Ciptaan Allah Sungguh Amat Baik - Kejadian 1:26-31


Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, demikianlah pemahaman ini kembali menyadarkan kita tentang identitas utama manusia, saat pertama kali diciptakan. Sebelum lebih jauh kita berefleksi tentang apa dan bagaimana seharusnya kita sebagai pencipta, terlebih dahulu marilah kita melihat salah satu metafora  yang dapat kita temukan dalam perjanjian lama mengenai Allah dan penciptanya.

Seperti yang dapat kita temukan bahwa Allah digambarkan sebagai tukang periuk yang dengan terampil, penuh perasaan dan kehalusan hati membentuk pribadi manusia (Kej 2:7-8). Mengenai pembentukan tersebut diisyarakatkan kepada kita suatu kepuasan atau kesukaan tertentu dari Allah, yang mampu membayangkan bentuk sebuah objek yang pernah ada sebelumnya, lalu mengubahnya dari imajnasi kepada kenyataan. Walaupun demikian metafora tersebut sedikit membuat gelagat buruk dan penuh tuntutan.  Mengingat tanah liat tidak sudi tunduk pada kehendak tukang perik, maka tukang periuk bebas dan siap untuk meremukkan periuk itu dan mengerjakannya kembali 

Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya. (Yer 18:4)

Dari hal ini, kita melihat bahwa Allah sebagai seniman bertanggung jawab atas seni yang Dia bentuk dan pastinya sekalipun peremukkan terjadi pada periuk, hal itu dilakukan untuk memperbaiki agar periuk tersebut menjadi lebih baik lagi. Sehingga tidak dibiarkan begitu saja, melainkan dibentuk lagi untuk menghasilkan yang terbaik. Atau sering kali kita dengarkan dalam banyak khotbah, bahwa proses penciptaan itu terus berlangsung bahkan sampai saat ini pula.

Namun perlu disadari pula, proses dalam perbaikan ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Seperti yang dialami oleh Bangsa Israel sendiri; Pertama, perbaikan yang dilakukan oleh Allah juga dibebani dengan derita, rasa sedih dan masalah. Bahkan tidak hanya itu, jalan menuju perbaikan itu bahkan harus melewati kehilangan derita, murka dan penghinaan. Sebuah perbaikan yang dibayar mahal oleh Allah juga. Kedua, perbaikan ini juga dimulai dengan menuntut penyingkapan kebenaran (bdk, Mzm 32:3-5; 38:3-8) Kedua, dalam sebuah perbaikan juga dimulai dengan menuntut penyingkapan kebenaran. Sudah tentu, seperti Bangsa Israel di masa pembuangan ataupun metafora-metafora yang diungkapkan pemazmur dalam Mzm 32:3-5; 38:3-8, bahwa penyingkapan ini akan membuat kita mengalami penderitaan dan kesakitan. Ketiga, Allah juga memiliki batasan-batasan dalam melakukan perbaikan sekalipun IA juga bermurah hati dan penuh perhatian. Seperti syair dalam Yeremia 51 yang menceritakan bangsa Babel yang tidak ingin disembuhkan. Sehingga janganlah heran, bila diantara kita melihat orang-orang yang tidak berubah dan tidak mengalami perbaikan dalam hidupnya. Bukan karena Allah yang tidak bermurah hati kepadanya, namun seringkali Allah juga ditolak kehadirannya oleh diri orang-orang tersebut. Keempat, sekalipun Allah juga merupakan tabib yang tiada banding, sebagai ciptaanNya kita juga dapat menjadi agen bagi penyembuhan yang dikehendaki oleh Tuhan.

Kajian keempat ini menjadi hal utama untuk kita ingat dan hidupi dalam refleksi saat ini. Sebab kita senantiasa hidup dalam hubungan yang dinamis, dalam diri sendiri antara tubuh dan jiwa, antara kefanaan dan hidup yang diberi Roh, antara semua makhluk lain. Kita dijadikan demi hubungan kemitraan bersama Allah dalam pemeliharaan seluruh ciptaanNya. Jangan sampai kuasa yang kita dapat dan diungkapan dalam Kej 1:28 dijadikan untuk mendatangkan hukuman atas kita sendiri. Seperti eksploitasi pada ciptaanNya atau menyampingkan kerusakan Alam demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Sebab hal ini sering kali dan dimungkinkan terjadi, karena manusia bertindak atas pilihannya sendiri; karena didalam diri manusia, Allah memberikan kuasa dan gambaraNya yang tidak pernah dapat menghilang juga selalu melekat kepada siapapun. Bahkan karena kekejian kita sekalipun, gambaran itu tetap melekat dalam diri manusia. Hanya saja, gambaran itu tidak lagi kelihatan pada diri kita, akibat dari kekejian dan ketamakan manusia dalam mengeksploitasi alam juga pada sesama ciptaan lainnya.

