BERBAHAGIALAH ORANG YANG MEMBAWA DAMAI (Matius 5:9)


“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”



Di tengah-tengah dunia kita banyak terjadi ketidakdamaian. Kita berjumpa dengan pertikaian, konflik, kegelisahan, kekhawatiran, baik itu dalam lingkup besar antar negara, organisasi, bangsa, masyarakat, sampai dengan lingkup kecil rumah tangga/ keluarga. Kita semua menginginkan damai, namun seringkali yang dijumpai adalah ketidakdamaian. Kita menginginkan ketenangan, tetetapi sulit sekali mendapatkan ketenteraman, ketidakbisingan, dan keteduhan.

Firman Tuhan yang menjadi refleksi dari calonteolog.com adalah,

“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9)

Orang yang membawa damai – kata Alkitab, disebut berbahagia, dan tentunya mereka adalah orang-orang yang berbahagia, dan juga mereka disebut anak-anak Allah.

Presiden Amerika yang bernama Theodore Eleanor Roosevelt pernah berkata dalam siaran Radio Suara Amerika demikian,
“Tidak cukup Cuma berbicara tentang damai sejahtera, kita harus percaya akan hal itu…Dan tidaklah cukup hanya percaya akan hal itu, orang harus melakukannya.”

Seorang teolog, yaitu William Barclay menambahkan,
”kedamaian yang disebutkan dalam Alkitab diperoleh dengan cara menghadapinya, bergulat dengannya dan menaklukkannya.”

Menarik memang, tetetapi calonteolog.com dan saudara juga pasti yakin bahwa semua ini tidak semudah kata-kata bijak tersebut. Salah satu problem yang kita hadapi dewasa ini adalah kecenderungan manusia untuk menggapai damai bagi diri dan kelompoknya dengan mengorbankan rasa damai orang atau kelompok lain. Padahal, damai yang sejati selalu melibatkan relasi timbal balik yang menghormati kebersamaan di tengah perbedaan kepentingan.

Dalam suatu kesempatan calonteolog.com pernah bertanya pada beberapa orang, “Apakah Gereja yang disebut damai itu, tidak ada konflik di dalamnya?” atau “Apakah Gereja yang disebut damai itu, tidak pernah berselisih pendapat antara jamaah ataupun majelisnya?” Tentu saja, jawaban yang banyak diterima adalah Gereja yang damai itu tidak ada konflik. Bahkan tidak sedikit orang seperti saudara calonteolog.com berkata, 

“Apa gunanya kalian rajin pergi ke Gereja, bila pada akhirnya sepulang dari Gereja, hati kalian pada marah. Bukankah pergi ke Gereja itu mendengarkan dan menerima kabar sukacita?”

Tentu saja, hal ini bisa dilihat dengan cara pandang yang berbeda. Walau calonteolog.com juga mengakui bahwa sering kali orang-orang dalam Gereja menjadi batu sandungan untuk orang lain datang. tetetapi bila cara pandang ini terus kita lihat, tentu kita tidak akan pernah belajar apapun dari konflik yang ada. Bahkan kita tidak akan pernah puas dengan satu Gereja, mengapa? Karena semua Gereja, memiliki konfliknya masing-masing.

Bagi calonteolog.com, ketika Yesus hadir ke dunia. Ia membawa konflik besar pada banyak golongan-golongan. Konflik-konflik ini, tidak jarang mengancam nyawa dari Yesus sendiri (Mis. Yoh 11:8). Lalu apakah dengan demikian Yesus kita sebut sebagai seorang yang tidak membawa damai di dunia ini? Calonteolog.com yakin bahwa kita tidak sepakat untuk mengatakan bahwa Yesus tidak membawa damai di dunia ini. Justru dia sedang merusak dan menghancurkan kedamian yang semua di dunia ini dan menghadirkan kedamaian yang sejati bagi banyak orang. Sebab kedamian yang terjadi pada masa itu, salah satunya terjadi karena orang-orang banyak diam dan tidak bisa berbuat apa-apa ketidakadilan yang dia rasakan. Sehingga ketika, Yesus hadir ditempat tersebut, mereka mendapatkan harapan baru untuk membuka semua ketidakadilan yang terjadi dan menghasilkan kedamaian yang sejati bagi banyak orang.

Tentu hal ini, didasari dengan pandangan beberapa teolog yang melihat  Lukas 4:16-30, sebagai bentuk proklamir dirinya yang membawa kedamaian sejati dan harapan bagi banyak orang yang mendengar dan menerima perkataannya. Karena itu, tidak jarang dalam beberapa film, mereka yang disebut sebagai para pembawa damai justru dikatakan sebagai perusak dan penghancur kesatuan. Penyebabnya tentu saja, kedamian semu yang terjadi selama ini membuat orang tertidur dan tidak memiliki kekuatan apapun untuk bertindak.

Inspirasi lainnya yang calonteolog.com dapat bagikan dalam kesempatan ini adalah Bunda Maria. Saudara tahu, bahwa dalam ketidaksiapannya, ia menerima kehendak Tuhan. Dalam kesiapannya, ia harus merelakan anaknya untuk pergi melayani banyak orang. Setelahnya? Bunda Maria, harus menghancurkan hatinya sendiri untuk melihat anaknya yang mati di Kayu Salib demi keselamatan banyak orang. Tetapi tahukah saudara? Bahwa beberapa teolog, justru menyebut Bunda Maria sebagai agen kedamaian, sekalipun dalam kehidupannya sering kali ia terjebak dalam konflik batinnya.

Calonteolog.com sering mengatakan kepada beberapa pelayan Gereja, “Bila tidur anda tidak terganggu oleh urusan-urusan Gereja, maka saat itu juga sebenarnya anda sedang tidak melayani di dalam Gereja anda sendiri”. Sebab, bagi calonteolog.com kita yang ingin menjadi pembawa damai harus selalu siap untuk menghadapi dan menerima konflik-konflik pribadi yang akan selalu muncul saat membawa misi Damai ini.

Terakhir, yang menjadi inspirasi pula bagi calonteolog.com dari beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini, khususnya dalam kontes demokrasi. Sering kali, beberapa kalangan mengatakan bahwa para Rohaniawanlah dan tokoh-tokoh masyarakatlah yang menjadi penyebab utama terjadinya beberapa konflik yang sering menghantui peristiwa di negara ini. Tetapi, untuk meletakkan semua kesalahan ini pada mereka saja rasa-rasanya tidak fair pula.

Mengapa? Sebab seperti yang kita perhatikan, setelah beberapa peristiwa tersebut terjadi, beberapa media sosial memperlihatkan bagaimana beberapa tokoh Agama yang menurut kita Radikal ternyata juga mencekam para pelaku anarkisme. Tetapi yang menarik adalah komentar dari beberapa pengguna media sosial lainnya yang justru menuding dan tetap beranggapan negatif terhadap yang disampaikannya. Dengan kata lain, calonteolog.com ingin menyampaikan bahwa sebenarnya bukan para Rohaniawan saja yang menciptakan situasi dan kondisi yang penuh kebencian, tetetapi juga kita masyarakat pada umumnya. Kita menciptakan kebencian dan permusuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena itu, refleksi ini mengajakku dan (mungkin) kita semua untuk memutuskan rantai kebencian tersebut, dimulai dari tidak saling menghakimi orang lain dan bergandeng tangan untuk saling mengasihi dan mengampuni satu dengan yang lainnya. Sederhana bukan?

Komentar