Menopang Pemimpin dalam Doa - Mazmur 72:1-7

Saudaraku yang terkasih, seperti halnya dengan pemazmur. Kita menyadari bahwa seorang pemimpin idealnya dipenuhi hikmat dan hukum Allah untuk berlaku adil dan benar. Dengan kata lain, seorang permimpin diperingatkan untuk memiliki kesadaran bahwa kebijakan dan sistem yang dberlakukan dalam masa pemerintahannya haruslah bersumber dari Allah bukan dari diri sendiri. Namun peringatan tersebut tidak hanya berhenti pada para pemimpin saja, terhadap kita yang dipimpin juga Mazmur 71:1-7 menghibur dan mengajak kita yang apabila berkeinginan agar kebijakan-kebijakan pemerintah kita dapat berlaku adil dan benar. Maka setiap dari kita juga harus mau menopangnya, yakni selain mengambil bagian untuk menghormati dan mengikuti aturan yang berlaku. Kita yang dipimpin juga harusnya dapat mengambil waktu untuk menopangnya dalam doa. Dengan keyakinan dan harapan bahwa hanya hikmat dan keadilan Allah sajalah yang dapat membantu para pemimpin kita.

Namun menopang pemimpin dalam doa menjadi sulit bagi kita yang sudah terlanjur kalah dalam sikap menyalahkan dan rasa ketidakpuasan kepada kebijakan-kebijakan para pemimpin. Alhasil, realitanya bukan menopang malah menjadi pemberontak dan pengkritik yang kehilangan akal sehat.

Sejujurnya kitapun menyadari, bahwa tanpa hikmat Allah menentukan dan melihat sebuah kebenaran ataupun keadilan itu bukanlah hal mudah. Bahkan untuk seorang hakim dalam sebuah pengadilan membutuhkan banyak pertimbangan untuk memutuskan hukum yang benar ataupun adil bagi terdakwa dan korban. Tapi, hal tersebut sering kali kita abaikan hanya sikap kita yang terlalu reaktif pada masalah dan anggapan diri bahwa memang tugas kitalah untuk memperlihatkan kepada pemimpin / orang lain bahwa pendapat, pernyataaan, dan sudut pandang mereka salah. Dan dengan berbuat begitu, orang yang kita koreksi itu akan menghargai atau, paling tidak akan belajar sesuatu dari kita. Padahal itulah yang akhirnya membuat kita sulit untuk menopang orang lain ataupun pemimpin kita dalam doa.

Bagaimana kalau memang, hidup ini tidak pernah adil? Kita atau siapapun yang memimpin tidak akan pernah menciptakan sebuah keadilan?

Salah satu kesalahan yang sering kita lakukan adalah merasa kasihan pada diri sendiri, atau pada orang lain, berpikir bahwa hidup ini seharusnya adil, atau suatu hari nanti hidup ini pasti adil. Sampai akhirnya bayangan-bayangan itu cenderung menghabiskan waktu kita untuk berkubang atau mengeluh tentang apa yang salah dengan kondisi ini. Itulah, kenapa timbul para pemberontak atau pengkritik yang kehilangan akal sehat. Sebab menyalahkan keadaan dan orang lain membutuhkan energi besar. Dan pola pikir tersebut justru dapat menghambat diri untuk berkembang, menciptakan stress dan penyakit.

Menyalahkan keadaan dan orang lain membuat kita tidak punya kekuatan atas hidup kita sendiri, karena kebahagian kita selalu digantungkan pada keadaan ataupun tindakan dan tingkah laku orang yang tidak bisa kita kontrol.

Fakta bahwa hidup ini tidak adil bukanlah berarti kita sebaiknya tidak mengerahkan kemampuan kita untuk memperbaiki kehidupan kita dan dunia ini pada umumnya. Justru fakta tersebutlah maka kitapun meminta hikmat dan pertolongan Tuhan untuk berkontribusi baik bagi diri sendiri dan lingkungan kita.

Sebab, bila kita benar-benar menyadari bahwa hidup ini tidak adil, kita seharusnya merasa peduli pada orang lain dan diri kita sendiri. Dan rasa peduli adalah emosi tulus yang mengirimkan kebaikan dengan penuh kasih untuk setiap orang yang disentuhnya, termasuk para pemimpin kita. Persis seperti bahan refleksi kita hari ini, kita diajak untuk berlaku ha serupa yakni menopang pemimpin dalam doa yang dibungkus oleh rasa kepedulian.


Komentar