Maka dari itulah, saat kita mendengar relfeksi ini, seharusnya kita tidak lagi berlaku demikian. Sebagai gambaran Allah yang “seharusnya”, manusia harus melihat seperti apa yang digambarkan dalam Yes 5:1-7 mengenai Allah sebagai pemelihara . Sebab kendatinya, gagasan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah menempatkan manusia juga dalam suatu hubungan yang unik dengan Yahweh dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Hubungan kita yang unik itu memberikan tanggung jawab khusus untuk bertindak. Karena Yahweh menciptakan bumi ini sebagai “rumah” untuk segenap makhluk didasarkan kedermawanan-Nya. Namun seperti yang diungkapkan sebelumnya, pemberian itu juga tidak berhenti pada itu saja, karena manusia juga diberikan peran sebagai pelaksana harian yakni menguasai (memelihara) cipataan dan mengelola bumi. SEKALI Lagi, refleksi ini berisi mandat memelihara bumi, bukan mandat mengeksploitasi. Kalau kita gagal memelihara bumi, maka kita gagal pula dalam tanggung jawab sebagai ciptaan yang serupa dan segambar denganNya.

Sebelum menutup Refleksi ini, saya juga ingin berbagi cerita rakyat yang berasal dari Kalimantan Tengah, yakni “Batu Bagaung”. Kisah ini bercerita tentang seorang Putri Raja yang sering mencuci rambutnya dengan bahan-bahan khusus di sungai bersama tujuh dayang-dayangnya. Sampai suatu ketika, gelombang air muncul dari sungai tersebut dan menenggelamkan Putri Raja bersama dayang-dayangnya. Kegemparanpun terjadi pada saat itu, dikarenakan gelombang tersebut  bukan hanya menenggelamkan, tetapi juga membuat mereka menghilang. Bahkan usaha Raja dan rakyatpun untuk menemukan putri dan para dayangnya tidak mendapatkan hasil.

Tak terbayangkan bagaimana berkabungnya Raja dan rakyat atas kejadian tersebut. Sampai salah seorang dari mereka teringat akan seorang petapa sakti yang berdiam di pinggir hutan yang tidak jauh dari istana kerajaannya. Sang petapa sakit itu kerap disebut Sang Pangelaran karena ia mampu memasuki kerajaan bawah air dengan tubuh tetap kering. Sang Pangelaran itu segera dipanggil untuk datang ke Istana kerajaan guna menghadap Raja. Sang Pangelaranpun datang, kepada Raja dan mengatakan bahwa Putri dan dayang-dayangnya masih hidup. Hanya saja, Raja harus datang menjemputnya ke kerajaan Bawah Air. Rajapun bersedia mengikuti tuntunan dari Sang Pengelaran untuk menemui Raja dibawah Air tersebut.  

Singkat cerita, dalam pertemuan tersebut permohonan Raja ditanggapi oleh Raja Bawah air dengan kesal. Sebab, perbuatan Putri yang mencuci rambut dengan menggunakan bahan-bahan khusus itu ternyata membuat kerajaan Bawah Air menjadi rusak, dan rakyat-rakyatnya pun menderita karena perbuatan Putrinya. Begitu terkejutnya Raja, karena ternyata bahan-bahan yang digunakan oleh Putrinya justru meracuni ekosistem air. Untuk itulah, maka gelombang Air itu diberikan Raja Bawah air untuk menghukum Putri Raja yang meracuni ekosistem air dengan bahan-bahan pencuci rambutnya.

Mendengar hal tersebut, Raja sangat sedih dan kebingungan. Sebab ia tidak menyangka bahwa perbuatan dari putri tunggalnya telah merusak kehidupan kerajaan Bawah Air. Raja kebingungan bagaimana dapat memperbaiki kesalahan itu dan mengembalikan putrinya.

Raut Wajah yang sedih dan kebingungan itupun terlihat dari Raja Bawah Air. Dengan bermurah hati, iapun memberikan penawaran kepada Raja. Seluruh rakyat dan termasuk ia bersama keluarganya, harus berjanji untuk tidak lagi menggunakan bahan-bahan beracun tersebut. Bahkan perjanjian tersebut, haruslah berlangsung sampai selama-lamanya.

Karena Raja juga telah melihat situasi dan kerusakan yang diakibatkan dalam kerajaan bawah air tersebut, maka Rajapun bersumpah bersama rakyatnya untuk tidak lagi menggunakan bahan-bahan beracun yang merusak, salah satunya bahan cuci rambut yang digunakan putrinya.

Demikianlah sejak saat itu tidak ada lagi yang berani mencuci rambut dengan bahan-bahan yang merusak kerajaan bawah air. Mereka terus menjaga perintah Raja dan tidak berani untuk melanggarnya. Mereka takut terkena hukuman akibat dari perbuatannya. Konon, Kerajaan Bawah air tempat Raja bertakhta itu berada di sebuah teluk di Sungai Lamandau yang oleh masyarakat disebut Batu Bagaung.  

Refleksi kita dan pesan moral yang disampaikan melalui legenda Batu Bagaung ini, harusnya dapat menyadarkan kita kembali, yakni teruntuk seluruh Alam, sebagai gambaran Allah yang hidup bersama sesama CiptaanNya, hendaklah kita menjaga kelestarian lingkungan demi kesejahteraan kita bersama dan anak keturunan kita di kemudian hari. Jangan sampai, ketidakpeduliaan dan ketamakan kita pada Alam, justru membuat perseteruan kita dengan Alam ataupun perseteruaan kita dengan Allah. Karena perseteruan itu hanya membawa ketidakdamaian dalam hidup kita. Jadi, apa pilihan saudara saat ini?

Komentar