Bekerja dan Beribadah - Kisah Para Rasul 16: 11-15


Kerja pada prinsipnya adalah hidup manusia itu sendiri. Kerja bukan sebuah momen berlelah-lelah dan orang mendapatkan upahnya dari situ. Kerja adalah bagian esensial dari hidup manusiawi itu sendiri. Atau dengan kata lain, bila kerja hanya dimaknai sejauh dalam kontrak kerja dengan institusi atau perusahaan, melakukan usaha atau bisnis lainnya, bertani dan mencari ikan dsb. Maka sejatinya itu hanya kekeliruan. Sebab pemahaman demikian justru akan mendiskriminasi para pensiunan atau orang-orang yang lanjut usia sebagai orang tidak bekerja. Contoh sederhananya begini; bila saudara menganggap kerja adalah sarana untuk menyambung kehidupan, lalu bagaimana dengan bernafas; apakah orang bernafas disebut tidak bekerja?; bila motivator sebagai sebuah pekerjaan, lalu apakah para pensiunan yang memberikan kita nasihat dan pelajaran tentang kehidupan disebut tidak bekerja? Atau saudara masih memikirkan bahwa pekerjaan itu, selalu tentang berapa upah yang dihasilkan?

Bila kita memperhatikan kehidupan Yesus dan pelayananNya, maka sejatinya kita memahami bahwa Yesuspun telah memperluas definisi dari pekerjaan itu sendiri tanpa sekali kali menghapus dan meniadakan Hukum Taurat. Seperti yang terjadi dalam Matius 12:1-8, saat orang-orang Farisi yang menjaga tradisi untuk tidak melakukan pekerjaan sama sekali di hari Sabat, maka saat yang sama Yesus menunjukkan tentang definisi pekerjaan yang dituduhkan orang Farisi tersebut sebagai sikap beribadah, karena ada kasih yang ditaruh dalam pekerjaan tersebut. Atau dalam konteks berbeda. Saat cuti, liburan dan beribadah (ritual) dianggap sebagai sesuatu yang bukanlah bagian dari pekerjaan. Maka itupun termasuk sebuah kekeliruan. Sebab cuti, liburan dan beribadah (ritual) bukanlah sesuatu yang menghambat produktivitas. Sebaliknya, hal ini justru memungkinkan manusia mengambil jarak dari kesibukan kesehariannya, dan begitu dia bisa berfikir lebih jernih mengenai kreativitasnya. Sesuatu yang disebut juga sebagai pekerjaan.

Dengan dasar inilah, sesungguhnya kita membutuhkan pemahaman dan sudut pandang spiritual yang tidak memisahkan pekerjaan dan peribadahan. Tetapi, haruslah kita memandang bahwa “saat aku bekerja, maka saat yang sama pula aku beribadah kepada Tuhan”

Loh koq bisa?

Belajar dari pelayanan Paulus ke Filipi dalam Kisah Para Rasul 16: 11-15, apakah pelayanan tersebut tidak disebut sebagai pekerjaan? Kalau saudara memandang pekerjaan berdasarkan upah atau apa yang dihasilkan, maka saat yang sama mental saudara tidak lebih dari seorang budak tertawan. Bukanlah bagian dari orang-orang ditebus.

Sebab, kerja juga ekspresi bagaimana orang memberi diri, membagi diri dan membaktikan hidupnya bagi Tuhan dan sesama. Sebab, ketika manusia bekerja ia tidak hanya menghasilkan sesuatu melainkan ia juga sedang mengomunikasikan dirinya – karenanya – bisa membangun kerjasama. Itulah mengapa dalam bekerja hal terpenting adalah relasi dengan Tuhan dan sesama CiptaanNya. Jangan sampai dalam bekerja, manusia justru semakin indvidualis dan hanya memikirkan daya saing bukan daya guna bagi sesame CiptaanNya.  

Nah, sampai pada titik ini, Apakah sekarang saudara menyadari bahwa kerja juga bagian dari peribadahan?

Martin Luther berkata bahwa Anda bisa memerah susu sapi untuk kemuliaan Allah. Mengapa? Sikap kitalah yang menyatakan, “Tuhan, aku melakukannya untuk-Mu.” Jadi, entah kita sedang melakukan apapun saat ini, lakukanlah untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk memuaskan ego diri sendiri, menjadikan diri semakin indvidualis ataupun meningkatkan daya saing. Sebaliknya lakukan setiap pekerjaanmu sebagai bentuk ibadah yang memuliakan Tuhan, dengan berdaya guna bagi diri sendiri dan Sesama CiptaanNya. Sehingga setiap kali kita mengayunkan cangkul kita untuk menanam jadikan itu sebagai alat memuliakan Allah. Lalu ketika kita memanen hasil dari tanaman kita untuk dijual, maknailah itu sebagai pujian-pujian kepada Allah, karena telah diberikan karunia untuk menikmati tanah yang subur dan penyertaan Tuhan atas pertumbuhan tanaman kita. Sehingga saat proses pemeliharaannya kita tetap meminta hikmat dari Tuhan, untuk tidak sampai merusak ciptaanNya. Lalu, saat menjual hasilnya, kita tidak memiliki keinginan untuk menipu dan membohongi orang lain. Demikianlah hasil refleksi diri, saat memaknai sebuah pekerjaan sebagai bentuk peribadahan.

Namun, perlu diingat pula bahwa pemahaman ini tidak berlaku sebagai alasan untuk meninggalkan ibadah kita secara ritual. Karena itu dalam Kisah Para Rasul 16: 11-15 kita juga belajar dari seorang Lidia yang memberikan apresiasi pada dirinya dan juga pada Tuhan yang selalu menyertainya. Ingat seperti diawal tadi telah disampaikan cuti, liburan dan beribadah (ritual) bukanlah sesuatu yang menghambat produktivitas. Sebaliknya, hal ini justru memungkinkan manusia mengambil jarak dari kesibukan kesehariannya, dan begitu dia bisa berfikir lebih jernih mengenai kreativitasnya. Sesuatu yang disebut juga sebagai pekerjaan.

Belajarlah juga dari Pengkhotbah 5:18-20 suatu nasihat baik untuk kita bisa menikmati hasil jerih lelah kita. Suatu hikmat yang mengajarkan kita untuk totalitas bekerja, tanpa harus menyiksa diri. Mereka yang menerima hikmat ini akan memberi ruang pada diri untuk istirahat dan bersyukur sebagai sikap untuk memberi ruang pada dirinya bisa lebih berkembang sehingga lebih efektik dalam bekerja. Seperti seorang pemotong kayu bakar, dia tidak akan memaksakan kapaknya yang tumpul. Sebaliknya, ia memberikan waktu untuk istirahat dan mengasah kapaknya.

Sedang mereka yang tidak mau menerima hikmat itu, akan menyiksa diri dengan memberikan waktu untuk setiap yang dia kerjakan dengan sebutan “dedikasi”. Alhasil orang-orang demikian ini, tidak akan pernah benar-benar berbahagia dalam pekerjaannya, dan menyebut pekerjaannya sebagai ibadahpun tidaklah layak. Karena pada kenyataannya “dedikasi” hanyalah sampul dan pembenaran untuk dia menyiksa diri dan tidak mampu mengapresiasi diri sendiri, apalagi sikap apresiasi Tuhan

 


Komentar