Berjaga-jagalah, Jangan Tersesat - Matius 24:3-8


Saudaraku, adalah suatu kisah mengenai percakapan Gus Dur dan Santrinya. Percakapan yang dituliskan dalam kesempatan ini, merupakan lanjutan dari pernyataan Gus Dur mengenai iblis bukanlah Atheis. Karena kebingungan, maka si santripun tetap menyatakan keheranannya. "Masa sih, Gus?"

Gus Dur : "Lho, kan dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok."

Santri : "Terus, kesalahan terbesar dia apa?"

Gus Dur : "Sombong, menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran."

Santri : "Wah, persis cucunya Nabi Adam juga tuh."

Gus Dur : "Siapa? Ente?

Santri : "Bukan. Cucu Nabi Adam yang lain, Gus. Mereka mengaku yang paling bener, paling sunnah, paling ahli surga. Kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Mereka tuduh kafir, ahli bid'ah, ahli neraka. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka tidak mau menghormati orang lain. Kalau sudah marah nih, Gus. Orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak, mencuri kitab kitab para ulama. Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh."

Gus Dur : "Wah, persis Iblis tuh."

Santri : "Tapi mereka siap mati, Gus. Karena kalo mereka mati nanti masuk surga katanya."

Gus Dur : "Siap mati, tapi tidak siap hidup."

Santri : "Bedanya apa, Gus?"

Gus Dur : "Orang yang tidak siap hidup itu berarti tidak siap menjalankan agama."

Santri : "Lho, kok begitu?"

Gus Dur : "Nabi Adam dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (lihat Al- Baqarah: 37). Bukan waktu di surga."

Santri : "Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?"

Gus Dur : "Pinter kamu, Kang!"

Santri : "Santrinya siapa dulu dong? Gus Dur." 
Agama itu bekal untuk hidup, bukan bekal untuk Mati
Membaca percakapan sederhana ini, bukan tidak mungkin diantara kita akan merasa tidak cocok. Namun, baik bila kita tidak terburu-buru berhenti pada kata tidak setuju. Sebab, dalam tulisan ini, kita akan membahas percakapan dan mengkorelasikannya  dengan percakapan Yesus bersama para muid dalam Matius 24:3-8.

Seperti kita baca, dalam percakapan tersebut murid-murid datang kepada-Nya untuk mempertanyakan tentang tanda kedatangan Yesus dan kesudahan dunia. Jawaban Yesus juga sederhana mengenai pertanyaan ini “Waspada; Berjaga-jaga”. Sebab, seluruh tanda-tanda yang disampaikan hanyalah permulaan menjelang zaman baru. Dengan kata lain, penderitaan-penderitaan akan terus berjalan. Tapi itu hanyalah permulaan, artinya Yesus juga belum tentu datang setelah penderitaan itu bermunculan. Sebab, seperti yang disampaikan Yesus pada Matius 24:43 kedatanganNya seperti pencuri yang tidak kita ketahui kapan. Untuk itu, poin penting dalam percakapan ini tentang bagaimana  para muridNya berdiri teguh dalam kebenaran yang telah mereka terima yaitu Yesus Kristus sendiri. Demikian pula, bahwa Yesus juga mengharapkan agar kita berdiri teguh didalamNya, bukan ketakutan terhadap kedatanganNya, melainkan bersukacita dalam masa penantian (adven) ini .


Bagaimana Caranya? Bila dalam percakapan Gus Dur dan santrinya, Agamalah yang menjadi bekal untuk hidup. Maka dalam hal ini, biarlah Firman Tuhan (Yesus) lahir dalam hati kita dan menjadi bekal untuk kita tetap teguh dalam menjalani kehidupan.

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita; “Lalu bagaimana dengan Akhir Zaman? Bagaimana dengan semua tanda-tanda yang terlihat nyata dalam kehidupan dan dinubuatkan Alkitab?”

Faktanya bagi sebagian orang, percakapan mengenai Akhir Zaman sangatlah menarik. Tapi sebagian orang juga melihat percakapan tersebut sangatlah menjenuhkan. Tentang bagaimana posisi saudara dalam menaggapi Akhir Zaman, poin utamanya bukanlah “waktu”, melainkan seperti yang kita telah bahas sebelumnya, ini tentang bagaimana “kita berdiri teguh didalamNya, bukan ketakutan terhadap kedatanganNya, melainkan bersukacita dalam masa penantian (adven) ini ”.

Tindakan nyatanya adalah dengan berdiri diantara keduanya, dalam menyikapi Akhir Zaman, yakni tidak berlebihan dalam membicarakan dan tetap serius dalam memikirkannya. Mengingat Akhir Zaman merupakan subjek yang mudah disampingkan. Seperti nasihat yang Yesus sampaikan tentang kemunculan nabi-nabi palsu.

Sikap demikian ini muncul karena memikirkan tentang Akhir Zaman itu juga ada baik dan buruknya. Bayangkan saja bila setiap orang memikirkan Akhir Zaman atau sederhananya pemakaman bagi mereka sendiri; sekalipun menyeramkan. Tapi, melakukan hal ini akan membuat kita ingat: ingin menjadi jenis orang seperti apakah kita dan prioritas hidup dan mana yang paling penting untuk kita. Karena sebagian besar orang, akan lebih mudah berefleksi kembali hidup mereka setelah terbaring di peti mati, berharap prioritas hidup mereka akan berbeda.

Disisi lain, bila seseorang tidak berlebihan membicarakan dan membayangkan Akhir Zaman atau sederhananya tentang kematiannya sendiri, juga ada baiknya. Hidup yang demikian ini pastilah akan lebih santuy. Contoh sederhananya, ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak, berkata, “saya tidak bisa merapikan rumah menjadi sebersih yang saya inginkan sebelum semua orang meninggalkan rumah di pagi hari.” Ia begitu panik memikirkan ketidakmampuannya untuk menjadi sempurna sehingga dokternya meresepkan obat anticemas untuknya. Ia bersikap (dan merasa) seakan ada sepucuk pistol yang diarahkan ke kepalanya dan pemegang pistol itu menuntut agar ia membereskan semua piring di meja makan dan melipat semua serbet yang berserakan-atau tugas-tugas rumah tangga lainnya! Ya, demikianlah bila seseorang terlalu berlebihan membicarakan dan membayangkan Akhir Zaman. Tidak ada sukacita, dan bebanpun semakin bertambah.

Bila saudara menyadari, hal yang ingin disampaikan sangatlah sederhana; bersukacitalah dalam penantian (adven) ini. Sebab tidak ada orang lain selain diri kita sendirilah yang menciptakan tekanan yang kita alami. Padahal, sejatinya kita mengetahui bahwa,"kita tidak tahu kapan hari itu akan tiba". Lalu untuk apa, kita tanamkan beban itu dalam pikirkan kita, yang justru membuat kita tidak lagi bersukacita dalam masa pengharapan (adven) ini?


Komentar