Maria dan Martha: Maukah Kamu Mempercayaiku? (Tinjauan Kisah Lazarus Yoh 11:1-38)

Photo by unsplash

Mengapa kita harus percaya kepada Dia yang membiarkan kematian pada Lazarus dan membangkitkannya? Atau, kita percaya karena dia bangkit? Bagaimana jika Lazarus tidak bangkit? Mengapa kita harus percaya  pada Dia yang memberikan  kesedihann bagi Martha dan Maria? Mengapa kita harus percaya pada Dia?

Tidak jarang dalam kehidupan ini, seseorang menemukan kedukaan, padahal dalam kehidupannya ia sudah bertobat dan berlaku baik pada-Nya. Ada begitu banyak pendeta yang berbicara tentang kasih dalam setiap kehidupan-Nya. Tetapi, tidak sedikit pula terlihat tangisan, entah itu karena perasaan haru ataupun menyedihkan dari kehidupan nyata dari orang-orang percaya.

Bahkan beberapa orang sering kali merasakan bahwa mereka telah dimarahi dan ditegur olehNya. Terbukti dengan setiap kali saudara menemukan banyaknya postingan-postingan, dituliskan “INI COBAAN DARI TUHAN”, “TUHAN MARAH PADA KEHIDUPAN KITA”. Terlebih dalam kolom komentar-komentar yang mengupload soal fenomena alam, seperti Banjir, Gempa Bumi, dsb.

Termasuk dengan kisah yang terdapat dalam Yohanes 11:1-38 mengenai seorang yang meminyaki kaki-Nya dengan minyak mur dan menyekanya dengan rambutnya sebagai wujud pertobatannya, itupun masih mengalami duka. Ketika membaca kisah ini, saya langsung memiliki imajinasi, demikian;

Mungkinkah ini sebuah DRAMA? 

Sekenario ditulis, lalu dimainkan oleh Dia sebagai alat untuk kita belajar percaya padanya? Namun, pantaskah ketulusan itu dipermainkan oleh Dia yang berkuasa? Atau, sebenarnya itu hanya asumsi belaka, bahwa tidak ada DRAMA yang dimainkan olehnya dalam kehidupan kita?

Bayangkan saja, dalam kisah tersebut dikatakan penulis bahwa Yesus sengaja  tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada.

Apa yang ia rencanakan?

Maria sudah mengirimkan kabar kepada-Nya bahwa yang dikasihi oleh-nya sedang sakit. Saat itu, Maria tidak menjumpai-Nya. Ia megirimkan kabar, sehingga bisa kita perhitungkan bahwa pesan itu sampai “sudah pasti” membutuhkan waktu yang lama mengingat kala itu, alat komunikasi belum secanggih saat ini.

Tapi, apa yang didapat?

Yesus sengaja menambah lagi waktu penantian kedatangan Maria menjadi dua hari. Pernahkah saudara marah kepada seseorang yang tidak datang tepat pada waktunya? Atau, apabila kita datang ke rumah sakit dan dokter sengaja mengabaikan kita karena kita hanya menggunakan kartu BPJS?
Apakah saudara memiliki imajinasi yang sama seperti calonteolog.com? Apa yang dia rencanakan sebenarnya?

Marilah kita lihat, bahwa situasi kala itu digambarkan penulis sebagai situasi yang cukup mencekam. Dituliskan bahwa, lokasi pertemuan yang diharapkan  Maria dan Marta dapat didatangi Yesus merupakan wilayah yang membahayakan. Sebab, kala itu, Yesus dan murid-muridnya “hampir” dilempari oleh orang-orang Yahudi. Ini terlihat dalam pertanyaan yang disampaikan murid-murid kepada Yesus. Sampai akhirnya, calonteolog.com bisa memakluminya, ketika Yesus memberikan waktu dua hari itu, bila situasi sedang demikian.

Tapi pernahkah kita berfikir demikian? Pernahkah kita bertanya tentang keterlambatan seseorang atau menanyakan sikap dokter yang mungkin sebenarnya dia tidak mengabaikan kita. Bayangkan bila saudara berada pada posisi Maria dan Martha, mungkinkan saudara bisa menerima dan memakluminya?

Saya, secara pribadi mengakui bahwa amarah itu lebih dahulu merasuki hati dan menaburkan benih kepahitan dalam diri . Sehingga, untuk saya menanyakan saja, jadi sesuatu yang mustahil dan tidak pernah. Karena merasa sakit hati dan kecewa, sehingga sulit untuk mendengar penjelasan dan memberikan waktu Yesus untuk menjelaskannya.

Namun, salahkah seorang Marah dan Kecewa, dengan situasi demikian?

Marah  dan kecewa adalah dua hal dari sekian banyak perasaan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Tapi, salahkah seseorang marah kepada Tuhan? Salahkah seseorang menyampaikan kekecewaannya kepada Tuhan. Beberapa orang percaya, memiliki ketakutan dan merasa berdosa bila Marah dan Kecewa kepada. Tuhan.

Mengapa?

Ada semacam pemahaman yang diberikan kepada orang-orang beriman untuk tidak boleh marah dan kecewa kepada Tuhan. Dianggap sebagai pribadi yang tidak pernah bersyukur tentang keadaan. Dianggap sebagai pribadi yang kurang berserah. Begitu banyak kecaman-kecaman yang datang kepada seorang yang menyampaikan amarah dan kekecewaannya kepada Tuhan.

Tapi, cobalah sedikit untuk kita berfikir dengan cara yang berbeda. Bagaimana bila penyampaian itu merupakan wujud kedekatan, kita kepada Tuhan. Selayaknya seorang anak kecil yang marah dan menangis saat Ibunya tidak memberikan apa yang dia inginkan. Berharap dengan amarah dan tangisan yang dilakukan oleh si anak, Ibunya mengerti bahwa anak itu sangat meningingininya.

Dituliskan dalam kisah tersebut, bahwa Maria meyampaikan kekecewaannya kepada Yesus bahkan Maria juga menangis didepannya. Sampai peristiwa yang membuat calonteolog.com menjadi terharu adalah ketika Yesus menunjukkan empatinya. Ia juga ikut bersedih dalam kesedihan yang dirasakan Maria.

Ya, kisah ini menyadarkan calonteolog.com tentang suatu hal. Sesuatu tentang Yesus yang senang untuk mendengarkan seluruh perasaan yang ada di dalam hati kita. Yesus menginginkan kita jujur kepadaNya. Karena Dia menganugerahkan kita dengan begitu banyak perasaan, maka kita boleh mengungkapkan tanpa perlu merasa bersalah keapda-Nya.

Namun maukah kita tetap memiliki pengharapan dan berserah saat kecewaan itu datang dan duka menyelimuti hati kita? Inilah yang menjadi poin pentingnya. Sehingga, ungkapan jujur dari seluruh perasaan kita, berasal karena kepercayaan kepada Tuhan yang ikut berempati pada apa yang kita rasakan. Kejujuran yang akhrinya menyembuhkan diri, untuk menerima semua hal yang telah terjadi. Termasuk mempercayai Maria, yang tetap percaya kepada Yesus sekalipun kedukaan meliputinya ataupun kemungkinan untuk Lazarus tidak dibangkitkan dan tetap mati. Kepercayaan di dalam diri Maria, tidak akan pernah hilang. Bagaimana dengan saudara? Percayakah saudara kepadaNya?

Komentar