Memikirkannya Sungguh Memberatkan - 1 Petrus 2:21-25



Salah satu video viral di media sosial, menunjukkan seorang anak perempuan yang menangis tersenduh senduh. Salah satu dari keluarganya mereka raut wajahnya, sembari menawarkan permen untuknya. Adapula, video editan dari beberapa bayi yang memperlihatkan perbedaan raut wajah saat diberikan nominal uang dari angka paling kecil sampai paling besar. Ketika nominal uangnya semakin besar, maka tangisannya berubah menjadi senyuman manis dan tawa.

Suatu sikap yang normaf terjadi kepada beberapa orang saat mengalami masalah, yang diharapkan adalah penyelasaian. Sangatlah banyak diantara kita yang menolak kehadiran penderitaan. Sampai akhirnya saya menemukan kisah tentang seorang biksu yang sedang sakit parah selama beberapa tahun. Dia selalu menghabiskan hari-harinya dengan terbaring di atas kasur.

Beberapa pihak telah membantunya dengan memberikan perawatan dan pengobatan dari beberapa macam medis maupun alternatif, dalam upaya menyembuhkannya, tetapi tampaknya tak ada yang berhasil. Ketika dia merasa sedikit baikin, dia berjalan terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu tumbang lagi berminggu-minggu. Para anggota wihara sering berfikir bahwa dia akan segera meninggal.

Sampai suatu hari, seorang biksu senior yang bijaksana mendatanginya. Biksu itu berkata, “Saya datang kesini atas nama biarawan dan biarawati di wihara ini, juga seluruh umat penyantun kita. Bahwa atas nama mereka, saya datang untuk memberimu izin untuk mati. Kamu tidak harus sembuh”
Tentu, setelah mendengar hal itu, si biksu sakit tersak. Dia telah berupaya keras untuk sembuh, bahkan banyak orang terdekatnya memberikan bantuan agar dirinya sembuh. Dia merasa begitu gagal, begitu bersalah, karena tak kunjung sumbuh. Sampai kata-kata itu terucap oleh seniornya dan membuat dirinya bebas untuk menjadi orang sakit, atau bahkan bebas untuk mati.

Menurut saudara, apa yang terjadi kemudian? Kisah itu, menunjukkan kesehatan si biksu semakin membaik.

Loh, koq bisa?

Faktanya, bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup ini, adalah terus memikirkannya.
Penderitaan tidak perlu dicari, ia bisa datang sendiri. Tentu, semua kembali kepada pengolahan dalam menyikapi penderitaan tersebut. Sebab, penderitaan yang berat bila diolah dengan benar, juga akan menjadi berkat bagi orang lain. Namun bila salah mengolah, hasilnya bisa memperparah kehidupan yang semakin parah.

Lalu bagaimana, cara mengolahnya?

Saat saya masih duduk di bangku sekolah dan tinggal dirumah. Seperti anak lainnya, Ibu selalu mengomelin tentang kebersihan rumah. Tidak jarang, saya diminta untuk mengambil bagian dalam membersihkan rumah seperti; menyapu, mengepel dan mencuci piring. Sementara kakak dan abang saya tidak melakukan hal tersebut. mereka asik dengan dunianya masing-masing. Perasaan kesal akan setiap tugas yang diberikan membuat saya sering marah dan ngomel sendiri dalam hati. Tidak jarang pula, saya malah marah-marah sama Ibu dan kakak atas perlakuan semacam ini.

Sampai akhirnya, Ibu mengajarkan saya untuk menikmatinya dan berhenti memikirkan beratnya tugas yang diberikan. Tentu saja, dalam hati menolak nasihat tersebut. Karena perasaan lelah setelah pulang sekolah dan melakukan kegiatan ekstrakulikuler.

Tapi ketika saya mencoba menikmati dan berhenti memikirkan beratnya pekerjaan tersebut. saya mendapatkan kebenaran atas nasihat tersebut, bahwa ketika kita berhenti mengeluh dan menggarap seluruh pekerjaan tersebut, sama sekali tidak masalah. Saya justru tidak menjadi sakit karena hal tersebut, malahan saya semakin bisa menjadi seorang mandiri sekalipun jauh tinggal dari orang tua.
Demikian juga sebaliknya, ketika saudara dipanggil dalam penderitaan bersama Salib Kristus. Saudara harus siap untuk tidak menjadi seperti anak-anak yang berhenti menangis ketika permintaanya telah diwujudkan. Saudara harus bisa mengalahkan ego diri sendiri, terlebih senantiasa melakukan kebaikan dalam segala hal, dan teguh mengingat serta merayakan teladan salib Kristus ketika terluka oleh penderitaan.



Kerbau Besar yang dituntut oleh anak kecil dengan seutas tali, bisa dengan mudah melarikan diri ke tengah sawah. Namun kerbau besar tersebut tidak melakukannya, sebab kerbau itu yakin bahwa dirinya terkekang oleh seutas tali tersebut. Namun, apakah demikian halnya yang terjadi? Tidak! Tali tersebut tidak kokoh, tapi keputusasaanya lah yang paling kokoh.
Mengikuti dan Hidup bersama Kristus itu tidaklah berat. Hal terberat justru ketika kita terus menerus memikirkannya. - AGM

Komentar