Bila
saat ini diajukan sebuah pertanyaan, apakah petani (khususnya petani yang
bekerja dalam sektor pangan) dan karyawan merupakan pekerjaan yang sama?
Mungkin diantara kita akan menjawabnya sebagai pekerjaan sama, tapi benarkah
demikian? Menurut saya tidak!
Petani
tidak sama dengan seorang karyawan, dahulu dan sampai sekarang. Status Petani
selalu berbeda dengan seorang karyawan. Sebab status petani selalu lebih tinggi
dari karyawan. Mengapa?
Kita
mulai dengan beberapa pertanyaan;
·
Bila saudara
seorang karyawan lalu perusahaan tidak memberikan gaji kepada saudara selama 2
bulan? Apa yang akan saudara lakukan, memakai tabungan?
·
Bila saudara
seorang karyawan lalu perusahaan tidak memberikan gaji kepada saudara selama 6
bulan? Apa yang akan saudara lakukan, mengundurkan diri?
·
Setiap tanggal 1
Mei, semua karyawan demo dan protes akan kenaikan Gaji? Sedang petani,
bagaimana?
Demikianlah,
setiap orang harus menaruh rasa hormat kepada seorang petani, bukan sekedar
memberikan simpati. Sebab petani tidak layak untuk mengemis simpati kepada
seorang karyawan, apalagi kita yang setiap harinya mengonsumsi hasil dari
pertanian.
Tapi,
apakah rasa hormat itu ada sampai saat ini? Tampaknya tidak! Rasa Hormat kepada
petani itu sudah hilang. Tidak heran, mengapa beberapa kaum muda merasa malu
menjadi seorang petani. Bahkan fenomena sarjana pertanian menjadi seorang Karyawan
Bank itu sudah menjadi lumrah saat ini. Hal ini didukung juga dengan data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 33% menjadi
29% dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Ada
beberapa faktor kemungkinan yang saya pikir juga membuat keluarga petani tidak
melulu karena rasa malu, maka dirinya tidak menginginkan anaknya menjadi
seorang petani. Adapun kemungkinan itu menyangkut pula soal kehidupan.
Bayangkan
saja, WHO menyatakan setiap tahun terjadi 1– 5
juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian
mencapai 220.000 korban jiwa, sekitar 80% keracunan pestisida dilaporkan
terjadi di negara-negara berkembang. Beberapa kasus keracunan pestisida yang
terjadi di Indonesia, antara lain di Kulon Progo terdapat 210 kasus keracunan
dengan pemeriksaan fisik dan klinis, 50 orang di antaranya diperiksa di
laboratorium dengan hasil 15 orang (30%) positif keracunan. Daerah Kabupaten
Sleman dilaporkan dari 30 orang petugas pemberantas hama 14orang (46,66%)
mengalami gejala keracunan serta di Propinsi Bali. Berdasarkan data pemeriksaan
aktivitas cholinesterase yang dilakukan UPT Balai Hiperkes dan KK Provinsi Bali
pada tahun 2013, prevalensi petani di Bali yang mengalami keracunan pestisida
sebesar 41%.
Bagaimana dengan daerah lainnya, saya yakin ada. Walaupun
saya belum menemukan data yang valid!
Mungkin
beberapa dari kita sudah berjuang dan berusaha untuk menimalisir ini dengan
edukasi soal bahaya penggunaan pestisida. Tapi bagaimana setelahnya, apakah
edukasi ini berarti? Menurut saya larangan bukanlah solusi. Petani menggunakan
pestisida yang membuat diantara mereka mengalami keracunan dan merusak
lingkungan juga dikarenakan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi, sementara
hasil panen dihargai murah oleh para tengkulak. Sedang para tengkulak
menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.
Bahkan
berdasarkan dari data yang disampaikan oleh Mantan
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi yang dilansir oleh.cnbcindonesia.com,
disebutkan bahwa data kemiskinan, sebagian besar kemiskinan tersebar di
pedesaan di mana pendapatan penduduk bergantung dari sektor pertanian. Dia
menjelaskan kontribusi pertanian terhadap GDP sekitar 12-13%, namun kontribusi
terhadap kesempatan kerja masih sekitar 30%. "Maka yang 'krisis'
sebenarnya adalah kesejahteraan petani karena pendapatan yang hanya 13% itu
dibagi di antara yang 30%," Menurutnya, masalah kesejahteraan inilah yang
pada akhirnya membuat generasi muda tidak tertarik terhadap pertanian. Karena
itu, regenerasi petani menjadi sangat lambat, atau hampir tidak ada. "Hal
ini juga yang menyebabkan sekitar setengah petani beralasan menjadi petani
karena terpaksa, tidak ada pekerjaan lain," kata Bayu.
Atau
dengan kata lain, logika seorang petani yang bekerja di sektor pangan tidak
perlu takut lapar. Saat ini terlihat, justru merekalah yang selalu dihantui kelaparan.
Jadi, apakah dengan demikian pemerintah dan
kebijakannya menjadi bagian yang patut disalahkan? Tidak Juga!
Sejatinya
saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah dan kebijakannya. Bahkan tujuan
saya menuliskan artikel ini bukanlah untuk menyalahkan mereka, apalagi menaruh
simpati kepada petani. Kembali lagi, petani tidak layak untuk mengemis simpati
dari kita. Justru kitalah yang seharusnya menaruh hormat kepada petani dan
merasa bangga untuk menjadi seorang petani. Sebab bila tidak demikian, kita
tahu pertambahan penduduk setiap tahunnya sangatlah meningkat dan kebutuhan
pangan juga berbanding lurus. Bila sektor pangan tidak menyanggupinya, maka
pilihan impor pangan dan pemalsuan akan semakin sangat mungkin terjadi untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Lalu, akankah kita mau beradaptasi juga dengan
situasi seperti ini? Apakah tubuh juga harus beradaptasi dengan pemalsuan pada
semua hal yang kita konsumsi saat ini? Atau kita menunggu sampai lingkungan
benar-benar rusak dan meneriakkan keberadaan Tuhan?
Tahukah
kita, dari banyak pekerjaan yang ada. Petani menjadi ilustrasi yang paling
sering diungkapkan dan dituliskan dalam Alkitab. Sebab, dalam seluruh
pekerjaannyalah kita belajar tentang berhubungan dengan Tuhan, Manusia dan
CiptaanNya. Tidak percaya? Lihatlah saja, seorang petani menaruh harapan dalam
setiap benih yang dia tanam atau tabur, menyerahkan semuanya dari awal, dalam
proses dan sampai penuaian, kepada Tuhan. Setelah penuaian, seorang petani
tidak hanya berfikir soal dirinya tapi juga tentang kita yang membutuhkan. Lalu, alasan apalagi untuk kita tidak
menaruh hormat pada petani?
Komentar
Posting Komentar