Merawat Rumah Ibadah / 2 Tawarikh 24:1-14



KHOTBAH MINGGU kita hari ini bercerita tentang Raja Yoas yang kala itu berinisiatif merenovasi rumah Tuhan. Sebab anak-anak Atalya, perempuan fasik itu, telah membongkar rumah Allah, bahkan memakai barang-barang kudus rumah Tuhan untuk para Baal. Adapun cara yang dilakukan Raja Yoas adalah dengan mengumpulkan seluruh pajak yang dikenakan Musa saat di padang Gurun.

Hal yang menarik digambarkan dalam kisah tersebut, semua orang  dengan penuh sukacita datang membawa pajaknya dan memasukkannya ke dalam peti itu sampai penuh. Tidak dituliskan tentang kisah orang-orang yang mengkritik dan menaruh curiga atas pengumpulan semacam ini. Bahkan tidak dituliskan pula kisah orang-orang mengeluh atas pungutan pajak tersebut. Padahal bila dilihat dari konteks sejarah saat itu, bangsa ini baru-baru saja sedang mengalami perpecahan kerajaan, atau dengan kata lain dalam beberapa aspek pastilah mengalami kemerosotan.

Mungkin saudara akan berkata, tapi situasiku sedang terpuruk MASAKAN hal-hal demikian ini menjadi tema khotbah di situasiku yang semacam ini. Sejujurnya, saya juga malas mengkhotbah hal semacam ini dalam situasi sekarang. Tapi dalam edisi khotbah Minggu saya selalu merujuk dari bahan dan pedoman yang ditetapkan oleh GBKP sebagai tempat saya bergereja.

Nah, yang menjadi menarik justru bukan soal ketundukan saya kepada Gereja GBKP. Tetapi, setelah saya menelusuri fakta sejarah ternyata 2 Tawarikh ini dituliskan dan ditujukkan pada masa setelahnya. Masa dimana para pembaca kedua kita tawarikh telah hidup selama pembuangan dan juga telah mengalami kehancuran Yerusalem dan akhir pemerintahan keturunan Daud. Atau dengan kata lain, si penulis berbicara soal kisah ini kepa pembacanya di saat situasi seperti kita sekarang ini juga yang tentu penuh dengan persoalan dalam kehidupan. Jadi, kalau ditanya,”Pantaskah khotbah semacam ini diberikan ketika situasi justru sedang tidak mendukung?”. Saya pikir jawabannya kembali pada saudara, toh pada akhirnya sering kali diantara kita hanya mencari Firman yang sering menyukakan hati kita bukan?

Oke saya lanjutkan kembali. Bahan khotbah Minggu ini juga menceritakan tentang bagaimana Yoas memberikan apresiasi kepada semua orang baik itu pemimpin ataupun rakyat biasa dengan potensinya masing-masing. Suatu teladan yang ditujukkan kepada kita dalam kehidupan bergereja. Teladan untuk mengenali potensi jemaat dengan tepat, sehingga menolong untuk kita memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan dalam Gereja. Daripada hanya terpaku dan meletakkan harapan pada satu atau dua orang.

Sebab sikap sikap demikian ini justru sering kali membuat beberapa pihak menjadi atau merasa dominan dalam Gereja. Dampaknya membuat perjalanan dan perkembangan Gereja kehilangan ataupun rusak persekutuannya. Untuk itulah melalui bahan khotbah ini, kita diingatkan kembali untuk tidak mendominasi ataupun membuat orang lain menjadi dominan dalam Gereja. Sebab Gereja saat ini bukanlah hanya tempat untuk orang menyembah dan memuji Tuhan, justru masa pendemi mepertunjukkan kepada kita bahwa dalam rumah kitapun, peribadahan semacam itu dapat dilaksanakan. Sebaliknya salah satu dari fungsi Gereja sebagai Gedung adalah menjadi ruang atau fasilitas persekutuan orang-orang yang ada didalamnya untuk saling mengasihi dengan tulus.

Nah, Bagaimana mungkin, persekutuan itu menjadi kumpulan orang-orang yang saling mengashi dengan tulus, tulus melayani, memuji dan menyembah kepada Tuhan. Bila saudara sendiri ataupun orang lain yang mendominasi? Atau sebaliknya bagaimana mungkin saudara bisa datang dan beribadah di Gereja, bila saudara hanya mau dilayani?

Hal lain yang dapat kita pelajari adalah semua orang harus menaruh hati dan usahanya untuk Gerejanya, bukan menunggu.

Sebelum lebih jauh membicarakan hal ini saya ingin menceritakan seorang anak kecil bernama budi, anak kecil yang menjajakan koran. Ia basah kuyup dan menggigil di simpang jalan Tugu Pancoran, Menunggu pembeli surat kabar sore yang dijual malam.Ya, si Budi hanya menunggu orang-orang datang bertanya dan membeli koran sorenya.

Apakah? Koran itu terjual? Tidak!

Sebab si Budi hanya menunggu dan menanti pembeli. Sampai akhirnya si Budi berfikir cara terbaik untuk bagaimana dirinya bisa menjual koran sore tersebut. Ia berteriak kepada banyak orang-orang sekitar;

           Baca berita hangat! Berita Hangat! Berita Hangat ini hanya diperuntukkan kepada   50 Orang!

Si budi kecil itu, berjalan dan berkeliling sembari meneriakan hal yang sama.

Dan……Ya, malam itu kelima puluh koranya terjual habis seketika. Sungguh si budi kecil tidak hanya menunggu hujan duit datang kepadanya.

Bila saudara baca kembali pada ayat 5, Yoas telah memberikan perintah kepada orang Lewi untuk mengumpulkan uang bagi Rumah Tuhan. Tapi apa yang dilakukan orang Lewi? Mereka tidak segera melakukannya, sampai di ayat 6 dituliskan Yoas memanggil mereka kembali dan menginstrusikan tugas dan tanggung jawab mereka seperti yang telah dikenakkan Musa saat di padang Gurun.

“Semua ada waktunya….” Sering menjadi dalih yang dipakai oleh beberapa orang untuk tidak berusaha dan sekedar menunggu. Alih-alih berserah, tindakan semacam ini sebenarnya adalah tindakan yang justru menyia-nyiakan potensi yang Tuhan berikan dalam diri kita.

Saya tidak mengetahui apakah yang menjadi pergumulan gereja saudara. Apakah itu pada perawatan, renovasi atau pembangunan. Tetapi, inilah kenyataanya bahwa Gereja membutuhkan partisipasi semua orang yang ikut bersekutu dan menjadikan Tuhan sebagai kepala Gereja. Seperti budi kecil tadi, bergeraklah dan berusahalah, jangan sekedar rindu. Sebab rindu itu berat.

Komentar