Saudaraku,
kapan terakhir kali saudara meluapkan teriakan dengan lantang? Tentu bukan
teriakan makian, ataupun teriakan patah hati yang saya maksudkan. Tetapi,
sorak-sorai akan kebahagian dan bersyukurnya saudara akan kehdiupan ini? Atau
pertanyaannya kita ubah, menjadi; Berapa banyak diantara kita yang kehilangan
rasa syukur, dan sukacita; ketika kondisi tidak mendukung seperti yang telah
kita rencanakan sebelumnya; ketika segala sesuatu yang telah kita rancangkan
justru mendapat gangguan orang lain; atau ketika seseorang yang kita kasihi
justru pergi meninggalkan kita?
Sering
kali para aktivis berteriak dengan lantang di tanggal 1 Mei untuk
memperjuangkan hak para buruh di Indonesia. Sering pula diantara kita yang
memberontak pada ketidakadilan dan penindasan yang terjadi dalam lingkungan
sekolah, lingkungan pekerjaan ataupun lingkungan tempat tinggal kita. Hampir
semua orang mau berjuang dan mati-matian untuk melawan semua itu. Tapi, tanpa
kita sadari, sering pula sesuatu yang diluar kita, dipersilahkan masuk dalam
diri untuk mengekang kehidupan kita sendiri, tanpa ada protes dari kita.
Hanya
karena masalah terjadi misalnya, membuat orang banyak mengeluh dan kehilangan
sukacitanya, kitapun menganggap keluhan pada situasi seperti ini menjadi
sesuatu yang normal. Padahal bukanlah demikian adanya, hanya karena semua orang
seperti itu, tidak berarti juga kita memilih untuk menjadi seperti mereka yang
selalu mengeluh dan kehilangan sukacitanya. Sebab, apabila itu terjadi, lalu
apalah yang membedakan saudara yang mengaku berserah dan berpengharapan dalam
Kristus Tuhan, dan ditebus di atas kayu salib. Bila pada akhirnya saudara sama
seperti banyak orang yang tidak mengenal Kristus Tuhan?
Faktanya
kita selalu berperang melawan pikiran kita sendiri bukan sesuatu yang terjadi
diluar diri kita. Karena kitapun menyadari, bahwa sesuatu yang terjadi diluar
kita tidak akan pernah 100% menjadi seperti yang kita harapkan. Lalu apakah hal
itu menjadi alasan kita kehilangan harapan dan sukacita? Saya pikir, salah
besar bila kita berfikir demikian.
Sebab,
bila lingkungan tidak mendukung seperti yang telah saudara rencanakan
sebelumnya dan membuat saudara kehilangan sukacita dan harapan. Maka,
lingkunganlah yang menjadi Tuhan atas diri saudara. Bila, seseorang
menertawakan mimpi kita dan menilai kita dengan begitu rendah, lalu membuat
saudara kehilangan semangat dan motivasi hidup. Maka saat yang sama, orang lain
telah menjadi Tuhan atas diri saudara. Bahkan ketika, kekasih saudara
meninggalkan dan memutuskan hubungannya dengan saudara, lalu membuat saudara tidak
bisa “move on”. Maka, saat yang sama
kekasih saudara telah menjadi Tuhan atas diri saudara. Jadi siapakah Tuhan atas
diri saudara? Yesus Kristus yang didalamnya ada pertolongan dan belas kasih
atau hal lain yang ada diluar diri kita, yang kita sadari justru hal itulah
yang selalu menggerogoti sukacita kita?
Tahukah
saudara, sebelum Tabut Allah itu kembali kepada Bangsa Israel, ternyata ada
begitu banyak peristiwa yang telah dialami bangsa ini dan bahkan menjadi alasan
logis untuk Daud berhenti berjuang.
Bayangkan
saja, masa pemerintahan Saul, tabut Allah tidaklah dipedulikan. Karena itu
niatan baik dari Daud dan orang-orang Lewi untuk mengembalikan Tabut Allah
seharusnya dimuluskan jalannya. Namun, nyatanya semua tidak seperti yang kita
fikirkan. Ada begitu banyak proses yang harus dilewati mereka untuk
mengembalikan Tabut Allah.
Tercatat
dalam Kitab Tawarikh, bahwa usaha mereka untuk mengembalikan Tabut Allah sempat
terhenti karena keinginan Uza untuk menyentuh Tabut Allah mendatangkan murka
Allah dan membuat lembu-lembu yang membawa tabut tersebut tergelincir(1
Tawarikh 13:9). Bahkan pada saat yang sama, Uza mati oleh karena keinginannya. Atas
kejadian tersebut, tiga bulan lamanya Tabut Allah tinggal pada keluarga
Obed-Edom orang Gat itu. Bahkan peristiwa itu sempat membuat Daud ketakutan
pada Allah.
Namun
apakah situasi itu menunjukkan bahwa Allah tidak menyertai Daud dan membunuh
niatan baiknya untuk mengembalikan Tabut Allah? Apakah putus asa menguasai diri
Daud atas kejadian yang ada diluar kendalinya tersebut? Apakah putus asa
menguasai diri Daud atas gangguan yang ditimbulkan Uza pada proses pengembalian
tabut Allah tersebut? Sekali-kali tidak! Putus Asa, tidak menguasai diri Daud. Sebab
dalam Tuhan ada penyertaan dan harapan untuk Daud dapat berjuang kembali,
menyelesaikan niatanya mengembalikan Tabut Allah. Setelah peristiwa itu Allah menunjukkan penyertaan dan keberpihakannya dengan menegakkan dia
sebagai raja atas Israel, sebab martabat pemerintahannya terangkat tinggi oleh
karena Israel umat-Nya (1 Tawarikh
14:2). Pertanda itulah yang akhirnya membuat Daud berusaha kembali dan
menyiapkan tempat bagi Tabut Allah dan membentangkan kemah bagi Tabut Allah. (1
Tawarikh 14:2)
Sekarang,
bila pertanyaan serupa ditujukan kepada kita saat ini apakah putus asa
menguasai diri saudara karena penderitaan, masalah dan kondisi buruk
menghampiri hidup saudara? Apakah sukacita saudara hilang karenanya? Apakah
harapan masih ada dalam hati saudara dengan semua situasi yang terlihat semakin
menekan saudara?
