MENJADI MASYARAKAT BERAGAMA DAN PANCASILA

“Keragaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu kekayaan yang harus diteruma dan dinikmati oleh semua.... Di dalam semua agama terdapat lebih banyak kebenaran agamis daripada di dalam satu agama... Ini juga terjadi di dalam agama Kristen”(Edward Schillebeecks, (The Church: The Human Story of God New York: Crossroad, 1990, hal 50-51)"

Salah tulisan yang menarik untuk menjadi semangat awal Gereja untuk hidup dalam realitas kepelbagaian, terkhusus di Indonesia. Karena kehidupan plural yang dulunya mampu membangun dan membawa Indonesia menjadi satu negara yang merdeka. Kini, menjadi sesuatu yang tampaknya juga mampu memicu untuk menciderai nilai toleransi ditengah multikultural yang mengejawantah dalam semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, para Pendiri Bangsa memberikan ideolgi yang sekiranya mampu untuk menahan gejolak untuk memecah kebangsaan. Tetapi tetap saja, Ideologi Pancasila bukanlah ideologi yang benar-benar menjadi ideologi yang utama dan pertama yang dihidupi oleh rakyat Indonesia, termasuk umat Gereja. Karena umat memiliki ideologi-ideologi yang berasal dari mimbar-mimbar dan altarnya masing-masing. Karena itu Khotbah ataupun Ceramah, haruslah menjadi usaha untuk membangun kembali konsep dan pemahaman yang tidak mengabaikan ideologi Pancasila.

Sebab agama-agama di dunia ini harus bersekutu, bukan untuk membentuk suatu agama tunggal tetapi suatu komunitas dialogis dari antara berbagai komunitas. Mengingat kita hanya bisa berada dalam proses menjadi, dan untuk menjadi kita harus saling berhubungan dalam hal ini dialog. Tidak ada satupun m elektron ataupun manusia, yang bisa menjadi “sebuah pulau dalam dirinya sendiri”. “Tiap benda” dan “tiap-orang” berada dalam keterhubungan yang sangat dinamis sampai pada titi di mana satu “benda” atau “orang” itu ditentukan oleh berbagai hubungan yang terjadi. Artinya, untuk mencapai keterhubungan ini maka orang yang menyebut dirinya beragama harus mau berdialog secara terbuka kepada agama lainnya, dan hal ini dapat tercepai apabila setiap khotbah.ceramah ataupun para pemuka agama membukakan pemikiran jemaat untuk sampai pada pemahaman yang demikian. Dengan catatan, bahwa dialog yang ingin kita lakukan adalah dialog yang memang benar-benar mau mencari kebenaran tentang CINTA, HARMONI DAN KEDAMAIAN dalam diri dan agama lainnya. Tanpa harus meninggalkan identitas sendiri, sebagai seorang beragama.

Indentitas sebagai seorang beragama itu perlu. Misalnya, sebagian orang, ada yang begitu lancar berbicara dengan bahasa ibu dan kalau kita bisa mengerti dan berbicara dengan berbagai bahasa dari budaya atau agama lain, maka kita akan merasakan betapa pentingnya menjadi apa yang disebut “warga negara dunia”. Ataupun istilah, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Istilah ini bisa disalah-pahami maupun bisa disalah-gunakan  sekaan-akan untuk menjadi bagian dari desa global kita harus meninggal desa kelahiran kita sendiri. 

Akar identitas kita selalu bersifat lokal, dan akan demikian terus. Apa yang dibahas di sini adalah kebutuhan, dan kegairahan, untuk juga menjadi warga desa-desa yang lain. Kita membawa warisan desa kita, dan saat kita mengunjungi desa-desa lain dan belajar dari mereka, kita akan menghargai baik nilai maupun keterbatasan dari apa yang diwariskan desa kita sendiri. Dalam pengertian ini, kita akhirnya diimbau, dalam kadar tertentu, untuk menjadi warga negara dunia. Dua dari ancaman besar yang dihadapi komunitas berbagai bangsa dan budaya ialah nasionalisme dan fanatisme yang berkembang di antara mereka yang belum pernah meninggalkan desa mereka dan mengira bahwa desa mereka itu superior dari desa-desa yang lain.

Imbauan ini tidak dipedulikan oleh semua umat dan komunitas beragama. Malah mereka yang memiliki teologi yang bertentangan dengan hal ini, menganggapnya sebagai suatu ancaman. Karena wajah yang lain masih dianggap terlalu mengancam, banyak komunitas beragama menyikapi situasi dunia baru dengan semacam isolasi kultural yang bisa merusak tradisi keagamaan sehingga mereka berada di bawah kungkungan nasionalisme yang egosentris.

Opini-opini yang saya sampaikan tersebut juga tentu memiliki dasar, seperti ketika saya melihat dan membaca pada teks dan konteks yang ada pada Jesaya 56:1-8. Seperti yang dituliskan;

Janganlah orang asing yang menggabungkan diri kepada Tuhan berkata; “Sudah tentu Tuhan hendak memisahkan aku dari pada umat-Nya”; dan janganlah orang kebiri berkata, “Sesungguhnya, aku ini pohon yang kering”

Orang-orang beragama harus mampu menghadirkan keterhubungan dengan umat yang lain, terlebih juga mau terhubung dengan umat lainnya. Sehingga Orang-orang beragama tidak menjadi asing bagi umat lainnya. Tentu, tanpa harus meninggalkan jati diri seperti dituliskan pula pada ayat pertama, untuk menaati hukum (dalam hal ini orang Israel merujuk pada hukum Tuhan yang diterimanya) dan menegakkan keadilan-Nya. Dengan kata lain pula, misi untuk memperbesar Harmoni, Cinta dan Damai juga tidak berubah. Tetap sama, hanya berbeda bentuk dan polanya.

Terakhir, kita akan bicara tentang bagaimana caranya? Bagaimana cara agar kita mampu terhubung satu dengan yang lainnya, sehingga kita bisa mampu membangun komunitas yang saling terhubung antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai proses menjadi. Tentu, caranya tak lain adalah dengan menghadirkan titik temu antara umat yang satu dan sekitarnya. Dengan situasi dan kondisi saat ini, Pancasila bisa menjadi titik temu untuk  membangun yang namanya keterhubungan antara satu dengan yang lainnya seperti yang sampaikan pada opini sata sebelumnya.

Walaupun tetap ada catatan, bahwa kita tidak berhak untuk menyinggung terlebih memberikan penilaian kepada pemahaman yang lainnya. Seperti kasus yang belum lama ini, dengan menyinggung sari konde, kidung, adzan dan hijab dalam satu puisi. Semangatnya memang baik, tapi komunitas tidak memiliki pemikiran yang sepaham dengan apa yang ingin kita sampaikan. Nilai-nilai dalam agama sangatlah sensitif, karena itu Ideologi Pancasila yang dijadikan sebagai titik temu, bukan pula menjadi alat untuk menilai antara agamaku dengan agamamu, apalagi sampai pada diskriminasi antar satu dengan yang lainnya. Karena dalam sebuah dialog, tidak ada yang diobjekkan. Semua menjadi subjek yang bercerita tentang kebenarannya masing-masing. Sehingga tidak ada yang merasa diobjekkan, bahkan pula diintimidasi dalam keterhubungan ini. (AGM)

Komentar