus, malah tidak ingin memasang pasarannya sehingga dia bisa bersama-sama dengan orang-orang yang dianggap paling hina sekalipun. Hal ini didukung, dari perintah Yesus setelahnya yang tidak ingin disebut-sebut juga sebagai Mesias oleh para murid-murid lainnya.

            Tapi mengapa? Mengapa Yesus melarang murid-muridnya untuk memberitahukan dirinya sebagai Mesias. Bayangkan, bila setiap orang diberitahukan oleh murid-muridnya. Mungkin semakin banyak yang percaya kepada Yesus. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana Pendeta Lukau yang mendapatkan banyak panggilan untuk melayani dimana-mana. Sampai pendeta Lukau, bisa membeli barang-barang mewahnya. Tapi, sadarkah kita bahwa banyak diantara mereka yang mengikutinya dan sangat mengagguminya seketika mundur lalu menghilang karena penangkapan dan penyelidikan yang mengatakan bahwa dirinya melakukan sandiwara.

            Inilah yang menurut saya menjadi alasan penting mengapa Yesus tidak ingin ditampilkan sebagai pribadi yang demikian. Bisa kita lihat dari kisah ini misalnya, Petrus mampu mengakui diri Yesus sebagai Mesias bukan karena cocokologi dengan banyak orang. Tetapi, karena Anugerah yang datangnya dari Allah. Inilah yang Yesus harapkan, agar setiap orang percaya dan beriman kepadanya hidup dalam pengalaman iman yang sebenarnya. Bukan karena cocokologi, tapi karena Anugerah yang bisa sampai pada setiap manusia yang membukakan hati untuk kehadiran Yesus dalam dirinya.

            Sehingga karena anugerah itu juga, orang-orang yang beriman kepadaNya bisa kuat seperti batu karang dan bahkan alam maut tidak berkuasa atasnya. Bukan karena kekaguman pada seorang pendeta. Termasuk, bukan pula karena pengajaran dan doktrin dari seorang pendeta. Sebab, banyak juga orang-orang kagum dan memahami pengajaran dan doktrin yang disampaikan oleh pendetanya, sehingga ia mampu mengucapkan pengakuan iman dengan begitu gagahnya. Tetapi, kalau ditanya apakah dia menghidupi pengakuan iman itu? Belum tentu, banyak kita yang tidak menghidupi pengakuan iman itu. Karena kita, mengakuinya dengan penyederhanaan yang dilakukan oleh para pendeta bukan berdasarkan iman yang dihidupi. Sehingga ketika ada orang-orang seperti “Emak-emak pepes”, atau penyebar hoaks lainnya yang mempertanyakan keyakinan kita. Maka, kitapun tergoyahkan lalu meninggalkan apa yang kita yakini dan imani sebelumnya.

            Atau mungkin juga yang terjadi seperti Petrus, ketika dia meyakini hal ini. Bahkan Yesus begitu senang dengannya. Ternyata dia juga harus tergoyahkan karena datangnya kekecawaan padanya. Ketika Yesus mati, kehidupannya tidak lagi seperti yang dikisahkan. Anugerah dari Allah sepertinya sudah tidak lagi berkuasa atasnya, karena kekecewaan dari apa yang dia harapkan dalam kehidupan Yesus itu tidak seperti yang dikehendakinya. Karenanya, maka Petruspun harus kembali lagi belajar seperti semula dan beriman kembali sampai akhir hidupnya.

            Demikianlah, pengenalan akan Kristus itu memanglah sangat penting dan menjadi yang utama. Itulah yang menjadi pesan utama dari kisah Petrus dalam teks ini ataupun kehidupannya dalam kisah selanjutnya, sekalipun ia harus mengulang kembali dan beriman kembali kepada Kristus. Dia tetap melakukannya. Demikian jugalah seharusnya Gereja saat ini, hidup berlandaskan kebenaran yang datangnya dari Kristus, bukan eksistensi pendeta ataupun kepentingan-kepentingan dari pejabat-pejabat Gerja lainnya. Sebab semua hal itu hanya seperti bom waktu yang tidak akan lama lagi meledak lalu meninggalkan luka dan kekecewaan saja.

Komentar