Renungan Untuk Kita, Sebagai Bagian dari Para Netizen +62


“Penonton selalu lebih hebat dari para pemain”

Kata-kata itu tampaknya sudah familiar bagi kita, bahkan tidak jarang pula bahwa kita adalah bagian dari para penonton yang merasa paling benar dari para pemain. Tentu ini sangatlah alamiah, bahwa hampir semua orang memang memiliki kecenderungan yang sama; merasa dirinya lebih baik ketimbang orang lain.

Dalam berbagai media sosial, sikap yang demikian ini juga sangatlah terlihat. Sehingga memunculkan suatu  pemikiran “Netizen Mahabenar dan Mahasuci”. Pandangan ini muncul karena orang-orang berlomba menciptakan kesan merasa paling benar dan paling sempurna. Terlebih dalam kolom komentar pun sering terlihat orang-orang yang terlalu menghakimi suatu perbuatan. Mereka bebas berkomentar tanpa ada penyaring terlebih dahulu sebelum menulis dan mempublikasikan.

Bahkan kecenderungan ini juga akan semakin terlihat apabila kita melakukan sebuah perbuatan baik. Misalnya, ketika kita memberi sumbangan, memperlakukan orang dengan sopan, memberikan kursi pada ibu hamil dan lansia.

Perasaan itu cenderung semakin menguat dilubuk hati kita yang terdalam, bahwa kita lebih baik dari orang lain.

Dalam sebuah studi yang dilakukan peneliti University of Chicago Booth School of Business dilansir dari psychcentral.com, mencari tahu mengenai fenomena ini. Apakah benar orang cenderung merasa dirinya lebih bermoral dari orang lain ketika ia berbuat baik? Atau apakah orang cenderung merasa lebih suci ketimbang orang lain ketika ia berbuat baik? Jawabannya selaras dengan pemikiran di awal tadi.

Bahwa kecenderungan merasa lebih benar, lebih suci, dan lebih bermoral memang dimiliki oleh manusia. Nah, kecenderungan ini terjadi karena kita biasanya mengevaluasi diri kita dengan cara berpikir dan penilaian kita sendiri. Tanpa mempertimbangkan perspektif lain di luar diri sendiri. Perspektif yang sangat kuat ketika menilai diri sendiri ini bisa dipengaruhi oleh berbagai hal. Seperti agama, politik, keyakinan, prinsip, latar belakang, dll.

Untuk masalah hati dan penilaian diri sendiri ini penanganannya memang kembali pada diri kita masing-masing. Namun saudaraku, haruslah kita ingat bahwa kehidupan ini adalah anugerah atas belas kasih Tuhan, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu dengan yang lain. Seperti halnya yang menjadi bahan renungan kita yakni Roma 3:1-8.

Dalam firman ini, dapat kita lihat bagaimana orang-orang Yahudi seringkali menyombongkan diri sebagai umat Allah lalu menghina mereka yang di luar Yahudi sebagai bangsa kafir, tidak berhukum, dll. Mereka merasa bahwa Merekalah yang paling benar, karena merekalah yang menerima dan menjalankan hukum taurat dan sunat. Meskipun berdosa, orang Yahudi tetap memiliki kelebihan. Bukan pada diri mereka, melainkan pada panggilan Allah yang mempercayakan firman-Nya kepada mereka supaya mereka bisa menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain (ay. 2). 

Dengan kata lain, bila firman ini ditarik dalam kehidupan kita, maka kemampuan kita untuk menganalisa dan mengkritik orang lain sebagai Netizen, ataupun kemampuan kita untuk memberi sumbangan, memperlakukan orang dengan sopan, memberikan kursi pada ibu hamil dan lansia. Seharusnya tidak lah menjadi alat untuk kita menyombongkan diri dan menghakimi orang lain, terlebih sampai merendahkan kehidupan orang lain. Sebab kemampuan itu diberikan sebagai wujud panggilan dari Allah untuk kita menjadi berkat bagi banyak orang. 

Tidak berhenti sampai disini juga, renungan ini juga tidak membawa kita pada sikap yang keliru; seperti menjadi pesimis, rendah diri dsb. Sebab, pikiran kita adalah yang paling kuat pengaruhnya. Bila kita memutuskan bahwa sesuatu memang benar atau ada di luar jangkauan kita, sangat sulit menerobos hambatan yang kita ciptakan sendiri itu. Sebab, sumber kritik yang paling besar ada dalam diri kita sendiri.

