IBU PERTIWIKU, DIBAKAR (?) – TELAH KUBAKAR (?)



Beberapa kebakaran yang terjadi dalam pekan terakhir ini membuat calonteolog.com berfikir keras. Seperti ada pertanyaan-pertanyaan yang terus menerus terfikirkan. “Apakah memang hutan ataupun lahan Kalimantan dan Riau dibakar?” “Mungkinkah, ada kumpulan manusia yang keji dan tega membakar IBU PERTIWI?” “Manusia seperti apa yang tega membakar IBU PERTIWI?”, “Ataukah, aku juga ikut membakar lahanku sendiri?” “IBU PERTIWIku, dibakar – telah kubakar?”

Setiap dari kita, seharusnya menyadari bahwa sebagai manusia kita senantiasa hidup dalam hubungan yang dinamis; dalam diri sendiri antara tubuh dan jiwa; antara kefanaan dan hidup yang diberi Roh; antara semua mahluk ciptaan yang lainnya. Kita dijadikan, demi hubungan dengan Tuhan. Bila kita memahaminya, lalu mengapa manusia memilih otonomi dan mendatangkan hukuman atas dirinya? Dengan membakar hutan dan lahan di IBU PERTIWI? Ataukah, kita tidak menyadari hal ini dan beranggapan bahwa “tindakan pembakaran” sebagai jalan satu satunya untuk memuaskan keinginan semu kita?

Sekarang semua telah terjadi, dan ini bukan sekali dua kali saja. Menurut data dari Kompas.com, Karhutla sudah menjadi edisi tahunan.[1] Seolah-olah, manusia memang sedang membuat pesta tahunan untuk membakar IBU PERTIWI. Bahkan Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani mencatat ada 42 wilayah perusahaan dan satu lahan konsensi milik masyarakat disegel. Wilayah-wilayah ini disegel karena diduga sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini. Lanjutnya, penyidikan tersebut menetapkan empat perusahaan yang menjadi tersangka.

PT ABP yang merupakan perkebunan sawit yang ada di Kalimantan Barat, PT. AER yang merupakan perkebunan sawit Kalimantan Barat, PT SKM perkebunan sawit Kalimantan Barat dan PT KS di Kalimantan Tengah.[2] Ya, merekalah nama-nama perusahan yang menjadi tersangka atas penyelidikan yang dilakukan oleh Dirjen Penegakan Hukum KLHK. Calonteolog.com menyebut mereka sebagai peserta edisi tahunan pembakaran IBU PERTIWI.

Apakah menurut saudara, perusahaan-perusahaan ini tidak mengetahui pemahaman-pemahaman seperti calonteolog.com sebutkan diawal? Jelasnya, perusahaan-perusahaan ini mengetahuinya. Tapi, kita ketahui sendiri pula bahwa  ‘ketamakan dan keserakahan mengikuti prinsip meningkatnya keinginan dan menurunnya kepuasan, sebuah bentuk hukum pengembalian terbalik’. Alhasil, kita tidak perlu heran mengapa keempat perusahaan ini melakukan hal tersebut.

Tapi, benarkah hanya keempat perusahaan sawit itu yang menjadi tersangka pembakaran ini?

Calonteolog.com masih curiga dan ragu bila hanya keempat perusahan ini, menjadi peserta tahunan pembakaran IBU PERTIWI. Menarik bila saudara juga membaca artikel yang dirilis dalam situs GAPKI.id (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Sebab, penulisnya menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi, tidak terkait secara sistematis dengan perkebunan kelapa sawit. Logika dan teori yang dimainkan juga sederhana untuk dipahami. Seperti, sejumlah hutan dan lahan yang mengalami kebakaran, namun tidak terdapat sedikitpun lahan sawit di wilayah tersebut. Ataupun, logika seperti wilayah yang sedang giat-giatnya mengembangkan lahan sawit justru hanya sedikit ditemukan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.[3] Tapi logika sederhana yang dirilis tiga tahun lalu ini, terbantahkan karena kepolisian telah menetapkan beberapa perusahaan sawit sebagai tersangka atas peristiwa ini. Tapi, bukan berarti juga bahwa calonteolog.com ingin mengatakan bahwa peserta dari pembakaran IBU PERTIWI adalah perusahaan sawit atau petani sawit. Tidak demikian! Bagi calonteolog.com artikel itu dipatahkan untuk kasus saat ini, berdasarkan penyelidikan dan penetapan tersangka pada perusahaan sawit tersebut.