Ada
suatu kisah tentang seorang pemuda yang berjalan jauh sampai ke Surga. Seperti yang
banyak yang mengisahkan keadaan surga, demikian jugalah ia menemukan kenyamanan
dan kebahagian di tempat itu. Segala sesuatu yang dia minta dan fikirkan akan
terjadi ditempat itu. Maka dari itu, pemuda itu merasa menjadi seorang paling
beruntung. Sebab perjalanan jauhnya tidak sia-sia dan terbayar. Lalu ia
memikirkan tentang tempat peristirahatan baginya, sebab pikirnya ia telah
melakukan perjalanan yang menghabiskan banyak energinya. Ia pun menoleh ke
sekelilingnya dan menemukan pohon rindang dengan rerumputan nyaman untuk dia
merebahkan badan. Ia tertidur dan membalas seluruh letihnya saat itu.
Lalu
beberapa jam setelah ia tertidur, perutnya terasa lapar dan membuat ia bangun
dari tidurnya. Ia memikirkan, “seandainya makanan enak ada ditempat ini,
mungkin aku akan semakin menjadi beruntung berada ditempat ini”. Tanpa disangka-sangka,
semua makanan yang dia pikirkan tersedia didepannya. Ia pun merasa bahagia dan
menyantap seluruhnya dengan segara sampai kekenyangan. Lalu, ia berfikir
kembali “Dimanakah letak air yang baik untuk diriku, sebab perutku kenyang dan
kini tubuhku membutuhkan air”. Seperti kejadian sebelumnya, minimuan-minuman
yang dia pikirkan seketika tersedia didepannya.
Sungguh,
kembali lagi ia merasa beruntung berada ditempat tersebut. Sampai beberapa
menit setelahnya, ia mulai berfikir kembali, “darimana asal semuanya ini, makanan
dan minuman ini seketika tersedia dihadapanku. Apakah hantu yang membawa semua
ini kepadaku?”. Seperti sebelumnya ia memikirkan makanan dan minuman, hantupun
mendatangi dirinya. Pikirnya lagi, “Wah, benar hantulah yang membawakan ini
semua, maka matilah aku saat ini juga karena
hantu ini akan menyiksaku dan membunuhku”. Persis seperti yang dia
pikirkan, para hantu menyiksa dan membunuhnya.
Tahukah,
saudara bila sebelumnya ia berfikir bahwa tempat itu membuat dirinya menjadi
seorang yang paling beruntung. Maka pada saat akhir hidupnya, ia merubah
pandangannya tentang tempat itu sebagai sesuatu yang paling buruk.
Kisah
ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita, bahwa bila kita memfokuskan diri
untuk lebih; berdamai dengan di mana kita berada, bukan berfikir di mana
sebaiknya kita berada, kita akan mulai menemukan kedamaian sekarang juga pada
saat ini.
Mungkin
saudara akan bertanya, bagaimana cara berdamai dengan situasi yang buruk ini?
Bagaimana mungkin seseorang dapat berfikir semua baik-baik saja, padahal
situasi memang sedang tidak baik-baik saja.
Saudaraku,
ingatlah bahwa bangsa Israel bersucakita dan bersorak, bukan karena perjuangan
mereka dan usaha mereka yang berhasil. Tetapi, Tabut Allah menjadi simbol bagi
mereka akan kehadiran Allah, penyertaan Allah dan keberpihakan Allah bagi
mereka.
Mari
kita lihat kebelakang, seberapa sering saudara menyadari bahwa karena
kepemilikan Allah akan hidup kita, karena penyertaan Allah dalam hidup kitalah,
maka kita mampu melewati segala situasi dan kondisi yang terjadi sebelumnya.
Apakah
hal ini tidak cukup bagimu? Apakah kepemilikan Allah akan dirimu dan keluargamu
tidak cukup bagimu? Saudaraku, cukupkanlah dirimu sekalipun situasi diluar
sangatlah tidak baik. Sebab kita dimiliki oleh Allah yang tidak pernah
meninggalkan kita; bahwa kita dimiliki oleh Allah yang selalu menyertai kita;
bahwa kita dimiliki oleh Allah yang kasih setianya tidak pernah berubah sampai
selama-lamanya. Tetaplah berpengharapan dan serahkahnlah semua kepadaNya dan
berjalanh sebab itulah pelitamu ketika jalan didepanmu terlihat sangat gelap.
Karena
ketika jalan didepanmu sangatlah gelap, engkau tidak perlu berhenti dan
menunggu sampai gelap itu berubah menjadi terang. Engkau tidak perlu juga
memaksakan dirimu untuk terus berjalan di dalam kegelapan itu, sebab engkau
akan tersesat atau malah jatuh pada jurang yang ada disekitarnya. Tetapi engkau
harus menghidupkan pelitamu yakni terus berpengharapan dan menyerahkan pada
Allah yang setia menyertai dan mendampingimu melewati semua itu.
Ya,
Sudah saatnya untukmu berdamai dalam kondisi saat ini. Sudah saatnya untuk kita
Bersukacita dan bersorak-sorailah karena Allah yang menjadi pelita untuk
membimbing, membantu dan membawa kita melewati situasi gelap ini.
Komentar
Posting Komentar