MAU BEKERJA KERAS / 2 TESALONIKA 3:6-15


Dalam bahan Khotbah Minggu kita hari ini, kita diingatkan akan beberapa hal;

Pertama, menikmati hidup tidak berarti membuat diri menjadi beban bagi orang lain.

Santai dengan kehidupan, menikmati hidup dsb menjadi filosofi-filosofi hidup yang digemari oleh kalangan muda. Namun yang menjadi masalah adalah kalangan muda tersebut justru lebih terlihat malas-malasan, dan menjadi beban bagi orang tuanya. Padahal sejatinya filosofi-filosofi semacam itu tidak mengajarkan orang-orang hidup untuk bermalas-malasan. Sebaliknya, filosofi-filosofi yang mengajak untuk santai dengan kehidupan ataupun belajar menikmati hidup sebenarnya bertujuan agar hidup kita tidak mudah stress atas setiap hal yang terjadi dalam pekerjaan kita ataupun usaha yang naik turun. Jadi bukan tidak bekerja dan bermalas-malasan. Tetapi memiliki ketenangan batin, selayaknya orang beriman yang tidak hanya bertumpu pada usaha dan pekerjaannya tapi juga menyerahkan semua hal tersebut kepada Tuhan. Sehingga hidup demikian tersebut, membuat diri kita tidak menjadi seorang yang terlalu ambisius dan lebih ringan dalam berkonsentrasi dan mencapai tujuan kita.

Kedua, beribadah ataupun pelayanan bukanlah persembunyian dan pembenaran untuk diri tidak tidak bekerja.

Ada sebuah kisah tentang Belalang dan Semut. Pada musim dingin, si belalang melihat sederet semut membawa biji-bijian ke sarang mereka. Kata belalang, “Maukah kamu berbagi sedikit makanan? Saya belum makan apa pun sejak kemarin; saya hampir mati kelaparan.” Seekor semut menjawab, “Apa yang kamu lakukan sepanjang musim panas sehingga tidak punya makanan pada musim dingin ini?” Kata belalang, “Saya menghabiskan waktu untuk bernyanyi dan beribadah kepada Tuhan; saya sibuk mempersembahkan berbagai kidung kepada-Nya sehingga saya tidak sempat mengumpulkan makanan untuk musim dingin.” Jawab semut. “Kalau begitu, berdoalah terus dan mintalah musim dingin segera pergi.” Rombongan semut itu berlalu meninggalkan si belalang.

Fabel di atas tidak jauh berbeda dengan ajaran Paulus yang menjadi bahan Khotbah kita Minggu ini. Yangmana Paulus menegaskan bahwa orang yang tidak mau bekerja tidak boleh makan. Paulus sangat konsen pada hal ini, sebab dia tidak ingin melihat ada jemaat yang hidupnya kacau, malas kerja dan tidak bertanggung jawab atas diri sendiri. Bahkan Paulus juga memberikan keteladan hidup bagi jemaat Tesalonika yaitu bekerja. Sekalipun Paulus pantas mendapatkan tunjangan hidup dari jemaat, tanpa harus capek bekerja. Tetapi Paulus tidak ingin menjadi beban bagi jemaat Tesalonika, karena itu dia memberikan contoh yang baik yaitu Tekun Bekerja. 

Ketiga, Bekerja dan Beribadah adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan.

Bila kita memperhatikan kehidupan Yesus dan pelayananNya, maka sejatinya kita memahami bahwa Yesuspun telah memperluas definisi dari pekerjaan itu sendiri tanpa sekali kali menghapus dan meniadakan Hukum Taurat. Seperti yang terjadi dalam Matius 12:1-8, saat orang-orang Farisi yang menjaga tradisi untuk tidak melakukan pekerjaan sama sekali di hari Sabat, maka saat yang sama Yesus menunjukkan tentang definisi pekerjaan yang dituduhkan orang Farisi tersebut sebagai sikap beribadah, karena ada kasih yang ditaruh dalam pekerjaan tersebut. Atau dalam konteks berbeda. Saat cuti, liburan dan beribadah (ritual) dianggap sebagai sesuatu yang bukanlah bagian dari pekerjaan. Maka itupun termasuk sebuah kekeliruan. Sebab cuti, liburan dan beribadah (ritual) bukanlah sesuatu yang menghambat produktivitas. Sebaliknya, hal ini justru memungkinkan manusia mengambil jarak dari kesibukan kesehariannya, dan begitu dia bisa berfikir lebih jernih mengenai kreativitasnya. Sesuatu yang disebut juga sebagai pekerjaan.

Dengan dasar inilah, sesungguhnya kita membutuhkan pemahaman dan sudut pandang spiritual yang tidak memisahkan pekerjaan dan peribadahan. Tetapi, haruslah kita memandang bahwa “saat aku bekerja, maka saat yang sama pula aku beribadah kepada Tuhan”.

Keempat, semakin sering mengeluh maka hidup semakin tidak karuan dan kita semakin tidak produktif.

Benar bahwa keadaan dan situasi saat ini sedang kacau akibat dari Covid 19 yang melanda negara dan bangsa kita. Tapi ini bukanlah alasan untuk kita menjadi manusia yang tidak produktif, tidak tau berbuat apa dan tidak mau berbuat apa-apa. Saya teringat dengan nasihat seorang pemain football Amerika bernama Lao Holtz, dikatakan bahwa “Kehidupan adalah 10% apa yang terjadi pada Anda dan 90% adalah bagaimana Anda meresponsnya.”. Nasihat yang akhirnya memberikan pesan kepada kita, bahwa  Apa pun yang kita alami, bagaimana pun kehidupan kita, semua kembali pada respon kita.

Kalau kita merespon situasi saat ini dengan terus menerus mengeluh, maka hidup semakin tidak karuan dan kita semakin tidak produktif. Mengapa? Karena pikiran kita adalah alat yang paling kuat pengaruhnya. Bila kita memutuskan bahwa sesuatu memang benar ada di luar jangkauan kita, maka saat yang sama kita juga akan sangat sulit menerobos hambatan yang kita ciptakan sendiri itu. Atau dengan kata lain ketika kita punya kebiasaan mengeluh, membiarkan pikiran kita semakin rumit ketika menghadapi kesulitan atau bersikap hidup ini adalah keadaan darurat? Maka kita akan menjadi frustasi karena sedikit banyak, kita selalu memperaktikan rasa frustasi. Itulah mengapa saudara sangat sulit mengembangkan potensi dalam diri saudara dan jatuh pada tindakan malas.

Camkanlah ini, kebahagian itu tidak diperoleh dari situasi yang baik apalagi diberi oleh orang lain. Sebab sejatinya, dalam baik dan buruknya situasi, Tuhan Allah turut bekerja dan menyertai semua hal yang kita kerjakan untuk hidup yang penuh sukacita!


Komentar