HENTIKAN KEKERASAN VERBAL PADA KELUARGAMU (AMSAL 15:1-5)



Pernahkah saudara mendengar bahwa seorang petani akan mengarahkan pandangannya pada satu sasaran yang jauh selama membajak sawah, maka dirinya akan menghasilkan alur yang lurus. Ya, demikianlah jawaban untuk saudara yang mungkin pernah bertanya, mengapa tanaman-tanaman itu dapat tersusun dengan rapi dan indah.

Jika dengan mengarahkan pandangan ke sebuah sasaran yang jauh saja, saudara dapat membajak, maka saudara juga dapat menggunakan prinsip tersebut dalam kehidupan, apalagi jika sasaran pandang itu selalu sama, baik kemari, hari ini dan selamanya.

Itulah yang dikatakan oleh penulis Amsal dalam pasal 4.  Sesungguhnya, seluruh pasal dalam kitab Amsal berbicara tentang mengikuti jalan yang benar. Kitab tersebut menasihatkan tentang bagaimana menghindari godaan dosa seksual (pasal 5-7), bagaimana mempertahankan integritas (12:1-16; 29:23), bagaimana mengendalikan lidah (12:17-22; 21:23), bagaimana menghadapi orang yang sulit (14:7, 15:1) serta rahasia untuk hidup sehat dan umur panjang (3:7-8, 13-18). Menurut kitab Amsal, orang yang bijaksana akan berjalan di jalan yang benar dan tidak akan menyimpang.

Jalan yang benar adalah Yesus Kristus, itulah iman kita. Tahukah saudara, ketika Yesus menjadi manusia, Ia hidup dengan menaggalkan keilahianNya. Bukankah, ini serupa dengan manusia yang diajak untuk menanggalkan egoNya? Yesus dan keilahianNya dapat meninggalkan dan memusnahkan seluruh orang-orang yang dahulu mengumpatnya dan menyalibkan dirinya. Tapi Dia, memilih untuk tidak melakukan hal tersebut untuk menjadikan diri sebagai tebusan. Apakah hal serupa juga dapat kita lakukan?

Sebuah kisah menceritakan seorang Hakim Agung bernama Byron White. Ia sedang berada di Salt Lake City untuk berpidato, ia diserang oleh seorang pria yang marah. Tersangka mengatakan bahwa ia menyerang hakim itu karena keputusan-keputusannya di Pengadilan Tinggi. Ia berkata, "Hakim White menyebabkan sumpah serapah memasuki ruang keluarga saya melalui televisi." Untuk merasionalisasi serangannya, ia melanjutkan, "Satu-satunya cara yang saya ketahui untuk menghentikan hal itu adalah dengan mendatangi sumbernya."

Di situlah letak kesalahan pria itu. Tentu, ia berhak menyuarakan pendapatnya yang keras. Ia bahkan dibenarkan untuk marah jika ia yakin keputusan pengadilan mendorong imoralitas. Namun, sikap yang ia pilih untuk mengungkapkan kemarahannya sama buruknya, bahkan lebih buruk, dengan keputusan pengadilan yang salah.

Bacaan Kitab Suci hari ini berkata, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa" (Efesus 4:26). Apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain mungkin membangkitkan amarah kita dan pada beberapa kasus perlu membuat kita marah. Namun, berhati-hatilah untuk tidak bereaksi secara berlebihan dan kehilangan kendali. Rasul Paulus mengingatkan bahwa walaupun kita "masih hidup di dunia", namun kita "tidak berjuang secara duniawi" (2 Korintus 10:3,4).

Apakah orang kristiani boleh marah? Tentu saja boleh! Namun, jangan pernah membiarkan kemarahan kita meledak dengan cara yang berdosa.
  
Dalam kesempatan ini calonteolog.com tidak ingin kita berhenti pada simpulan tersebut saja. Sebab, sering kali marah dianggap sebagai sesuatu yang dibenarkan untuk menyatakan kesalahan, nasihat dan membenarkan diri sendiri. Alhasil, sikap demikian justru menjadi kekerasan yang lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik yang sering terjadi di dalam keluarga.

