Setiap tanggal 14 Febuari,
kita akan selalu melihat banyak topik-topik yang dibicarakan adalah Valentine.
Kali ini, hastag yang paling tranding sepertinya mengenai
#Valentinebukanbudayakita. Karena itu, saya ingin mengkritisi kembali hastag
ini. Benarkah demikian? Sebab bagi saya valentine itu merupakan budaya kita, budaya Indonesia. Tergantung dari bagaimana cara kita melihat hal ini. Namun, saya tidak ingin membahas hal ini dari segi sejarah ataupun ritus-ritus
tertentu.
Sebab anda tidak bisa
mengatakan suatu “Benda” ini berasal dari A dan mengembalikannya kembali kepada
A. Apabila “Benda” itu sendiri sudah dikonfirmasi dan diterima oleh masyarakat
secara luas dengan cara mereka masing-masing. Terlebih, sibuk mengatakan bahwa
perayaan ini bukan soal kasih sayang, melainkan kematian. Anda tidak bisa
memberikan kesimpulan itu terlalu cepat. Sebab, bisa saja anda fokus pada
kematiannya, sementara mereka diluar sana lebih memilih untuk melihat bagaimana
perjuangan untuk pengutaraan cinta dan mewujudkannya dalam pengorbanan.
Bagi beberapa orang, valentine hanya akan mendatangkan musibah, karena naiknya tindakana seks bebas dikalangan masyarakat. Sementara para petani biji coklat dan penjual bunga merasa hari valentine sebagai hari yang memberkahinya. Karena harga biji coklat dan bunga yang ikut menaik. Jadi ini, memang tentang bagaimana cara kita melihat dan memandang perayaan ini. Demikianlah, saya berharap anda bisa sepakat dengan saya, lebih dulu mengenai poin ini. Sebab saya akan menggunakan dasar pemikiran ini untuk melihat beberapa hal selanjutnya yang terjadi dalam suatu perayaan valentine.
Bagi beberapa orang, valentine hanya akan mendatangkan musibah, karena naiknya tindakana seks bebas dikalangan masyarakat. Sementara para petani biji coklat dan penjual bunga merasa hari valentine sebagai hari yang memberkahinya. Karena harga biji coklat dan bunga yang ikut menaik. Jadi ini, memang tentang bagaimana cara kita melihat dan memandang perayaan ini. Demikianlah, saya berharap anda bisa sepakat dengan saya, lebih dulu mengenai poin ini. Sebab saya akan menggunakan dasar pemikiran ini untuk melihat beberapa hal selanjutnya yang terjadi dalam suatu perayaan valentine.
Saya sering ikut gabung dengan berbagai macam perayaan-perayaan valentine yang diselenggarakan dalam Gereja. Sampai saat ini, saya belum pernah melihat perayaan-perayaan ini mengarah pada sesuatu yang sifatnya sering ditakutkan oleh beberapa orang. Saya juga, pernah beberapa kali mengikuti event-event mengenai valentine di luar Gereja. Itu juga, belum pernah saya melihat sesuatu yang melebihi batas wajar, semua masih terkendali. Walaupun saya menyadari, bahwa setelahnya ada beberapa teman yang juga jatuh pada hasrat seksualnya. Tapi, sangat naif bila kita menyangkutkan ini pada perayaan valentine saja. Sebab, setiap haripun ada banyak kalangan muda yang melakukan seks bebas, tanpa harus menunggu hari valentine. Jadi, bila anda mengatakan bahwa valentine menjadi faktor utamanya, maka saran saya, kopdarlah sebentar. Nanti, kita akan mengerti dan memahaminya, jangan hidup dalam ketakutan dan menilainya dengan apa kata orang. Sebab, tidak semua kacamata orang bisa anda pergunakan untuk diri anda sendiri.
Sadar atau tidaknya, valentine menjadi populer juga karena ada peran media yang begitu besar padanya. Sehingga setiap kalangan bisa melihat perayaan-perayaan ini secara bebas. Terlebih kalangan kita yang melihat drama-drama yang menggambarkan perayaan valentine ini dengan antusias dan mengaplikasikannya secara langsung. Dengan kata lain, setiap dari kita yang merayakan valentine ini bukan seperti seorang yang sedang dipaksakan mengenakan gaun yang tidak disukainya, tetapi sedang memakaikan sesuatu yang memang dia senangi dan sukai. Karena itu, bila anda ingin mengkritisinya, silahkan saja. Tapi anda harus memahami, bahwa perayaan inipun bukanlah perasaan. Bahkan tidak ada pemaksaan dari pemerintah untuk mengajak kita dan membuatnya jadi hari libur nasional, bukan?
