Memiliki Hati Yang Menghamba (Yesaya 42:1-9)



SERING KU TAK MENGERTI JALAN-JALAN-MU TUHAN

BAGAI DI BELANTARA YANG KELAM
TANPA SERIBU TANYA, NAMUN TETAP PERCAYA
JEJAK-MU TUHAN SUNGGUH SEMPURNA


AJARKU MEMAHAMI SEMUA YANG KAU INGINI

AGAR HIDUPKU PUASKAN HATI-MU
BAGI-MU AKU RELA SEPENUH HATI MENGHAMBA
SERAHKAN DIRI GENAPI KARYA-MU




Pernahkah saudara mendengar lagu “JejakMu Tuhan”, lagu yang bercerita tentang keinginan hati menghamba dan memahami kehendak Tuhan. Ketika mendengar dan menyanyikan lagu ini, rasanya hati begitu tenang dan tekad semakin kuat untuk memiliki hati yang menghamba kepada Tuhan.

Namun benarkah semudah itu menjadi dan memiliki hati yang menghamba?



Tidak, sangatlah tidak mudah! Bahkan bila saudara membaca Yesaya 42, saudara akan menemukan teks ini juga berisi teguran Tuhan kepada umat-Nya. Awalnya, Israel punya julukan hebat: hamba Tuhan. Namun, sang nabi menyindirnya sebagai hamba Tuhan yang buta dan tuli. Bahkan satu-satunya bangsa yang buta dan tuli: "Siapakah yang buta selain dari hamba-Ku, dan yang tuli seperti utusan yang Kusuruh?" (ayat 19). Bermata, tetapi tidak melihat. Bertelinga, tetapi tidak mendengar. Intinya, nabi menohok dengan mengatakan si hamba Tuhan ini berindra, namun indranya tak berfungsi.

Itu pengalaman bangsa Israel bagaimana dengan kita? Seberapa sering saudara menutup mata kepada sekeliling saudara? Seberapa sering saudara berpura-pura tuli dan tidak mendengar panggilan Allah? Seberapa sering saudara menafikan kehendak Allah, hanya karena tidak sesuai dengan harapan saudara?

Saya seorang yang berkecimpung di dunia teologi, dan sejak SMA memiliki keinginan hati untuk menjadi Hamba Tuhan. Terkadang, setiap kali bertemu dengan beberapa orang ataupun jemaat. Pertanyaan yang sering ditujukan kepada saya adalah, “Mengapa saudara ingin menjadi pendeta?”

Pertanyaan-pertanyaan itu sering membuat beberapa orang dan terkadang saya pula, untuk merangkai suatu cerita besar tentang perbuatan Allah kepada kita. Bahkan tidak jarang kebohongan tersebut menjadi suatu kebenaran, dikarenakan cerita yang terus menerus diulangi kepada orang lain.

Tetapi sayangnya, cerita saya tidak pernah menarik bagi banyak orang. Sampai akhirnya saya berhenti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan ketika saya lulus dari teologi, pertanyaan justru muncul dalam diri, “Kenapa proses pemanggilan hidupku tidak ada seperti orang-orang yang memilih hidup menjadi pendeta?”

Ya, sampai detik ini proses pemanggilan seperti yang banyak pendeta ataupun mahasiswa teologi sampaikan, tidak pernah terjadi didalam hidup saya. Lalu, apakah dengan demikian saya adalah bagian dari orang yang tidak terpilih sebagai pendeta? Atau adakah seorang yang mengetahui kehendak Tuhan tentang dirinya? Atau pertanyaan lainnya, bagaimana cara seorang memahami kehendak Tuhan dalam dirinya?

Paul Athaus dalam artikelnya yang berjudul “Kehidupan dibawah Perintah Tuhan” menuliskan demikian;

Kehendak Allah adalah tetap mengambil bentuk suatu perintah. Bagi orang Kristen, Allah adalah tetap Tuhan yang berkuasa atasya … Ini menunjukkan, pertama-tama bahwa karena kehendak Allah adalah kehendak Dia yang adalah Tuhan kita, maka kita tidak dapat mengerti kehendak ini sebagai sesuatu yang telah tersedia di depan kita, tetapi kita harus menunggunya dan mencarinya.

Menunggu dan mencarinya, dua kata kunci ini menjadi sesuatu yang jelas bagi kita bahwa kehendak Tuhan itu adalah bagian dari bayang-bayang misteri dalam kehidupan kita. Dengan kata lain, untuk memahaminya membutuhkan proses dan keteguhan hati.

