MENGHINA : HARAM (Amsal 11:12; 14-21) #FERDIAN PALEKA #STOP BULLYING


Bully tampaknya bukan kata baru di telinga kita, mungkin saja kita adalah korban atau bahkan pelaku Bully tersebut. melakukan bully dapat diartikan sebagai “memakai kekuatan atau kekerasan untuk mengintimidasi atau melecehkan orang lain”. Orang yang suka mem-bully adalah orang yang menganggap dirinya lebih kuat dari pada orang lain dengan mengancam mereka untuk dicelakai/dilecehkan, atau benar-benar mencelakai/melecehkan mereka, agar maksudnya tercapai. Itulah mengapa menghina (dalam hal ini bullying) menjadi sikap yang haram.

Tetapi, sadarkah kita, saat mendengar seorang berkata demikian. Saat yang sama kitapun mengetahui bahwa nasihat ini sudah pernah dan sering kali kita dengar dan diajarkan kepada kita. Bahkan sejak kita kecil, tapi bagaimana dengan tindakan membully para pelaku bully?

Beberapa waktu yang lalu kita mendengar kasus Ferdian Paleka yang melakukan kesalahan dengan memberikan sembako berisi sampah kepada beberapa orang, salah satunya kaum waria. Kaum yang sebenarnya, tanpa kita sadari juga tidak dihargai di negara kita. Jadi jangan hanya sebut Ferdian Paleka, sebagai pelaku bullying. Bahkan saat LGBT tidak mendapatkan haknya di negara kita dan lingkungan kita. Saat yang sama juga, kitapun adalah bagian dari Ferdian Paleka.

Tapi, dalam kesempatan ini saya juga tidak ingin kita terlalu fokus pada masalah bullying yang dilakukan Ferdian Paleka ataupun yang kita lakukan untuk kaum LGBT.

Saya lebih mengajak kita, seperti poin semula. Bagaimana sikap kita kepada para pelaku bully?

Fenomena yang tampak di beberapa kalangan publik figure yang dahulu menyesakkan dan terganggu dengan para Netizen karena komentar negatifnya. Ternyata dalam kasus Ferdian Paleka, banyak juga yang berkomentar negatif dan melakukan bullying loo. Dengan anggapan bahwa sikap demikian ini wajar untuk memberikan hukum jera pada pelaku bullying. Termasuk pula yang dilakukan para tahanan di dalam penjara untuk mereka.

Saat seperti ini, saya jadi teringat akan Filsuf Blaise Pascal, yang memiliki suatu pemikiran bahwa kekerasan tidak pernah menjadi bukti akan kebenaran. Jika kelompok masyarakat melempari batu kepada seseorang pencuri misalnya, tindakan pelemparan itu baginya tidak membuktikan salahnya seorang pencuri tersebut. Atau dengan kata lain pelemparan batu bukanlah menjadi pembenar atau “kebenaran” kita. Karena kekerasan tidak bisa menjadi bukti bahwa diri kita jauh lebih benar dan baik dari yang lain.

Pilihlah untuk setiap waktunya, menjadi yang baik daripada menjadi yang benar. bukan hanya kepada Ferdian Paleka juga kepada para pelaku pembully dalam hidup kita. Sebab setiap waktunya kita memiliki kesempatan untuk menunjukkan kesalahan para pembully, apa yang dapat dan harus dilakukannya secara berbeda atau apa yang harus mereka perbaiki. Kita memiliki kesempatan untuk “mengoreksi” orang lain, secara pribadi dan dihadapan orang lain, kesempatan itu sebenarnya adalah kesempatan membuat orang lain merasa tidak nyaman, dan diri kita sendiri juga akan merasa tidak nyaman dalam prosesnya.

Bila kita mengevaluasi kembali sikap kekerasan pada para pembully, kita akan melihat bahwa perasaan kita akan menjadi lebih tidak enak dibanding dengan sebelum menjatuhkan orang lain itu. Hati kita, bagian diri kita yang penuh rasa belas kasih, sangat tahu bahwa tidak mungkin kita akan merasa lebih nyaman bila kita berada di atas kesulitan orang lain.

Untungnya, kebalikannya juga berlaku, seperti yang menjadi refleksi kita dalam Amsal 14:21

Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita.”

Kitapun diminta untuk tidak menjadi orang yang benar, tetapi menjadi baik dalam berbelas kasih kepada para pelaku bullying. Karena itu, bila kita mendapat kesempatan untuk mempermalukan mereka, tahan godaan itu. Sebaliknya, tanyai diri kita “Apa yang sebenarnya kuinginkan dari interaksi ini?” Kesempatannya adalah, apa yang kita ingingkan adalah interaksi damai ketika semua pihak meninggalkan interaksi itu dengan perasaan enak. Persis seperti Amsal 11:12

 Siapa menghina sesamanya, tidak berakal budi, tetapi orang yang pandai, berdiam diri.”

Ingat, jangan merancukan hikmat yang diberikan penulis Amsal kepada kita, dengan menjadi orang yang lemah. Karena pelaku bullying juga bisa sangat berlebihan, beberapa kasus menunjukkan korban bullying ada yang meninggal akibar kekerasan yang dilakukan para pelaku. Karena itu, selalu ada pilihan lari dan meninggalkan lingkungan tersebut. Saudara juga tidak boleh merancukan hikmat yang diberikan dengan tidak mempertahankan keyakinan kita bahwa “Tuhan menciptakan kita dengan begitu Istimewa” dengan menjadi pelaku bullying baru untuk diri kita sendiri. Bahkan dalam kesempatan ini, saya tidak menyarankan bahwa kita tidak boleh menjadi yang benar. Hanya saja, kalau kita memaksa untuk menjadi yang benar, sering kali ada harga yang harus dibayar yakni ketenangan batin kita.


Komentar