Menelisik Orang Kristen dalam Surah Al-Ma’idah 83-86 dan Membangun Relasi


Kepelbgaian kebenaran, merupakan hal yang wajar ketika kebenaran yang universal sulit untuk ditemukan. Menerima kebeneran yang lain, untuk membagun relasi antara kebenaran kita dan kebenaran yang lainnya adalah cara hidup postmodern sekarang. Namun kali ini kita tidak membahas dunia postmodern, melainkan “relasi” yang sekiranya dapat kita sepakati sebagai wujud pengembangan akan kebenaran yang dimiliki. Adapun, pembangunan relasi yang akan kita lakukan yanki dengan menelisik orang-orang Kristen yang terdapat dalam teks Surah Al-Ma’idah 83-86 ;

(83) Dan apabila mereka mendengarkan apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabka kebenaran yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri), seraya berkata “Ya tuhan, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad). (84) Dan mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin ahar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang saleh?”. (85) Maka Allah memberi pahala kepada mereka atas perkataan yang telah mereka ucapkan, (yaitu) surge yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan. (86) Dan orang-orang yang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.- Terjemahan Kemenag.

Sekilas Konteks Surah Al-Ma’idah 83-86

Melihat konteks dari Surah Al-Ma’idah 83-86 kita bisa, berpaling pada ayat 75 yang dapat memberikan bantuan kepada kita tentang konteks ayat 83-86 dan teks tersebut berbicara demikian;

 Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagiamana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (Dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu)”.

Dari teks tersebut, dapat dilihat bahwa konteks kala itu ingin menunjukan tentang situasi, yakni wahyu yang diturunkan kepada Rasul sedang diperhadapkan kepada kaum Yahudi, Musyrik dan Nasrani. Diperlihatkan juga bahwa respon-respon yang paling keras ditunjukan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Surah Al-Ma’idah 82) Sedang, orang-orang Nasrani kala itu memberikan respon yang kelihatannya baik terhadap wahyu yang dibacakan oleh Rasul.

 

Tafsir Surah Al-Maidah 83-86

Seperti yang telah disinggug sebelumnya, bahwa respon dari orang-orang Nasrani cukup baik akan wahyu yang dibacakan oleh Rasul kepada mereka. Hal ini diperlihatkan dalam Suarh Al-Maidah. Tetapi, baik kiranya kita melihat tafsiran-tafsiran akan teks ini dari sudut pandang Kemenag, Sayyid Quthb dan Hamka dalam melihat respon yang dimaksudkan,

1.      Tafsiran Kemenag¸ mengenai Surah Al-Maidah 83-86 menggunakan Sabab Nuzul yakni Ibnu Abni Hatim yang meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, seraya berkata, Raja Najasyi mengutus 30 orang pilihannya kepada Rasulullah saw, kemudian beliau membacakan Surah Yasin di hadapan mereka sehingga mereka menangis dan berkata, “Alangkah miripnya (bacaan) itu dengan apa yang diturunkan kepada Musa.”.[1] Atas Sabab Nuzul ini, Kemenag menafsirkan bahwa orang Kristen masa itu dalam Surah Al-Maidah adalah orang-orang yang terharu akan bacaan dan sifat Nabi Muhammad dan karena keterharuaan mereka ini, kala itu dengan ketulusan hati orang-orang Kristen ingin agar dimasukan ke dalam golongan-golongan orang-orang saleh, yaitu Nabi Muhammad. Karena bagi orang-orang Kristen yang mendengarnya, ajaran Islam adalah benar, baik mengenai keimanan, ibadah, mu’amalah dan akhlak yang luhur. Tetapi, orang-orang yang demikian adalah orang–orang yang mau berfikir, insaf dan tidak fanatik . Selain dari pada mereka, (mis: orang-orang Kristen fanatik) mengingkari Al-quran. Secara khusus mereka-mereka ini disebutkan Kemenag sebagai Ahli Kitab.[2]

2.      Tafsiran Sayyid Quthb, sangat menarik dengan memulai dari penjelasan definisi dari “ orang kafir” yakni mereka yang meninggalkan ajaran yang terdapat di dalam kitab mereka dan mendustakan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw.[3] Sehingga, Rasulullah saw menyampaikan kepada mereka tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Namun, sebelum sampai pada respon yang diperlihatkan oleh orang-orang Kristen kala itu, Sayyid Quthb memperlihatkan kepada kita tentang kedekatan orang-orang Kristen kepada orang-orang yang beriman (dibaca: muslim). Kedekatan itu terjadi menurut Sayyid Quthb, dikarenakan orang-orang Kristen kala itu tidak  menyombongkan diri terhadap kebenaran ketika sudah jelas kebenaran itu bagi mereka[4]. Namun, tentang kedekatan ini, Sayyid Quthb menelusurinya lebih lanjut dengan mempertanyakan “siapa, orang-orang Kristen yang dimaksud?”. Karena kepentingan ini, maka Surrah Al-Maidah 83-86 dipergunakan sebagai alat identifikasi orang-orang yang dimaksudkan dekat dan bersahabat dengan orang beriman. Disebutkan dalam tafsiran al-Maaidah:82 bahwa mereka (orang-orang yang dekat dengan orang beriman) adalah orang yang tidak menyombongkan diri terhadap kebenaran ketika mereka tidak mendengarnya. Bahkan mereka menyambutnya dengan sambutan positif, mendalam, jelas dan transparan. Ini adalah golongan yang tidak ragu-ragu untuk menyatakan penerimaannya terhadap Islam.[5] Sehingga jelas pula bagi kita bahwa, Surah Al-Maidah 83-84, dimaksudkan sebagai penunjuk kepada kita sebagai pemandangan yang hidup, yang dilukiskan oleh Al-Quran mengenai golongan manusia yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman.[6]

