Pernakah anda merasakan peristiwa, ketika kita menghadapi masalah. Kemudian kita, mengobrol dengan pejabat
Gereja ataupun para pendeta. Lalu respon yang kita dapat adalah ucapan penyemangat yang
malah terasa menyengat di
dalam hati kita. Sebab mereka dengan mudah
mengatakan “Semua masalah tidak melebihi kekuatan kita”. Seolah-olah mereka
benar-benar merasakan apa yang kita rasakan. Padahal, mereka sebenarnya sedang
melakukan sesuatu yang membuat kita malah semakin tertekan.
Seperti yang belum lama ini terjadi, yakni pada
11 Februari 2019 lalu, dr. Jiemi Ardian, seorang residen psikiatri di RS
Muwardi Solo, mengunggah pesan di akun Instagramnya tentang toxic positivity.
Dalam unggahan tersebut, ia mendikotomi antara ekspresi-ekspresi empati dan
ucapan yang mengandung toxic positivity.
Istilah yang terakhir disebutkan ini merupakan
istilah populer yang mengacu pada situasi ketika seseorang secara terus menerus
mendorong kenalannya yang sedang tertimpa kemalangan untuk melihat sisi baik
dari kehidupan, tanpa pertimbangan akan pengalaman yang dirasakan kenalannya
itu atau tanpa memberi kesempatan kenalannya untuk meluapkan perasaannya. Ya, itulah mengapa ucapan penyemangat justru
menjadi terasa menyengat di dalam hati kita.
Saya tidak mengetahui mengapa pemazmur banyak
sekali menuliskan keluh kesah dan kebahagiannya dalam mazmur-mazmurnya. Apakah
karena dirinya memang tidak mendapatkan tempat untuk berteduh ataupun bercerita
kepada orang lain. Saya membayangkan bila ia hidup di zaman milenial saat ini, kemudian
dia menuliskan semua mazmurnya dalam akun media sosial. Mungkin dia akan
menjadi seorang yang disebut "berlebihan" karena sering kali update status tentang
masalah-masalahnya.
Tetapi, bila kita perhatikan pada sisi yang
berbeda. Kita melihat ia menuliskan mazmur 42:1-5 dengan bentuk yang menurut
saya menarik. Sebab dia seperti sedang diradang banyak masalah, tapi dia mengungkapkan
kerinduannya kepada Tuhan. Seolah-olah Tuhan sepertinya sedang tidak membantu
dan tidak menolong dia. Sampai ia harus menuliskan syair-syair yang begitu romantis untuk
mengungkapkan kerinduan dirinya kepada Tuhan.
Seperti mengumpamakan dirinya bagaikan rusa yang
merindukan air. Bukankah, hal ini sangat romantis? Bayangkan saja, Rusa tidak bisa
bertahan lama tanpa air. Dan dia mengungkapkan dirinya seperti Rusa tersebut. Dalam
benak saya, bila pasangan anda di gombalin
dengan kata-kata demikian. Pasti akan sangat meleleh hatinya.
Tapi ketika kita membaca pada ayat seterusnya, memang
ada perasaan tertekan dalam diri pemazmur. Mungkin memang masalahnya begitu
berat, sampai ia mengatakan jiwanya gundah gulana.
Karena itu, sangatlah wajar ketika dia mengatakan bahwa
dirinya seperti rusa yang merindukan air. Sebab pemazmur, sepertinya memang
sudah berada di ambang kematian (bisa jiwa ataupun rohani). Dia berada pada
titik terendahnya, dan meminta Tuhan untuk membantu dan menguatkan dirinya.
Dia mengakui hal itu dan dia mengungkapkannya
kepada Tuhan. Ini salah satu poin pentingnya, bahwa dia mengakui dirinya yang sedang tertekan. Sebab,
mengakui diri sangat terluka lebih membuat kita cepat dalam penyembuhan. Daripada
membohongi diri dan menimbun semua perasaan-perasaan tertekan kita. Karena
menyembunyikan dan menimbun semua rasa itu, hanya akan menjadi bom waktu
tersendiri dalam diri kita.
Tapi coba kita tinggalkan pengalaman itu dan kembali pada topik kita.
Bayangkan bila pemazmur hidup saat ini, lalu para pejabat Gereja, Pendeta, atau
orang terdekatnya hanya mengungkapkan perkataan-perkataan yang sifatnya malah
menjadi toxic positivity. Mengapa bisa? Karena memang banyak orang saat ini,
pintar untuk menjadi motivator. Tapi sedikit yang mampu menjadi seorang
Konselor yang benar-benar mau berempati pada orang lain.
Orang terlalu mudah mengatakan, “Semangatlah”, “Beruntunglah dirimu, patutnya
kamu bersyukur bukan mengeluh” atau mengutip kata-kata penulis Korintus “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa,
yang tidak melebihi kekuatan manusia.” (Bdk. 1 Kor 10:13a). Saya tidak mengingkari kebenaran yang dituliskan
oleh penulis Korintus tersebut. Saya justru mengingkari orang-orang yang dengan
mudah mencomot perkataan itu untuk menjadi seorang motivator bagi orang lain.
Sebab kadang yang membuat kita stress adalah ketika kita selalu berusaha menyelesaikan
masalah dengan kekuatan kita. Penyebabnya tidak lain karena para motivator, yang mengucapkan hal itu. Padahal,
bila kita telusuri lebih jauh pada ayat setelahnya, yang dikatakan penulis
adalah “ Sebab Allah SETIA dan
karena itu Ia TIDAK AKAN MEMBIARKAN kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu
dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu DAPAT
menanggungnya.”. Itulah
perkataan lengkap penulis.
Dengan kata lain, pencobaan tidak sampai menghabiskan kekuatanmu karena dia
sertai dan dia setia. Bukan karena semata-mata kekuatan kita sendiri. BUKAN KARENA KEKUATAN KITA SENDIRI. Justru ketika kita selalu berusaha dengan
kemampuan kita, sebenarnya disitu juga kita menyadari bahwa diri kita bukanlah
seorang yang merindukan Tuhan. Kita tidak memiliki hati yang rindu pada kuasa
dan bimbingan Tuhan.
Padahal pemazmur pun DIMAMPUKAN
oleh Tuhan. Padahal pemazmur pun bisa, melewati semua hal ini (termasuk dengan jemaat
di Korintus) dikarenakan mereka sadar dan rindu pada Tuhan yang berempati, yang
berbelas kasih dan mengerti setiap hati mereka. Bukan pada manusia-manusia yang
menggampangkan semua persoalan diri mereka, dan menjadi motivator kaki lima
untuk mereka.
Ya, milikilah hati yang merindu kepada Tuhan.
Milikilah hati yang menyerahkan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini.
Hanya kepada Allah yang memiliki hati berbelas kasih pada manusia, bukan pada manusia yang menggampangkan semua persoalanmu. Sebab hal itu
yang menjadi kekuatan kita untuk bisa melewati semua hal yang terlihat semakin
membebani hidup kita.
Komentar
Posting Komentar