HIDUPNYA ORANG BERIMAN : BAHAGIA-KAH?

REFLEKSI : Masmur 1:1-6

Dalam kehidupan ini semua orang mencari yang namanya kebahagian. Semua mencari dengan caranya masing-masing. Ada yang benar-benar bahagia, ada yang mendapatkan kebahagian semua, atau tidak sedikit pula yang menganggap dirinya sudah bahagia. Tapi sebenarnya dia tidak bahagia. Dia menjadi orang yang sebenarnya terbelenggu dalam hidupnya, ia mengkhianati dan membohongi dirinya dan berusaha untuk benar-benar bahagia, tapi tidak pernah kesampaian. Kenapa? Karena dia belum selesai dengan dirinya sendiri.

Teks ini seketika mengajak saya untuk bertanya-tanya khususnya pada kalimat demikian, “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut orang fasik...”. (Loh koq berbahagialah? Kalau berbahagialah berarti belum tentu bahagia dong?). 

Tentu ada orang yang tidak bahagia ketika dia berjalan yang (MENURUTNYA!) sedang berjalan dalam kebenaran. Mengapa saya bilang menurutnya, karena banyak sekarang yang menghidupi kekristenan yakni kekristenan yang dari sudut pandangnya sendiri. Sehingga dia tidak benar-benar hidup dalam Firman Tuhan sebenarnya. Hanya berusaha hidup dalam Firman Tuhan yang diinginkan olehnya. 

Atau contoh yang lainnya lagi, adalah seorang yang sedang mencoba untuk hidup dalam Firman Tuhan tetapi dia masih menginginkan kehidupannya yang lama. Kalau bahasa sederhananya “Kristen Nanggung”, dia tidak benar-benar menyeburkan dirinya dalam Firman Tuhan. Dia hanya menyelupkan salah satu bagian dari tubuhnya. Tidak benar-benar memberikan diri, untuk tenggelam dalam Firman Tuhan.

Tapi benarkah kalau hidup dalam Firman Tuhan itu setiap orang akan benar-benar bahagia? Kalau memang benar-benar bahagia mengapa kondisi kehidupan Ayub, tidak seperti orang bahagia pada umumnya? Istrinya meninggalkannya, anak-anaknya mati, kehidupannya juga melarat, bahkan ia terkena sakit-penyakit.

Pernah saya membaca dalam suatu buku yang mengisahkan tentang seorang rohaniawan yang berkunjung ke dalam penjara. Dalam kunjungan tersebut seorang tahanan bertanya tentang kehidupan dari Rohaniawan tersebut. Lalu rohaniawan tersebut menceritakan bagaimana kehidupannya sering kali berdoa, bersaat teduh, kemudian melayani orang lain, mendengar cerita orang lain, bahkan jarang sekali mendapatkan libur seperti orang-orang pada umumnya. Setiap telpon berdering dia harus menjawab, sebab bisa saja salah seorang membutuhkan pelayanannya. Demikianlah kehidupan rohaniawan tersebut dalam rumah ibadahnya. Lalu tahanan tersebut merespon cerita dari rohaniawan tersebut dengan muka penuh kasihan. Ia berkata, “Sudahlah tinggalkan saja kehidupanmu, mungkin engkau tidak dipenjara namun kehidupanmu tidak jauh lebih baik daripada kehidupan kami para tahanan yang berada dipenjara”. Lalu si rohaniawan tersebut merespon tahanan tersebut dengan penuh senyuman, sebab ia tahu bahwa tahanan tersebut mengasihani kehidupannya. Rohaniawan tersebut berkata, “Benar apa yang kamu sampaikan, tapi marilah kita membandingkannya. Banyak orang yang menjadi tahanan, lalu ketika dia keluar dari penjara maka dia tidak pernah memiliki rasa yang terbebas. Sekalipun dia sudah menerima masa tahanannya. Kecuali ruang tahananmu seperti ruang tahanan para koruptor. Mungkin situasinya akan berbeda. Sedangkan mereka yang berkunjung ketempatku, saat mereka mencoba hidup sama seperti yang aku jalani. Mereka justru memiliki jiwa yang bebas, merdeka, dan bahkan bahagia”.

Kisah ini mengingatkan kepada kita, bahwa penilaian orang fasik berbeda dengan apa yang dialami oleh orang-orang yang hidup di dalam Tuhan. Mereka yang hidup dalam Firman Tuhan mungkin akan mendapatkan masalah. Tetapi masalah tidak membuat dirinya menjadi terpuruk bahkan kehilangan harapan. Sebab setiap hal yang terjadi dalam kehiduannya, ia tahu Tuhan tetap ikut campur. Bahkan ia tidak pernah merasa berjalan sendiri karena Tuhan yang selalu bersama-sama dengannya. Bukankah kehidupan yang demikian justru tidak dimiliki oleh orang-orang yang tidak hidup bersama Tuhan?

Justru hidup yang demikian, menjadi kesaksian untuk banyak orang. Sehingga orang-orangpun bertanya-tanya. Bukankah ini pula yang dialami oleh Nikodemus salah satu dari ahli taurat yang bertanya-tanya tentang kehidupan Yesus. Karena kehidupan Yesus baginya jauh lebih sempurna dibanding dengan kehidupannya. Bahkan banyak orang-orang yang takjub mendengar dan bersama-sama dengan Yesus.

Walaupun tidak sedikit pula orang-orang yang keliru dalam teks ini. Ketika mereka membaca teks ini, mereka langsung berkata bahwa kita harus menjauhkan diri dari orang-orang yang berdosa. Tapi bagi saya itu tidak menjadi masalah. Karena setiap orang berhak untuk menentukan jalan dan dirinya sendiri. 

Pendeta sekalipun tidak berhak menentukan, menilai atau bahkan memaksa orang lain untuk hidup sama seperti kehidupan yang Pendeta tersebut jalani. Karena Pendeta, hanyalah fasilitator untuk mempertemukan orang-orang percaya datang kepada Tuhan dan tidak semua orang membutuhkan fasilitator. Seperti kita ingat, kisah Kornelius yang secara langsung diberkati oleh Roh Kudus terlebih dahulu sebelum akhirnya bertemu dengan Petrus.

Dengan kata lain, mereka yang hidup dalam Firman Tuhan diutus oleh Yesus untuk datang dan hidup di dalam dunia. Sekalipun kata Yesus, mereka yang diutus tidak berasal dari dunia.

Jadi jika kita merasa diri yang sudah hidup dalam Firman Tuhan, lalu mengabaikan orang lain atau bahkan menjauhi orang-orang yang tidak seperti kita. Justru mungkin bisa dipertanyakan, kita pengikut ahli taurat atau pengikut Yesus?

Komentar