MEMBAWA DAMAI DALAM PERSEKUTUAN

Refleksi Filipi 2:1-4


Teks yang menjadi Refleksi ini mengisahkan satu hal yang tampaknya membuat Paulus menjadi pusing saat melihat jemaat di Filipi. Beberapa orang Kristen sedang bertikai satu sama lain. Paulus menyebut dua wanita yang rewel, Euodia dan Sintikhe (Flp. 4:2-3) – tetapi bukan mereka saja yang bertikai. Karena itu maka Paulus mengajak mereka, “Jangalah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Flp.2:4). Sesuatu yang tidak asing, malahan lebih sering kita jumpai khususnya pada situasi politik yang terjadi saat ini. Walaupun Mahmud MD mengatakan bahwa tidak ada pertengkaran antara Prabowo dan Jokowi. Tetapi tidak dapat dipungkiri masyarakat melihatnya dengan kacamata lain, dan akhirnya memilki spekulasi-spekulasi yang ujungnya-ujungnya membuat masyarakat lainnya ikut-ikutan masuk dalam perdebatan-perdebatan kosong dan tidak berarti.

Tapi demikian? Bukankah setiap dari kita telah mengenal dan sering mendengarkan Firman? Akhirnya setelah saya pikir-pikir kembali, sepertinya ada kemungkinan bahwa orang-orang yang datang dalam Gereja atau mendengarkan Firman seperti orang-orang Filipi adalah orang-orang yang haus untuk membenarkan diri. Memang, bahwa Tuhan akan dan telah membenarkan setiap manusia. Tapi yang menarik, jika diperhatikan pada setiap liturgi minggu kita. Sebenarnya kita selalu diajak untuk mengaku salah dan dosa kita kepada Tuhan. Pada satu sisi, hal ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita, karena setiap minggunya kita diingatkan bahwa diri kita bukan diri yang benar dan selalu memiliki dan melakukan setiap kesalahan. Justru karena permohonan dan permintaan yang rendah hati kita datang kepada Tuhan untuk selalu dibenarkan. Apabila perasaan ini yang kita kembangkan, maka kita tidak pernah merasa diri benar. Orang yang tidak pernah merasa diri benar, tidak akan mungkin menyalahkan orang lain. Orang yang merasa diri benarlah yang justru selalu menyalahkan orang lain, bahkan orang-orang seperti inilah yang akhirnya tidak mampu untuk merendahkan dirinya. Ketika dia salah, maka ia akan mengeluarkan respon yang keras agar dirinya tidak terlihat salah didepan orang lain.

Lebih menarik lagi, bila kita mau untuk berekoleksi bersama tentang bagaimana Yesus menuju Salibnya. Sebab kita diajak untuk melihat bagaimana Bapa merendahkan dirinya sebagai manusia untuk memberikan pembenaran kepada manusia. Sehingga seharusnya karena pelaksanaan pemilu nanti ataupun setiap rapat-rapat Gereja, bukan menjadi tempat untuk saling mengadu tentang siapa diri yang paling benar. Sebab pemilu bukanlah ajang untuk kita berkompetisi. Mengapa saya mengatakan hal yang demikian? Karena seperti yang saya hayati dalam kehidupan ini, yang paling mahal adalah harga diri saya. Makanya dahulu sulit untuk saya mengaku bahwa diri saya salah, lebih sering bertipu muslihat, atau mencari cari alasan yang penting tidka untuk mengaku diri salah. Tetapi saya akhirnya berfikir bahwa mengaku salah tidak menjatuhkan harga diri saya. Justru sebaliknya, ketika saya mau mengaku salah diri menjadi semakin mahal harganya karena saya mendapatkan kebenaran yang baru. Sama seperti Allah, saat ia merendahkan dirinya sebagai manusia, mengosongkan diri dan mati di Kayu Salib. Justru tidak membuat dirinya semakin rendah, malahan karena tindakannya yang justru membuat kita semakin berterima kasih kepadaNya.Tapi sekali lagi ini bukan menjadi sesuatu yang mudah, justru teori-teori yang seperti ini sering kali kita dengar dan tak jarang malah kita abaikan. Karena itu masih sering banyak perdebatan-perdebatan yang tujuannya cuman untuk menyalahkan dan menjatuhkan orang lain. Suara dilantangkan begitu keras, seperti seorang muda yang berteriak untuk menurukan dan menjatuhkan seorang penguasa. Ketika diberikan kedudukan, hal serupa ternyata justru menghantui mereka. Malahan karena pengalaman yang pernah mengkritik dan menjatuhkan pemimpin yang berkuasa, sekarang malah menjadi seorang yang anti kritik agar orang lain tidak menjatuhkan kedudukannya. Ujung-ujungnya kena politik adu domba lagi, dikacaukan, dipecahkan dan ujaran kebencianpun terjadi.


Seandainya setiap orang hidup bukan untuk membenarkan diri melainkan mencari kebenaran secara bersama maka, sulit untuk kita dipecahbelahkan. Seandainya semangat awal dalam begereja adalah semangat untuk sama-sama membangun dan menopang menjadi manusia yang lebih baik lagi, maka setiap jalan kehidupan nanti tentu bukan untuk mencari dan membenarkan kepentingannya sendiri melainkan misi Allah untuk mengembangkan kerajaanya di bumi seperti di sorga. Sehingga kehidupan kita sebagai manusia bukan hanya saling menasihati untuk membenarkan diri saja. Melainkan seperti apa yang disampaikan Paulus, di dalam nasihat kita juga ada penghiburan kasih, persekutuan Roh, kasih mesra dan belas kasihan. Sehingga nasihat yang dilontarakan ataupun kritik yang disampaikan sifatnya membangun bukan menjatuhkan dan menghantarkan diri untuk ambil bagian, bukan menyuruh orang lain sendiri berjuang. Tentu, sekalipun telah sampai pada titik ini, konflik tidak dapat dihindarkan. Tapi kita bisa, melihat konflik dengan sesuatu yang berbeda. Karena konfliklah diri semakin bisa berkembang, tentu karena dengan dasar yang kuat pastinya.

Komentar