Sungguh, Hidup Bersama Lansia itu MEREPOTKAN (?)



Merepotkan, demikianlah yang banyak orang katakan saat dituntut untuk bisa hidup bersama para LANSIA. Alasannya tentu sangat logis dan cukup membenarkan perbuatan-perbuatan kaum muda untuk tidak bersama dengan para Lansia. Tidak heran, beberapa orang tua yang pernah calonteolog.com temui selalu mengeluh dan berkata “Berhentilah untuk meminta umur panjang, itu bukan lagi kebanggaan untuk kita”. Tentu, kata-kata ini punya dasar, sebab bagi mereka Manusia lansia katanya adalah manusia tidak produktif, cuma dianggap barang antik, lebih sering diolok-olok ketimbang dihormati. Lebih sering menjadi bahan baku lawakan ketimbang dijadikan sumber nasehat dan bimbingan. Tempat hidupnya dilokalisir di panti-panti jompo. Di sanalah mereka menunggu panggilan yang kuasa.

Beberapa hari terakhir ini, sempat viral video anak-anak muda yang mempermainkan seorang kakek tua dijalanan. Mereka mempermainkan kakek tersebut, tanpa ada perasaan bersalah. Adapula kasus dimana seorang kakek meninggal di depan rumahnya, karena serangan jantung. Kakek tersebut ditemukan justru oleh tetangganya saat sore hari. Tentu, ketika ditanyakan kepada anak-anaknya, mengapa kejadian demikian bisa terjadi. Semua akan memberikan alasan-alasan pembenaran yang masuk diakal. Bahkan, pernah pula calontelog.com bertemu dengan seorang anak merasa merepotkan ketika orang-orang mengunjungi orangtuanya yang sudah lansia. Tentu dengan berbagai alasan yang bisa diterima.

Calonteolog.com sendiri juga pernah punya kesalahan, ketika seorang nenek selalu menelponi setiap malam dan menggangu istirahat. Tentu ini juga alasan yang bisa diterima, karena kesibukan dan kelelahan, membuat calonteolog.com merasa kesal ketika selalu ditelponi oleh nenek tersebut. Tidak jarang, kekesalan tersebut membuat diri menjadi malas untuk mengangkat telpon darinya. Sejak kejadian itu, sampai saat menuliskan refleksi ini nenek tersebut tidak lagi pernah menelpon. Entah bagaimana keadaannya, calonteolog.com tidak mengetahuinya, kontaknya juga hilang. Karena nenek tersebut bukanlah nenek kandung, dan bahkan dia belum menikah. Kami berkenalan dalam satu pelayanan bersama dengannya. Tentu, bisa saja calonteolog.com membuat alasan karena tidak memiliki kekerabatan yang dekat dan butuh waktu istirahat. Tapi, saat menuliskan refleksi ini rasa bersalah itu muncul kembali.

Dalam artikel Majalah Gema ed. September 2015, yang berjudul “MENGHORMATI KAUM LANSIA”, pengalaman-pengalaman pelayanan Gereja saat menghadapi keluh kesah dari Lansia. Salah satunya, pengalama Elisabet Patty, dituliskan demikian;

Elisabet pernah mendampingi empat lansia. Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia mendampingi lansia, dari memandikan berjemur, membersihkan kuku, tangan, mengajar gerakan tubuh bila terasa kaku, menyuapkan makanan, hingga menjadi teman. “Pendamping harus bisa membujuk bila ngambek, membesarkan hati yang frustasi, memberi semangat para lansia. Merawat lansia membutuhkan kesabaran ekstra,” tuturnya. Elisabet melihat ada kesamaan di antara para lansia, yakni butuh perhatian dan kasih sayang anak-cucu dan keluarganya. Para lansia akan berkeluh kesah, merasa kecil hati bila kurang diperhatikan; bahkan ada yang ingin mati saja katanya. Ada juga yang memahami kondisi anaknya yang punya kesibukan masing-masing dan tidak terlalu menuntut. Sebagai pendamping, Elisabet mengajak mereka untuk berserah diri pada Tuhan dalam menjalani hari-hari tuanya. “Saya selalu mengajak mereka untuk memberikan kenangan terindah untuk anak-cucu bila kelak menghadap Tuhan. Kalau merasa kesepian, saya ajak berdoa, apalagi kalau seiman dengannya. Saya ajak mereka mendengar lagu rohani untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya pun dengan sabar mendengarkan bila mereka mengisahkan pengalaman masa lalunya – walaupun sudah berulang-ulang disampaikan. Saya juga berkoordinasi dengan anak atau keluarga termasuk dengan petugas pembagi komuni/prodiakon yang datang ke rumahnya,” tukas Elisabet.

Di mata Allah tidak pernah satu masa usia manusia adalah masa yang percuma, tidak berguna dll.  Seorang lansia bukan manusia yang cuma menunggu pemutusan hubungan kontrak hidup. Manusia lansia tetap berpotensi menjadi berkat melalui hikmat mereka, pengalaman hidup mereka, ketekunan doa-doa mereka dan tentu saja nasehat-nasehat mereka. Kita sah-sah saja menitipkan orang tua kita ke panti jompo, asalkan itu bagian dari penghormatan dan tanggung jawab kita oleh karena kita bukan ahlinya merawat manusia senja. Namun yang terjadi  pada umumnya, mereka dititipkan ke panti jompo karena anak tidak mau repot.