Tahukah saudara, sebuah kisah menceritakan seorang anak berusia delapan tahun ditangkap karena menyerang teman bermainnya dengan sebatang tongkat. Namun keadaan kian memburuk ketika kedua pihak orangtua anak-anak tadi terlibat perang mulut dan menyebabkan anak-anak tersebut dihina dan dipermalukan di depan pers nasional. Tongkat dan batu menimbulkan luka yang biasanya disembuhkan oleh waktu. Tetapi perkataan dapat melukai lebih dalam dan menimbulkan rasa sakit yang bertahan seumur hidup.

Karena itu, kitab Amsal mendorong kita untuk berhati-hati atas perkataan kita (12:17-22; 15:4; 26:2). Seharusnya kita berdoa bersama sang pemazmur, "Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku" (Mazmur 19:15)
  
Demikianlah, mengerikannya suatu kekerasan verbal. Tentu hal ini, dapat saudara antisipasi dengan mengendalikan diri dan menggap bahwa umpatan itu sebagai sesuatu yang tidak penting. Sebab, terkadang kita perlu mengizinkan orang lain merasa diri benar daripada ikut masuk dalam perdebatan yang tidak berujung. Tapi, bagaimana bila ini dilakukan oleh keluarga saudara. Apakah, hal demikian dengan mudah untuk kita terima?
   
Jika kita mengasihi anggota keluarga kita, tentu kita ingin melihatnya maju. Sedikit banyak kita akan merasa berhak dan berkewajiban untuk memberikan dorongan. Kita pun kemudian memberikan nasihat sesuai dengan cara yang kita pandang baik. Tidak jarang, nasihat kita bercampur dengan rasa gemas dan tanpa direncanakan nada suara kita pun meninggi. Terlebih jika kita tidak melihat perkembangan baik dalam kehidupan pribadi orang yang kita kasihi tersebut. Yang tidak kita sadari, seringkalinya maksud baik kita malah membangkitkan ketidaksukaan di dalam hati anggota keluarga yang kita nasihati tersebut. Bukannya termotivasi, ia malah menjadi sakit hati dan memberontak. Bukannya merasa dikasihi, ia malah merasa direndahkan dan dihakimi. Tak ayal, pertengkaran pun terjadi.

Sebab, kita harus menyadari bahwa semua individu akan mengatasi skenario dengan cara berbeda-beda. Contohnya seperti seorang Bapak yang memiliki tiga orang anak; Satu atau dua orang saudara dapat menerima komentar yang dilempar Bapak mereka, tapi saudara lainnya dapat merasa komentar tersebut sangat menyakitkan dan berada di bawah pertahanan dirinya.”

Mengapa demikian?

Sam Wass, psikolog perkembangan mental di Universitas of East London dan Universitas Cambridge menjelaskan fenomena serupa pada anak yang disebut dengan fenomena 'dandelions' dan 'orchids'.

Mengutip studi ahli perkembangan anak Megan Gunnar, Wass menjelaskan, anak dandelion secara neurobiologi adalah anak yang kurang sensitif. Mereka akan berkembang dalam rumah tangga yang suportif ataupun yang tidak suportif.

Sebaliknya, anak orchid akan maju jika mereka berada dalam lingkunan yang suportif, tapi sangat menderita jika dibesarkan dalam rumah yang tidak mendukungnya.

Karena itu, calonteolog.com sangat setuju dengan statement yang pernah disampaikan oleh Gary Chapman dalam bukunya, “…dibutuhkan empati dan kemampuan untuk melihat dari perspektif orang yang kita kasihi. Kita harus terlebih dahulu mempelajari apa yang penting bagi mereka. Baru kemudian kita dapat memberikan dorongan.”

Coba renungkan kembali, pernahkah kita mencoba untuk memahami kesulitan yang dihadapi oleh orang yang kita kasihi? Apakah dengan bersikap keras dengan mereka, lantas mereka dapat menemukan jalan keluarnya sendiri? Cobalah untuk mengajak mereka bicara baik-baik. Tanyakan apa yang sebenarnya mereka inginkan dan butuhkan. Siapa tahu, dengan cara demikian kita dapat benar-benar menolong mereka.




Komentar