3.      Tafsiran Hamka, tentang ayat ini sebagai sambungan ayat sebelumnya, menerangkan bahwa orang Nasrani di zaman Rasulullah saw lebih dekat kepada orang yang beriman (dibaca: muslim) daripada orang Yahudi dan orang musyrikin. Hal ini terjadi karena di dalam orang-orang Kristen kala itu masih terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang benar-benar jujur dan berhati bersih. Sedang ayat selanjutnya (ayat 83), lebih menjelaskan mengenai sikap yang terlihat dari sambutan pendeta-pendeta dan rahib-rahib ketika mendengar dari apa yang telah disampaikan oleh Muhammad kepada mereka.[7] Lagi, tentang pendeta-pendeta dan rahib-rahib ini adalah orang-orang besar agama, yang hadir dalam majelis Najasyi ketika dibacakan ayat-ayat Al-Quran. Sikap terharu ini dirasakan oleh Hamka sebagai kewajaran. Sebab, surah Maryam yang diturunkan di Mekah (ada anggapan bahwa yang dibacakan kala itu adalah Surah Maryam berbeda dengan Kemenag yang menyatkan Surah Yasin) kalau dibaca, akan memperlihatkan pembelaan dan pujian yang tinggi kepada Maryam.[8]

Demikianlah, tafsiran-tafsiran ini secara umum memperlihatkan adanya respon yang baik dari orang-orang nasrani kala itu terhadap wahyu yang disampaikan oleh Rasul. Tentang wahyu yang dimaksudkan mugkin akan berbeda antara satu dengan yang lainnya, mengingat penggunaan Asbab Nuzul yang berbeda pula diantaranya. Tapi yang jelas disini, orang-orang Nasrani diperlihatkan sangat positif dan memiliki kedekatan yang cukup baik dengan Islam terlepas apakah semua orang nasrani demikian atau hanya sebagian dari orang orang nasrani yang dimaksudkan.

Refleksi

Seperti yang kita telah kita sepekati, bahwa keseluruhan pemabahasan kali ini adalah untuk membangun relasi antara kebenaran yang kita miliki dan kebenaran yang dimuat dalam Surah Al-Ma’idah 83-86. Kisah yang diperlihatkan dalam teks tersebut, mengingatkan kepada kita bahwa dengan keterbukaan, kita dapat melihat kebenaran yang ada di dalam diri orang lain. Seperti yang dimuat dalam tafsiran Kemenag, bahwa mereka yang tidak fanatik yang bisa melihat kebenaran yang disampaikan oleh Rasul. Jika keterbukan itu tidak ada, mungkin kebenaran itu tidak dapat kita lihat seperti apa yang diperlihatkan orang-orang yahudi dan kaum musyrik pada apa yang disampaikan Rasul. Keterbukaan ini, memberikan legitimasi kita, akan kebebasan dari Roh Kudus yang bekerja di sepenjang masa. Terlepas dari wahyu apa yang diperlihatkan dan kebenaran apa yang ditujukan. Demikianlah, hanya keterbukanlah yang membawakan kita untuk terus mengembangkan iman. Selayaknya Matius pemungut cukai yang berjumpa dengan Yesus. Tanpa kecurigaan, ia menerima Yesus dan berbalik pada kebenaran (Matius 9:9). Penerimaan itu juga bukan pada penerimaan akan Yesus sebagai Wahyu yang nyata dalam diri Manusia yang datangnya dari Allah. Tetapi penerimaan itu, juga pada diri sendiri, menerima sebagai pemungut cukai yang haus akan kebenaran dan mau semakin mendekatkan diri pada Allah.



[1] Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirannya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 2

[2] Kementrian Agama RI , Ibid, hlm. .2-3

[3] Quthb. Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah naungan Al-Quran Jilid 3,(Jakarta: Gema Insani, 2002) hlm.305

[4] Quthb. Sayyid, Ibid., hlm.308

[5] Quthb. Sayyid, Ibid., hlm. 310

[6] Quthb. Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah naungan Al-Quran Jilid 3, Ibid, hlm. 309

[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar,  (Jakarta: Panjimas, 1982), hlm. 5

[8] Hamka, Ibid.,  hlm. 7


Komentar