Padahal, seperti halnya dengan manusia lainnya. Para Lansia membutuhkan dukungan emosi. Mereka ingin dikasihi, merasa dibutuhkan dan diterima, serta dianggap berharga sebagai anggota keluarga.
Menyediakan kebutuhan orang-tua atau kakek-nenek kita mencakup lebih daripada sekadar memperhatikan kebutuhan materi mereka. Kita semua memiliki kebutuhan emosi. Setiap orang, termasuk para Lansia, ingin dikasihi, merasa dibutuhkan, dan diterima, serta dianggap berharga sebagai anggota keluarga.

Tentu hal ini, juga dapat saudara tanggapi. Sebab, tidak jarang orangtua selalu mengharapkan sesuatu yang melebihi kemampuan anak-anaknya. Ketika anaknya sibuk bekerja, mereka justru menginginkan anak-anaknya selalu ada. Pandangan ini tentu bisa diterima, hal yang tidak dapat diterima justru saat si anak tidak memberikan solusi apapun untuk itu.

Bahkan, tidak semua pula yang membutuhkan kehadiran anak-anaknya. Adapula para Lansia yang memang asik dengan komunitas seumurannya. Justru ketika mereka dihalangi untuk bertemu, dengan komunitasnya membuat mereka menjadi sakit-sakitan.

Adapula para Lansia yang ditinggalkan justru karena didikan dan warisannya dahulu kepada anak-anak. Mereka tidak memberikan waktunya untuk anak-anak, tentu dengan alasan pekerjaan dan kesibukan mencari nafkah demi sekolah anak. Sehingga ketika, orang tua tersebut menjadi Lansia, anak-anaknya juga melakukan hal serupa. Apakah para Lansia diperbolehkan menuntut sesuatu yang tidak mereka berikan kepada anak-anaknya dahulu?

Tentu, mereka tidak berhak menuntutnya. Tapi, mengapa hati seorang manusia yang menerima berita baik, harus sekeras itu? Bukankah, lebih baik membiarkan mereka menunggu panggilan Tuhan dalam kedamaian bukan tangisan?

Ya, Lansia itu tidak merepotkan. Lelahmu hanya sementara untuk merawatnya, baik itu orang tua kita sendiri ataupun orang lain. Perasaan kesalmu juga hanya sementara ketika melihat perlakuan mereka, sebab dalam gerontologi atau ilmu tentang lanjut usia, ada tiga bentuk kemorosotan yang akan dialami manusia. Secara kronologis, menjadi tua berarti merosotnya usia hidup. Seiring bertambahnya usia, berarti semakin berkurang kesempatan hidup, dengan kata lain, semakin dekat dengan kematian jasmaniah. Secara biologis, menjadi tua berarti merosotnya kondisi fisik dan keadaan kesehatan. Saat kita makin tua kemampuan reflek akan berkurang; lensa mata menjadi kurang elastis, penglihatan kurang tajam dan tidak dapat melihat jauh (istilah medis “presbiopa”); dan pada berbagai tingkat daya pendengaran mulai berkurang (istilah medis “presbikusis”). Secara psikologis, menjadi tua berarti merosotnya kemampuan berpikir dan mengingat (istilah medis “dimensia”). Itu realitas yang saudara tidak bisa pungkiri terjadi ketika saudara ada pada situasi mereka yang Lansia.

Untuk para Lansia, dalam usia yang indah ini saudara memerlukan kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan kerohanian. Setiap hari manusia batiniah harus diperbaharui antara lain melalui persekutuan yang berkelanjutan dengan Kristus dan firman Tuhan ; melalui doa dan perenungan firman; oleh iman dikuatkan oleh kuasa Roh Kudus. Hanya dengan cara demikian, kehidupan batiniah akan bertumbuh. Walau jasminiah terus-menerus merosot. Kedua, hidup bijaksana dan menjadi teladan. Seperti pemazmur, setelah mengetahui betapa singkatnya hidup ini, memohon kepada Tuhan, “ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Ketiga, mengutamakan hal-hal yang menjadi prioritas kita karena waktu yang terbatas (Efesus 5:15-17). Bila saudara merasa ada sesuatu untuk diperbaiki, maka perbaikilah. Jangan wariskan kesalahan itu kepada anak-anak saudara. Kalaupun tidak berhasil, itu jangan membuat putus asa. Setidaknya saudara telah berusaha. Keempat, tetaplah berkarya karena saudara masih bisa melakukannya. Sampai putih rambut bahkan sampai akhir hayatnya, Ibu Teresa tetap setia melayani dan merangkul mereka yang terpinggirkan. Oliver Wendell Holmes terus bergiat di dunia pengadilan sampai berusia 91 tahun. Dua tahun kemudian, ketika Presiden Roosevelt mengunjunginya dan bertanya mengapa Holmes begitu senang membaca, Holmes menjawab, “Untuk mengasah pikiranku.” Seperti orang tua selalu katakan, “Orang-orang muda, sering kali menyia-nyiakan waktu yang ada”, demikianlah juga para Lansia “Waktu yang ada, pergunakanlah lebih baik lagi”.


Komentar