Jagalah Hatimu, Karena dari Situlah Terpancar Kehidupan - Amsal 4:20-27



Salah satu makanan favorit saya di Medan adalah tape. Tape ini berbeda dengan beberapa tape di daerah lain. Tape tersebut berwarna biru dan baunya sangatlah khas. Karena sukanya pada tape tersebut, 5 bungkus juga tidak cukup untuk membuat selera saya puas.

Suatu waktu, dalam pelayanan di Kota Bogor. Saya bertemu dengan seorang pendeta yang sangat ahli membuat tape tersebut. Hal yang menarik dari pengalamanya, disebutkan bahwa tape tersebut tidak akan terasa manis bila pembuatnya tidak memiliki hati yang baik. Ketika pembuatnya memiliki hati yang tidak baik, maka tape tersebut akan terasa asam. 

Aneh bukan? Tapi demikianlah cerita itu juga saya dengar dari banyak orang yang ahli dalam membuat tape.

Seandainya kehidupan adalah bagian dari proses pembuatan tape, rasa apakah yang akan dihasilkan dari diri kita ? Asam atau Manis?

Hati meliputi segala hal yang mencakup pikiran dan kehendak manusia, dan juga meliputi aspek moral maupun emosional. Hati adalah titik pusat dari keberadaan kita. Demikianlah kiranya maka hati menjadi tema besar dalam kitab Amsal, terlihat dengan kata ini yang dituliskan sebanyak 75 kali.

"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Amsal 4:23).

Dalam analisa sederhana saya, tidak jarang diantara kita justru menjebak dirinya dengan hati yang rusak. Beberapa masalah dan kekacauan sering terjadi bukan karena hal yang ada diluar diri kita, namun justru hati yang rusaklah penyebabnya.

Misalnya saja, pertemuan saya dengan seorang di dalam pesta yang sangatlah meriah. Ada banyak diantara kami merasa gembira dan senang dalam pesta tersebut. Namun dirinya sangat tidak menikmati pesta tersebut, hanya karena kekecewaan yang ada dalam dirinya. Adapula pertemua dengan seorang yang memiliki profesi menjajikan dalam pandangan banyak orang. Tetapi, ketika saya mengajukan pertanyaan kepadanya; “Dengan profesimu saat ini, engkau pasti sangatlah menikmatinya?”. Ia justru menjawab “Tidak! Aku sama sekali tidak menyukainya, karena hatiku bukan disini. Tapi di luar sana! Aku akan dapat menikmati hidup lebih baik lagi, saat aku mengikuti hatiku”.

Namun, adapula pertemuan saya dengan seorang yang lebih memilih kebutuhan dan mengabaikan hatinya. Sekalipun pertemuan itu hanya sebentar dan tidak ada wawancara yang lebih jauh dengan dirinya. Tapi jawabanya sungguh membuatku terus bertanya sampai saat ini, katanya “Manakah yang lebih utama, hati kita atau kebutuhan dan kebahagian keluarga?”

Ketika saudara membaca Amsal 4:20-27, adakah dinasihatkan tentang kebutuhan dan kebahagian orang lain? Tampaknya tidak! Seluruh nasihat tersebut diberikan untuk diri sendiri dan semua hal yang ada dalam diri.

Lalu, saudara mungkin akan berkata, “Ikutilah kata hatimu, dan berhentilah untuk membuat orang lain bahagia. Yang terutama adalah bahagiakan dirimu sendiri”

Kata-kata itu sangatlah mudah diucapkan dan disampaikan oleh banyak orang. Namun sanggupkah kita melakukannya? Bagaimana bila hati kitalah yang justru rusak? Apakah kita juga tetap mengikuti kata hati kita dan membuat orang disekitar kita justru merasa buruk saat bersama dengan kita.

Saat ini, beberapa orang yang peduli dengan kesehatan, akan menjadwalkan pemeriksaan kesehatannya. Bahkan, dirinya siap membayar mahal untuk melakukan pemeriksaan tersebut, mengingat pentingnya kesehatan. Namun pernahkah hal serupa kita lakukan untuk hati kita?

Sebelum menanggapi pertanayaan tersebut, saya berpandangan bahwa; "Hal yang sering terjadi justru ketika kita menganggap kata hati adalah keinginan hati (ego)."

Ketika kita terjebak dalam hal ini, maka kita akan sulit menerima kehendak Allah dalam hidup kita. Tidak heran, bukanya kebahagian malah keputus-asaanlah yang saudara dapatkan. Sebab saudara terus menerus berjuang untuk memenuhi keinginan hati. Sementara, keinginan hati tidak pernah ada habisnya.

Orang-orang inilah yang justru terjebak dengan sikap mengeluh setiap waktu. Ia tidak memiliki kebahagian apapun, sekalipun ia menjalani kehidupan dengan mengikuti kata hatinya. Sebab, kata hati yang disebutkanya justru keinginan hati (ego).

Karena itu, saya pikir baik untuk menjawab pertanyaan; “Manakah yang lebih utama, hati kita atau kebutuhan dan kebahagian keluarga?”. Saudara terlebih dahulu membayangkan sebuah sumber air PAM untuk sebuah kota. Perusahaan air minum mempunyai kewajiban untuk menyediakan air bersih yang  dapat diminum untuk penduduk kota.  Untuk keperluan itu, perusahaan air minum harus menjaga pasokan airnya.

Untuk dapat memberikan pasokan air yang murni, perusahaan air minum pertama-tama harus memiliki sumber air yang murni yang disimpan di dalam waduk atau kolam.  Kedua, mereka harus menjaga air yang mengalir masuk ke dalam waduk. Dan ketiga mereka harus menguji air yang mengalir ke luar dari waduk. 

Nah, periksalah terlebih dahulu hatimu dan tetaplah berwaspada! Bagaimana mungkin saudara terus menerus menjaga hati yang rusak?

Komentar