Tanpa Ancaman, Tanpa Pemaksaan, Hanya Penyerahan Total. Bisakah Kita Melakukannya Sebagai Wujud iman Kepada-Nya (Daniel 3:8-18)



Iman yang sejati dapat menerima segala kesukaran. Orang yang beriman percaya bahwa sekalipun ia berada dalam badai atau ujian hidup seberat apa pun, Allah tidak akan pernah meninggalkannya. Dan seorang pahlawan iman akan lebih memilih untuk mempertahankan iman daripada menjualnya demi memperoleh kesenangan di dunia ini.

Saudaraku, kita mengetahui bahwa hampir setiap hari kita menghadapi pertanyaan yang berkaitan dengan suara hati nurani. Kita harus memilih antara melakukan sesuatu yang menyenangkan hati Allah atau sesuatu yang memenuhi hasrat kita yang mementingkan diri sendiri.

Para pejabat pemerintah bisa saja tergoda untuk menerima suap atau membuat keputusan yang tercela. Para karyawan terkadang diminta untuk merekayasa angka-angka atau mengarsip laporan palsu. Para pelajar sering menghadapi godaan untuk berbuat curang atau menyontek.

Sebagai orang Kristen, kita menghadapi berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan ujian bagi hati nurani kita. Ujian tersebut menolong kita untuk mengetahui apakah kita sungguh-sungguh menjaga integritas yang diharapkan Allah. Kita tahu bahwa pilihan kita dapat menimbulkan konsekuensi yang baik atau buruk, tetapi ujian yang sebenarnya datang ketika kita harus memutuskan dengan cepat apa yang harus kita lakukan.

Apa yang dapat menjadi pelindung terbaik agar kita tidak salah mengambil keputusan? Kita harus percaya bahwa Allah akan menjaga tatkala kita memilih untuk melakukan yang benar, apa pun akibatnya.

Dalam Daniel 3, Sadrakh dan teman-temannya mengambil keputusan untuk tidak menyembah patung emas itu. Mereka berani menentang sang raja karena mereka mempercayai Allah. Mereka berkata bahwa seandainya Tuhan tidak melepaskan mereka sekalipun, mereka akan tetap mempercayai-Nya (ayat 17-18).

Ketika kita menghadapi masalah yang berkaitan dengan hati nurani, kita juga bisa melakukan hal yang benar--dan menyerahkan segala konsekuensinya kepada Allah

Namun, refleksi ini muncul karena calonteolog.com dan mungkin kita telah membaca sepenuhnya tentang kisah Daniel sampai pada akhirnya. Pertanyaannya, bagaimana situasi semakin tidak jelas kedepannya? Masihkah refleksi iman yang sama juga ada dalam diri kita masing-masing?

Calonteolog.com ingat pelajaran Sekolah Minggu yang disampaikan kira-kira 8 tahun lalu. Kami diajar untuk mengasihi Allah bagaimanapun keadaan kita. Kita akan mudah mengasihi Allah apabila Dia mengabulkan permintaan kita dan menyediakan apa yang kita inginkan. Mengasihi Dia di tengah keadaan sulit adalah ujian bagi iman kita.

Dalam Daniel 3, kita membaca keputusan hidup-dan-mati yang harus diambil Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Jika mereka memilih menyembah patung emas raja, mereka akan hidup; jika mereka menolak, hukuman mati menanti. Mereka menjawab Raja Nebukadnezar, "Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami ... dari perapian yang menyala-nyala itu ... tetapi seandainya tidak, ... kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu" (ayat 17,18).

Apakah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego kurang beriman dengan berkata "tetapi seandainya tidak"? Tidak. Mereka tahu bahwa Allah sepenuhnya sanggup melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala itu.

Kita semua dapat belajar dari hal ini. Apakah Allah benar-benar berkuasa? Ya. Apakah Dia sanggup melepaskan kita dari permasalahan-permasalahan kita? Ya. Apakah Allah selalu melepaskan kita dari kesulitan-kesulitan kita? Tidak.

Kita mungkin tak dapat benar-benar memahami maksud Allah di dalam kesulitan dan penderitaan kita. Namun, kita tak boleh berhenti mengasihi Dia. Terlebih memberikan pemaksaan dan ancaman kepadanya. Kita harus percaya dan berharap kepada-Nya meski berbagai pencobaan yang mengancam menghancurkan kita. Serahkanlah dirimu secara total!

Komentar