SALING MENYAPA BERSAMA TUHAN


        
Daud, sang Pemazmur, juga berseru kepada Tuhan tatkala ia putus asa. Ia berdoa, "Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan" (Mazmur 27:7). Kemudian ia menyatakan pengharapan, "Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu!" (ayat 14).

        Allah menunjukkan kuasa-Nya secara khusus dalam situasi yang tak berpengharapan. Bangsa Israel berada dalam situasi demikian ketika Allah membelah lautan di hadapan mereka (Keluaran 13:17-14:31). Daniel dilindungi dalam gua singa (Daniel 6:11-24). Paulus dan Silas dilepaskan dari penjara (Kisah Para Rasul 16:25-40).
Jika dalam hidup Saudara, seolah tiada jalan, jangan putus asa! Percayalah kepada Allah. Dia berjanji membuat jalan bagi Saudara.

Eitttsss…. Tungggu dulu!
            
        Beberapa cerita mengungkpakan beberapa orang yang memakai kendaraan umum akan lebih sering mendoakan pengemudinya, baik itu Supir, Pilot ataupun Nahkoda. Dengan harapan para pengemudi ini dapat menghantarkan mereka dengan selamat. Semakin tinggi goncangan yang terjadi, maka semakin hebatlah doa yang diucapkan untuk para pengemudi tersebut. Sampai akhrinya cerita-cerita yang demikian ini mengingatkan calonteolog.com dengan teori Sigmund Freud, mengenai kelakuan beragama, misalnya berdoa, timbul sebagai sarana untuk mengatasi frustasi, yaitu rasa kecewa karena tidak berhasil memenuhi dan memuaskan kebutuhan, seperti kebutuhan pangan, rasa aman, penghargaan, cinta kasih, kepastian hari depan, atau lainnya.

Benarkah teori Freud tersebut?
Ya dan tidak. Ya, sebab memang ada kelakuan beragama yang timbaul akibat frustasi. Tidak sebab kelakukan beragama pun dapat timbul walaupun orang tidak sedang mengalami frustasi (seharusnya). Bagaimana kita memahami hal ini?

Jika kehidupan berdoa timbul karena, frustasi, maka doa hanyalah merupakan jeritan naluriah dalam keadaan lemah dan labil. Di sini berlaku ucapan: “In nood leert men bidden” (Dalam keadaan terdesak barulah orang berdoa).

Tetapi sebaliknya, kehidupan berdoa pun dapat timbul pada waktu orang berada dalam keadaan kuat dan stabil. Terlau sering kita membayangkan manusia ibarat orang yang jatuh ke dalam sumur dan Allah berada di atas sumur itu. Pandangan ini menyempitkan arti hubungan manusia dengan Allah. Hubungan dengan Allah hanya dipandang sebagai hubungan antara peminta dan pemberi. Hubungan itu seolah-olah hanya terjadi karena manusia berada dalam posisi yang lemah. Doa dianggap hanya sebagai jeritan minta tolong. Akibatnya, mungkin orang berhenti berdoa kalau pertolongan itu sudah tidak dibutuhkan lagi.

Padahal manusia mempunyai hubungan dengan Allah, atau manusia dapat menjadi subjek di depan Allah. Artinya, menjadi pribadi yang dapat bertatap muka dengan Allah sebagai “seorang aku” dengan “seorang engkau”. Itulah kelebihan manusia. Manusia hidup dengan keistimewaan: dapat disapa dan dapat menyapa Allah. Tatap muka dan sapa itu terjadi dalam doa.

Doa menjadi semacam jawaban manusia terhadap sapaan Allah. Dan jawaban itu sekaligus merupakan pertanggung jawabannya. Karena bukankah setiap jawab adalah pertanngung jawab? Dalam bahasa Belanda atau Jerman menurut Andar Ismail, hal itu tampak jelas; sebab kata sapaan, jawaban dan pertanggung jawab dalam bahasa itu mempunyai akar kata yang sama, yaitu woord atau wort. Allah memberi woord (=sapaan atau sabda). Manusia memberi antwoord (=jawab). Dan itu menjadi verantwoordelijkheid (= pertanggung jawab)nya.

Jadi manusia berbeda, karena ia menjawab dan bertanggung jawab kepada Allah. Itulah salah satu dimensi doa: menjawab dan memberi pertanggung jawaban kepada Allah. Bukan lupa pada tanggung jawab atas permintaan yang telah Tuhan kabulkan, apalagi lupa sama Allah yang memberikannya.


Kesimpulannya, calonteolog.com menggambarkan hubungan manusia dengan Allah ibarat anak dengan orang tua. Seorang anak berbicara kepada orang tua bukan hanya untuk meminta pertolongan. Seorang anakpun berbicara dengan orang tuanya, meskipun tidak sedang membutuhkan sesuatu. Justru hubungan seperti itulah yang sehat. Anak dapat berbicara dengan orangtuanya secara wajar dan tenang. Karena seorang anak tidak mungkin berteriak, marah bahkan menyampaikan semua keluh kesanya kepada Tukang Roti, ia pasti akan menyampaikan kepada orang tuanya terlebih dahulu. Hubungan seperti itulah juga yang diperlukan dalam kehidupan berdoa. Sehingga, semboyan kita bukanlah “Habis daya, baru berdoa”, melainkan “Berdoa, biarpun berdaya”.

Komentar