Saya setuju, bila valentine didefinisikan sebagai perayaan untuk kita “bercinta”. Saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata “bercinta”. Sebab, kata ini sepertinya memiliki definisi yang terlalu negatif untuk kalangan kita. Seolah-olah bercinta dengan bersenggama adalah kata yang sama. Padahal seseorang yang bercinta, dikarenakan adanya komitmen untuk saling mengikatkan diri. Sementara tanpa komitmen apapun orang bisa bersenggama. Karena itu, bersenggama bukanlah bercinta, bahasa Indonesia justru hanya akan dipersempit oleh hal itu. Sementara mereka yang merayakan cinta itu bukanlah kumpulan orang-orang yang beranggapan bahwa daya tarik fisik atau seksual itu sebagai yang utama. Sebab mereka yang merayakan cinta, menyadari daya tarik memang berdasar, namun tidak berakar, sehingga sulit bertahan, apalagi bertumbuh dan bertambah. Karena itu, merayakan cinta memang harus dilakukan untuk setiap harinya. Sekalipun disisi berbeda, mengambil satu “momen” untuk bercinta, itu benar-benar memberikan kesempatan untuk kita lebih ekspresif dalam mengungkapkannya. Jadi apakah, hari lainnya kita tidak lebih ekspresif? Anda juga bisa lebih ekspresif untuk hari setelahnya. Seperti halnya dengan Hari Ibu. Setiap waktunya bagi saya adalah hari Ibu, sebab Ibu yang membantu Sang Cinta menghadirkan saya di dunia. Lalu mengapa kita memilih untuk tetap merayakan momen “Hari Ibu” dan mengabaikan perayaan valentine? Justru karena kita menyadari, momen hari Ibu dan valentine sudah mulai hidup dalam budaya kita. Sehingga kita mau, untuk terus merayakannya.
Ya, memang begitulah. Ini
hanya moment dan budaya yang ditawarkan. Anda mampu menerima karena anda
sendiri yang mengkonfirmasinya, tanpa pemaksaan sedikitpun. Tetapi, perlu
diingat juga, bahwa rayakan dan ekspresikan cintamu dengan benar-benar matang.
Sebab perayaan valentine juga tidak akan berarti sama sekali bila cinta yang
engkau rayakan hanyalah “setengah matang” yang justru hanya menawarkan
kesenangan dan ekspresi-ekspresi biasa saja. Padahal cinta yang lebih matang
menunjukkan kenyataan berupa pengorbanan menanggung rasa pedih. Ya, seperti
banyak sejarahwan yang menceritakan kisah valentine ini. Ada pengorbanan untuk
menanggung rasa pedih yang begitu kuat. Bahkan Sang Cintapun mengajarkan hal
itu untuk kita, dalam bentuk penyerahan diri dan pengorbanannya dalam rupa
insan.
Mereka yang merayakan ini, diajak untuk benar-benar menyadari bahwa cinta itu bukan hanya perasaan. Apalagi sekedar ucapan. Cinta adalah Iktikad baik dan komitmen yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan yang konkret. Itu budaya kita, budaya merayakan cinta dengan wujud dan perbuatan nyata kepada setiap orang. Bahkan karena setiap dari kita terbiasa merayakan cinta, maka kita masih mampu bersatu dengan yang lainnya dalam bentuk kasih dan penghargaan yang besar pada setiap insan.
Lalu, mengapa harus marah bila setiap orang ingin merayakan valentine? Bukankah Valentine hanyalah tawaran dan ajakan pada satu moment saja. Ini hanyalah istilah yang orang mengerti tentang moment dimana kita mampu merayakan cinta itu. Atau saya sedang curiga, bila ini memang betul bukan budayamu, karena anda tidak terbiasa menyediakan momen untuk benar-benar merayakan cinta itu?
Komentar
Posting Komentar