Kehidupan Baru di Dalam Tahun - Yeremia 31: 1-6




Kata kunci untuk bisa memahami Yeremia 31:1-6 adalah “Anugerah”, suatu sikap dari Allah yang diberikan kepada Orang Israel di masa Pembuangan, sekalipun itu tidak layak untuk diterima. Hal tersebut tertuang dalam  kata-kata yang baik dan menghibur, menyemangati orang-orang buangan dan meyakinkan mereka bahwa Allah pada waktunya akan memulihkan mereka. Bahkan, Allah akan membuat mereka menjadi bangsa yang besar dan berbahagia.

Sungguh menarik bukan? Ketika orang-orang Israel sering berubah-ubah kepercayaanya pada Allah, ketika dunia ini sarat dengan perubahan. Tapi, anugerahNya tetap dan tidak terbatas. Karena kasihNya memang kekal.

Demikian pula dengan kehidupan kita saat ini, yang telah memasuki tahun baru. Kita melihat ada banyak hal mengalami perubahan. Bahkan, hal itu sangatlah kita sadari. Mengingat segala sesuatu di dunia ini, memang tidak ada yang akan bertahan untuk selamanya. Baju yang kita kenakan hari ini mungkin pernah menjadi baju favorit kita di waktu yang lalu, tetapi seiring dengan waktu, baju itu terlihat begitu biasa. Mobil kita yang ketika masih baru mungkin sering kita bangga-banggakan, tetapi lihatlah sekarang, kita kesal dengan mobil yang sudah mulai sering rawat inap di bengkel. Empat puluh tahun lalu mungkin kita termasuk gadis cantik/ lelaki tampan yang jadi rebutan banyak orang, tetapi sekarang, siapa yang peduli pada nenek-nenek dan kakek-kakek yang sudah peyot?

Itulah kehidupan di dunia. Tak ada yang kekal. Tak ada yang bisa bertahan untuk selamanya. Hanya satu yang tetap kekal; kasih Allah! Allah mengasihi kita dengan kasih yang tidak pernah berubah. Tidak pernah berhenti. Allah mengasihi kita untuk selamanya.

Saat kita berbuat dosa dan membutuhkan pengampunan Allah, ingatlah bahwa kasih-Nya kekal. Saat kita memasuki masa-masa sulit, ingatlah bahwa kasih Allah itu kekal. Jika di waktu lalu Allah pernah menolong kita dengan cara yang ajaib, tidak mustahil hari ini kita juga akan mengalami lagi pengalaman yang dahsyat bersama dengan Allah. Sebagaimana pemazmur menulis, "Kasih setia Allah dari selama-lamanya sampai selama-lamanya" (Mazmur 103:17).

Karena Kasih Allah tidak memiliki batasan, kita selalu memusatkan pengharapan kita pada AnugerahNya. Sebab, kita sendiri menyadari bahwa kehidupan kita saat ini juga bukan karena kuat dan hebat kita. Sebaliknya, semua hanya semata-mata dari Anugerah Allah.

Namun pengalaman iman demikian ini, juga tampaknya akan menjadi bahaya. Kita perlu hati-hati, sebab sikap demikan dapat menimbulkan pengharapan pasif atau kepasrahan pada nasib. Franz Kafka, dengan bagus mengilustrasikan sikap ini dalam ceritanya “The Trial.”. Isi ceritera itu tentang seorang laki-laki yang datang ke pintu gerbang surge. Ia meminta izin pada penjaga pintu agar boleh masuk. Namun, Sang Penjaga tidak mengizinkannya masuk dan kemudian pergi meninggalkannya dengan pintu tetap terbuka. Sekalipun begitu, laki-laki itu tidak berani masuk, malah ia memutuskan lebih baik baginya menunggu sampai diperbolehkan masuk. Maka ia duduk terpekut disana, hari demi hari, hingga beratahun-tahun, sembari mengulangi permintaannya. Tetapi, jawaban yang dia dapatkan masih sama. Sampai lelaki itu menjadi terlalu tua dan bertanya kepada Sang Penjaga lagi, “Bagaimana bisa terjadi, bahwa selama bertahun-tahun ini taka da seorangpun yang datang kemari untuk minta izin masuk kecuali saya?”. Sang penjaga menjawab. “Orang lain tidak boleh masuk melalui pintu ini kecuali Anda, karena pintu ini memang hanya khusus untuk Anda. Dan sekarang….. saya akan menutupnya selamat tinggal!”

Bukankah hal serupa, juga sering terjadi dalam kehidupan kita? Dimana orang lain ataupun diri kita sendiri, sering menjadi Tuhan atas diri kita ? Saat orang lain ataupun sikap pesimis kita berkata “tidak”, maka kitapun tidak memiliki usaha apapun untuk masuk. Padahal, keberanian untuk tidak mengindahkan titah tersebut merupakan tindakan pembebasan yang akan membawa lelaki tersebut pada istana penuh keindahan dan kemegahan.

Itulah bahaya dari pengalaman iman yang disebutkan sebelumnya. Memusatkan hidup kita pada anugerah dan tidak berlaku apa-apa, seolah-olah Allah tidak memberikan daya apapun untuk kita berusaha.

Kecenderungan tersebut, juga dekat kaitannya dengan bentuk pengharapan yang dianut banyak orang; digambarkan sebagai pengharapan "waktu". Waktu dan masa depan menjadi kategori sentral model ini. Tiada yang diharapkan pada saat sekarang. Semua hanya pada saat nanti, besok, tahun dan di dunia lain nanti.
“saya tidak bisa berbuat apa-apa, saya tinggal pasif, saya bukanlah apa-apa dan impoten, tetapi masa depan akan menghasilkan apa yang tidak bisa saya capai saat ini”
Itulah penyembahan berhala pada “masa depan”; tidak melakukan sesuatu saat ini. Masa depan, anak cucu, seoalah-olah akan melakukan tugasnya dengan baik tanpa perlu merintis sesuatu sejak sekarang”.

Tapi, kecenderungan pada pengalaman iman demikian, juga tidak berhenti pada penantian pasif saja. Tetapi juga pada sikap avonturisme atau sikap yang memaksakan apa yang sebenarnya tidak dapat dipaksakan. Sikap ini Nampak dengan bermunculannya mesias-mesias palsu setelah perikop ini disampaikan. Mereka tampil berani, polos dan ngotot, namun mereka sendiri kurang menyadari kalau mereka itu tidak realistis, mereka kurang punya strategi, dan dalam arti tertentu juga kurang mencintai kehidupan.

Lalu bagaimana seharusnya menghadapi semua hal ini?

Sikap yang baik untuk meresponnya adalah “EVALUASI”. Sikap yang didalamnya memunculkan suatu kesiapan menerima waktu saat ini; apa yang belum lahir; dan tidak menjadi kecewa atas apa yang tidak lahir dikehidupan sebelumnya. Dengan demikian, kita tidak hanya berhenti pada penghakiman terhadap diri sendiri, sebaliknya kita berdamai dengan diri kita; saat ini, masa depan dan masa kemarin. Lalu membangkitkan semangat dan usaha baru untuk kedepannya, dalam penyertaan dan bimbingan Tuhan. Sebab, apalah semangat dan usaha manusia tanpa penyertaaNya?

Komentar