ANAK YANG HILANG - Luk 15:11-32



Anak yang hilang menjadi kisah terkenal di kalangan orang Kristen. Bahkan calonteolog.com juga pernah ikut mementaskan kisah ini dalam kegiatan natal. Tapi, calonteolog.com tidak ingin bercerita tentang bagaimana proses pementasan kisah Anak yang hilang. Melainkan membahas beberapa kekeliruan yang muncul saat pembacaan kisah tersebut, dan memiliki dampak bagi beberapa orang tua. Misalnya,  mereka menjadi tabu untuk membicarakan mengenai harta warisan, tentu dapat dipastikan pula bahwa kisah ini bukan menjadi faktor utama. Tapi setidaknya kisah ini, seolah-olah mendukung beberapa budaya yang mentabukan dan menghindari pembicaraan mengenai harta warisan. Mereka berfikir, seakan warisan itu tidak layak untuk dibicarakan ketika kedua orang tua masih hidup. Ataupun, beberapa juga berfikir bila mereka akan meninggalkan anak-anaknya dengan keadaan yang baik-baik saja. Sementara beberapa kejadian justru menunjukkan tentang bagaimana warisan justru menjadi hal yang menegangkan dan membuat suasana kekeluargaan menjadi hilang.

Ada banyak pula orang Kristen tidak merasa dirinya masuk kategori  'anak yang hilang', sebab menurut mereka anak yang hilang adalah mereka yang meninggalkan gereja dan hidup dalam hingar bingar duniawi.  Selama masih pergi ke gereja, terlibat dalam pelayanan dan tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, kita berpikir kita hidup dalam pertobatan dan tidak masuk kategori anak yang hilang.  Benarkah?  Sesungguhnya pertobatan yang Tuhan kehendaki lebih dari itu, yaitu kita sungguh-sungguh memberi diri hidup dalam penguasaan Tuhan dan kendali Roh Kudus sepenuhnya.  Selama masih hidup menurut kehendak diri sendiri kita tergolong sebagai anak yang terhilang, meski secara lahiriah tampak beribadah.  "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,"  (Galatia 5:25).

Ciri nyata anak yang terhilang adalah hidup dalam kendali diri sendiri.  Mereka menggunakan waktu, tenaga, uang, dan apa yang dimiliki sesuka hati untuk kepentingan diri sendiri dan menurut selera sendiri, bukan menurut kehendak Tuhan.  Pertobatan adalah kesediaan datang kepada Bapa dan bersedia hidup dalam kekuasaan atau dominasi Bapa.  Si bungsu yang bertobat berkata,  "Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa."  (Lukas 15:18-19).  Kesediaannya untuk tidak menggunakan haknya sebagai anak dan rela diperlakukan sebagai hamba oleh bapa adalah bukti kesungguhannya bertobat.

Ya¸ini menjadi pesan penting bagi calonteolog.com tentang kesediaan untuk menerima kehendak Allah dan diperlakukan sebagai hamba oleh Bapa. Bukan menuntut Bapa dan memaksakan kehendak Bapa. Sebab tidak semua orang seperti Anak yang Hilang, terkadang beberapa diantara kita justru menjadi Si anak sulung yang merasa sangat muak terhadap bapanya, ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar dan menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung? Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.

Ya, calonteolog.com melihat kisah ini tentang dua Anak yang Hilang, yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan  satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah “merasa” hilang. Bayangkan ada berapa banyak orang-orang didalam Gereja yang justru selalu merasa diri sudah ditobatkan dan tidak lagi menerima kehendak Allah. Ketika kehendaknya tidak lagi menjadi kehendak Bapa, ia tiba-tiba berubah menjadi seorang yang tidak pernah mengenal Allah sama sekali.

Betapa banyak orang berfikir bahwa pertobatan adalah sesuatu yang hanya sekali dilakukan. Betapa banyak orang yang mudah menyaksikan pertobatannya kepada banyak orang, tetapi dalam kehidupan selanjutnya justru berbalik arah menjadi seorang yang tidak pernah merasakan belas kasihan Tuhan. Bagi, calonteolog.com Pertaubatan itu bukanlah akhir. Pertaubatan hanyalah langkah awal untuk memikul salib, bersamaNya.

Terakhir, kisah Anak yang Hilang juga bisa menjadi keliru ketika orang tua selalu berfikir bahwa setiap kehendak dan masukkan dari mereka yang tidak dilakukan anak-anaknya disebut sebagai anak-anak yang hilang. Calonteolog.com justru berfikir bahwa mereka yang telah memilih jalannya dan konsisten untuk menghidupinya bukanlah anak yang hilang. Sekalipun pilihannya tidak seperti yang diharapkan oleh orangtuanya. Karena itu, hal yang paling menentukan apakah seorang anak disebut sebagai anak yang hilang atau tidak adalah “Kebahagian Menjalani Perubahan yang Lebih Baik”. Bila seorang tersebut bahagia menjalani jalannya dan membuat dirinya berubah kearah lebih baik. Sekalipun pilihannya tidak seperti orang tuanya. Apakah seorang itu dapat dikatakan sebagi anak yang hilang? Lalu bagaimana dengan seorang anak yang akhirnya bunuh diri justru karena mengikuti setiap tuntutan orang tuanya. Apakah orang tua tersebut dapat dikatakan sebagai seorang yang menghilangkan anaknya?

Komentar