No Hoax - Amsal 6:16-19


Hoax sepertinya belum berhenti sampai saat ini, bahkan beberapa pekan terakhir ini media sosial memperlihatkan bagaimana kerusuhan di Wamena kembali terjadi dikarenakan Hoax yang dilontarkan oleh seorang di akun media sosialnya. Oknum yang sedang dalam pencarian ini menyebarkan berita tentang seorang Guru rasis kepada muridnya.

Meski baru mengambil peran utama dalam panggung diskusi publik Indonesia, hoax sebetulnya punya akar sejarah yang panjang. Menurut artikel yang dituliskan Kumparan.com[1], hoax pertama yang berhasil dicatat sejarah ditemui pada 1661. Kasus tersebut adalah soal Drummer of Tedworth, berkisah soal John Mompesson- seorang tuan tanah – yang dihantui oleh suara drum setiap malam di rumahnya.

Ia mendapat nasib tersebut setelah ia menuntut William Drury – seorang drummer band gipsy – dan berhasil memenangkan perkara. Mompesson menuduh Drury melakukan guna-guna terhadap drumahnya karena dendam akibat kekalahannya di pengadilan.

Singkat cerita, seorang penulis bernama Glanvill mendengar kisah tersebut. Ia mendatangi rumah tersebut dan mengaku mendengar suara-suara yang sama. Ia kemudian menceritakannya ke dalam tiga buku cerita yang diakunya berasal dari kisha nyata.

Kehebohan dan keseraman local horror story tersebut berhadil menaikkan penjualan buku Glancil. Namun pada, buku ketiga Glavill mengakui bahwa suara-suara tersebut hanyalah trik dan apa yang ceritakan adalah bohong belaka.

Ya, demikianlah sejarah awal dari Hoax, versi kumparan. Walaupun, ia juga menyadari bahwa kata hoax sebenarnya baru digunakan sekitar tahun 1808. Kata yang dipercaya muncul dari hocus (mengelabui). Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukkan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam pertunjukan mereka di panggung.

Namun, hoax dalam pengertian saat ini tidaklah sesederhana kelihatannya. Sebuah kebohongan bisa disebut hoax apabila dibuat secara sengaja agar dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Tak hanya itu, kebohongan baru disebut hoaks apabila keberadaanya memiliki tujuan tertentu, seperti misalnya untuk memengaruhi opini publik.

Bila kita melihat Alkitab, khususnya penulis Amsal menceritakan orang-orang zaman kuno yang menggunakan bahasa tubuh untuk menghancurkan sesamanya (6:12-15). Mereka memfitnah dengan mengerlingkan mata, memberi isyarat, atau mengangkat bahu agar merasa aman. Lagi pula, kejahatan dalam bentuk gerakan isyarat atau kerlingan mata sangat sulit dibuktikan. Tindakan mereka tidak kentara, tetapi sama mematikannya dengan peluru yang menembus jantung.

Ya, sedemikianlah berbahayanya hoax untuk kehidupan kita. Bahkan hoax ini juga akan berubah menjadi post-truth yakni kebohongan yang sangat sering diulang-ulang terus (ofter enough), lalu membuat orang mempercayai kebohongan itu dan bahkan kitapun juga ikut mempercayainya sebagai kebenaran. Ya, kita memahami bahwa kitalah pelaku hoax tersebut, namun karena terus diulang-ulang. Kitapun juga ikutan mempercayainya.

Calonteolog.com tidak ingin kita hanya berbicara tentang beberapa fenomena yang terjadi di Indonesia, sebagai akibat dari hoax. Karena, kepercayaan ataupun cara kita beragama juga “sepertinya” terindikasi dengan produk-produk hoax dari pendeta. Bukan apa kata Firman Tuhan! Ada banyak diantara kita yang mudah menghakimi orang lain dengan “kata Pendeta”. Tidak sedikit juga yang kecewa dan marah pada Tuhan, karena “kata Pendeta” tidak seperti yang dialami dan dirasakan olehnya.

Tentu, ini tidak semerta-merta kesalahan dari pendeta saja. Sebab, pendeta juga terkadang dibatasi untuk berkata-kata kebenaran, oleh jemaat. Atau lebih positifnya lagi, sering kata-kata pendeta hanya didengar lalu disampaikan, tanpa memahami secara jelas maksud dan tujuan dari kata yang disampaikan pendeta tersebut. Sekalipun demikian, orang-orang yang melakukan hal tersebut juga tidak akan mengalami perasaan bersalah. Mengapa? Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa kebohongan tersebut telah menjadi keyakinan untuknya pula.

Karena itu, saat ini perlu menyaring dan memahami setiap hal yang didengar dan diucapkan. Tidak mudah percaya begitu saja, bahkan bila hal itu juga masuk dalam ranah doktrin dan dogma. Seperti calonteolog.com pahami dan imani. Bahwa Tuhan adalah Sang Misteri, bila Misteri dengan mudah dijelaskan maka Misteri itu tidak lagi menjadi Misteri. Bila doktrin dan dogma bertujuan untuk menyederhankan Tuhan dan menghancurkan Sang Misteri, maka pembuat doktrin dan dogma melebihi dari Sang Misteri. Tetapi, bila setiap kita mengizinkan diri untuk mengalami dan menghayati iman kita bersama Sang Misteri, kita tidak membutuhkan penyederhanaan apapun. Karena itu sudah cukup untuk menguatkan dan mendukung kita ke arah yang lebih baik. Tanpa harus melupakan pembelajaran. Sebab bila seorang melupakan pembelajaran, pemahaman ini juga menjadi keliru. Setiap orang juga harus mau melakukan pembelajaran melalui pemahaman dan pengalaman orang lain tentang Tuhan. Jangan sampai, kita menjadi sombong dalam pikiran kita sendiri.



Komentar