Maka dari itu, dalam artikel tersebut Athaus juga mengatakan fungsi kehadiran Roh Kudus bagi manusia, yakni hadir sebagai pembimbing  bagi orang-orang yang dalam ketekunan dan kerendahan hati mencari kehendak Allah. Sebab, saat kita memohon dengan sungguh-sungguh, pastilah kita akhirnya akan mengetahui apa yang Allah inginkan dari kita (Flp 1:9)

Sampai pada titik ini, kita memahami bahwa untuk menjadi hamba, bukanlah sesuatu yang gampang. Butuh pergumulan dan keteguhan hati dalam proses singkat atau panjang. Jadi ketika saudara beranggapan bahwa proses hidup dan satu peristiwa menunjukan diri yang memiliki hati yang menghamba, juga ternyata tidak cukup. Karena Bangsa Israel juga pernah dalam satu peristiwa dijuluki dan mengalami proses iman sebagai Hamba Tuhan. Namun setelah proses itu lewat dan tidak ada proses menunggu dan mencari kehendak Allah lagi. Maka Hamba Tuhan itu telah menjadi tuli dan buta.

Hal ini jugalah yang menjadi pengalaman iman saya, untuk tidak berhenti berproses dalam menunggu dan pencarian pada kehendak Tuhan. Saya, mungkin tidak memiliki proses yang membuat orang tertarik mendengarnya. Tapi, saya juga tidak perlu membohongi orang lain tentang kehendak Allah untuk hidup saya. Sebab ini proses yang terus menerus berlangsung dan tidak berhenti sampai pada kematian.

Hal kedua, yang dapat kita pelajari dalam teks ini tentang hati yang menghamba dapat kita lihat dalam ungkapan “buluh yang patah tidak akan dipadamkannya” dan “sumbu yang pudar tidak akan dipadamkannya”. Ungkapan yang sederhana bukan?

Ungkapan tersebut sangatlah jelas menggambarkan kepada kita tentang sikap dan tindakan seseorang yang memiliki hati menghamba. Ia tidak mendukung sikap diskriminasi dan melakukan kekerasan. Sebaliknya, mereka yang memberikan diri untuk memiliki hati menghamba kepada Tuhan, hadir sebagai pembebas, penguat dan pada saat yang sama pula ia menjaga kebenarannya dan hukum-hukum Tuhan.

Tapi apakah ungkapan tersebut, juga sederhana untuk dilakukan? Tidak! Sangatlah sulit menyatakan sikap tersebut. Contoh sederhana yang sering terlihat adalah percakapan ibu-ibu. Ketika saya masih kecil, seringkali Ibu dan teman-temannya melakukan obrolan santai dirumah. Menariknya, ketika Ibu menceritakan tentang satu keburukan seseorang, Maka, setelah itu munculah lima dan sepuluh keburukan lainnya dari sudut pandang ibu lainnya. Tidak ada hal baik yang mengimbangi sikap buruk tersebut, sehingga stigma yang tertanaman dalam diri Ibu kepada orang tersebut justru semakin buruk.

Ya, demikianlah kenyataan yang sering terjadi. Hati yang seharusnya menghamba pada Tuhan. Berubah menjadi menghamba pada pernilaian-penilaian orang lain. Kita bukan menjadi pembebas bagi orang lain, tetapi menimpa mereka dengan penjara berlapis. Padahal bila kita kembali pada teks, maka mereka yang memberikan diri untuk memiliki hati yang menghamba kepada Tuhan tidak berlaku demikian.

Namun demikianlah, bahkan hal ini bukanlah sesuatu yang jarang terjadi dalam setiap perkumpulan-perkumpulan para majelis dan pendeta. Tidak heran, suara kenabian pada diri seorang pelayan Tuhan; seharusnya menjadi suara pembebasan dan penguatan, berubah menjadi suara dengan nada determinstik. Fenomena inilah yang bila terus berlanjut, akan membuat Gereja semakin jatuh terpuruk. Orang-orang akan memilih untuk keluar dari Gereja, sebab para Hamba Tuhan telah berubah menjadi sosok Hakim yang selalu berbicara tenang baik buruk kehidupan orang lain, bukan pada pembebasan dari belenggu dan penguatan.

Demikianlah kesulitan untuk memiliki hati yang menghamba kepada Tuhan. Tapi, bukan berarti tidak bisa! Kita dapat melakukannya bila kita mengalihkan diri ke dalam persekutuan kasih dengan Allah dan kebenaranNya. Sebab hanya dalam persekutuan dan kebenaranNya lah maka kita benar-benar mampu memiliki hati yang menghamba; bukan kepada keinginan dan kehendak diri saja, melainkan kehendak Tuhan; dan bukan pula dipengaruhi oleh stigma orang lain; tetapi hati yang menghamba pada kehendak dan kebenaranNya saja.

Komentar