Selain itu, artikel yang dirilis oleh GAPKI tersebut cukup membuat calonteolog.com berfikir tentang peserta baru lainnya. Sebab dituliskan pula teori mengenai tragedy of common. Teori yang dikembangkan Hardin tersebut mengungkapkan bahwa hutan itu tidak dimiliki siapapun dan semua memiliki akses untuk masuk dan memanfaatkannya, tanpa ada beban untuk bertanggung jawab dalam pelestariannya. Masuk akal, bukan? Bukan hanya para tersangka yang menjadi pesertanya, secara tidak langsung juga diantara kita juga menjadi pelaku yang tidak keliatan dan ikut bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Sebab, ketika musim kering datang, lahan-lahan gambut khususnya harus sangat diperhatikan. Api sekecil apapun itu dapat membuat kebakaran besar terjadi seperti saat ini.

Nah, kalau seperti ini. Kita harus bagaimana? Siapa yang paling bertanggung jawab? Perusahaan sawit? Petani sawit? Manusia? Bukti pergerakan alam? Atau memang segelintir oknumlah yang bertanggung jawab atas ketamakanya? Saudara dapat menyimpulkannya sendiri.

Jelasnya, sebagai manusia ciptaan Allah yang diberikan kuasa dan gambaran serupa denganNya. Kita juga tidak terlepas dengan pilihan dan kehendak bebas dari Allah. Termasuk tidak terlepas dengan kebebasan orang lain ataupun ciptaan lainnya. Jangan sampai ketamakan kita justru menghasilkan kebebasan yang kebablasan dan mengorbankan banyak orang.

Sebab kendatinya gagasan mengenai keistimewaan ini sangat berbahaya. Bagi calonteolog.com kita harus menempatkan diri dalam suatu hubungan yang harmoni bukan hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan ciptaan lainnya. Hubungan itu memberikan tanggung jawab khusus untuk bertindak. Karena Allah menciptakan bumi ini sebagai “rumah” untuk segenap makhluk didasarkan kedermawanan-Nya, maka sudah sepatutnya manusia juga ikut menjaganya.  Sebab keistimewaanya juga terletak, sebagai pelaksana harian untuk menguasai bumi dalam arti memelihara bukan mengeksploitasinya. Kalau kita gagal memelihara bumi maka kita gagal dalam tanggung jawab sebagai penatalayan ciptaan.

Atau, jangan jangan manusia berfikir dia lebih istimewa dari makhulk ciptaan lainnya?

Bila saudara berfikir demikian, saran terbaik dari calonteolog.com adalah membaca Mazmur 104. Sebab, dalam kitab tersebut salah satu penafsir mengatkan bahwa manusia berada dalam urutan yang sama dengan makhluk lain dan dengan habitannya. Dia tidak berada di atas yang lain, melainkan setara dengan yang lain. Jika didialogkan maka mansuaia adalah khalifah yang menata alam, tetapi dia adalah rapuh (vulnerable) dan bergantung (dependent) kepada Allah, dan karena itu dia adalah juga hasil tataan Ilahi. Manusia yang ingin menata alam dalam rangka menyelamatkan alam, terlebih dahulu harus sadar bahwa sebelum kita menata alam, sudah ada yang menatanya terlebih dahulu yaitu Allah. Ia menatanya dengan adil, sehingga penataan tersebut memperlihatkan irama yang teratur. Kita manusia termasuk yang ditata oleh Allah sehingga kita bisa melihat tempat kita di dalam alam ini. Ternyata kita adalah bagian dari alam ini. Memang alam adalah habitat kita, namun di mazmur 104 habitat itu menentukan. Jadi bukan hanya kita yang menentukan alam, tetapi alam juga menentukan kita. Kalau habitat itu rusak, kita juga kehilangan tempat kita.[4] 

Komentar