Setiap dari kita juga harus belajar “menahan diri” agar tidak melulu menyatakan keterbatasan diri kita sendiri. Ketika kita mulai berkata “Aku memang selalu begini”, maka ubah ungkapan itu menjadi, “Ini aneh. Aku biasanya tidak selalu begini.” Sebab kita, harus melihat bahwa mengemukakan secara terus menerus keterbatasan diri hanyalah kebiasaan negatif. Namun seseorang dapat mengubahnya menjadi kebiasaan positif dengan meminta hikmat dan kemampuan dari Tuhan untuk terus berusaha dan menjadi lebih baik. Dan ini bukan menjadi sesuatu yang mustahil bagi kita yang memiliki Allah yang setia.

Nah, yang menarik dari firman ini adalah, sekalipun bangsa Yahudi demikian; sekalipun kita adalah bagian dari Netizen yang Mahasuci, ataupun orang yang suka menyombongkan diri. ternyata kesalahan kita, ketidaksetiaan kita kepada FirmanNya tidak mempengaruhi kesetiaan Allah pada manusia. 

Paulus menyatakan bahwa ketidaksetiaan manusia tidak akan mempengaruhi kesetiaan Allah kepada manusia. Ya, Allah tetap setia kepada manusia walaupun manusia tidak setia kepada Allah. Karena Allah adalah setia, itulah sifat Allah. Allah itu tetap setia walaupun sebagian dari kita manusia tidak setia terhadap perjanjian karena tidak percaya kepada Yesus Kristus dan malah menyombangkan diri, juga kemampuan kita. Kita tidak setia karena merasa diri benar daripada orang lain, tetapi Allah yang didalamnya adalah KEBENARAN itu tetap setia. Bahkan kegagalan manusia semakin menegaskan kesetiaan Allah. Semakin besar kesalahan manusia, semakin besar pula pengampunan yang Dia berikan. Allah memang setia. Bahkan kesetiaan-Nya mengatasi keberdosaan kita. Lalu, mengapa kita masih berlaku seenaknya dengan menyombangkan diri dan merasa paling benar? Masihkah pantas kita membayar kesetiaan Allah dan pengampunannya kepada kita dengan sikap demikian ini. 

Kehidupan ini hanyalah tentang Anugerah dan belas kasih dari Allah bukan tentang keunggulan kita manusia.  Oswald Chambers mengatakan bahwa satu-satunya jalan agar seseorang dapat dilahirkan kembali adalah melepaskan semua kebaikan diri sendiri. Ia menulis, "Setiap penakut di antara kita akan menyerahkan semua keburukannya, tetapi maukah ia juga menyerahkan semua kebaikannya?" Ingat, kita tak dapat bergantung pada kebaikan diri sendiri.


Sungguh beruntung manusia..

Belum lama ini saya diajak melihat tanaman jagung di salah satu kebun tempat jemaat saya melayani, dalam kesempatan tersebut jemat memperlihatkan kepada saya bagaimana jagung yang belum berisi dan jagung yang sudah berisi (siap panen). Perbedaannya terletak pada rambut jagungnya. Ketika jagung belum berisi dan belum layak dikonsumsi, rambut itu kemerahan dan indah. Namun ketika rambut mulai berwarna kecoklatan dan kering, disitulah tanda bahwa jagung itu berisi dan siap untuk dipanen. Pengetahuan ini seketika memberikan pemahaman baru kepada saya bahwa segala sesuatu yang telah kita lihat bahkan kita dengarkan, tidak menjadi jaminan bahwa kita juga memahaminya. Sesuatu yang terlihat indah dan cantik, belum tentu berisi. Sementara yang kecoklatan dan terlihat kering justru, itulah buah yang berisi.



Disuatu tempat, di dalam kepala Anda, cobalah mengingat bahwa ada campur tangan Tuhan di dalam segala hal. Kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat keindahan di dalam suatu hal bukan berarti keindahan itu tidak ada di dalamnya. Sebaliknya, itu berarti kita tidak cukup cermat mencarinya atau tidak memiliki sudut pandang yang cukup luas untuk melihatnya, pada titik ini kita membutuhkan Anugerah dari Tuhan untuk diberikan hikmat dalam memandang segala hal di dalam kehidupan kita.

Jika kita jujur, kita akan sependapat dengan pengkhotbah Perancis Adolphe Monod (1802-1856). Pengkhotbah tersebut memahami dengan baik kekudusan Allah dan dosanya sendiri. Namun, ketika menghadapi kematian dan perjumpaan kembali dengan Tuhannya, ia mengatakan bahwa Roma 3 merupakan "gambaran yang paling tepat hati saya sendiri." Perkataan tersebut juga berlaku bagi kita semua. Betapa bersyukurnya kita (seharusnya) atas anugerah Allah yang ajaib dan selalu setia bagi kita!
Kehidupan ini adalah anugerah atas belas kasih Tuhan yang selalu setia, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu dengan yang lain - AGM

Komentar