BICARA TENTANG PEMBAHARUAN ITU SULIT! / 2 Raja-Raja 23:1-14



Alkisah, ada seorang murid baru yang diperintah oleh gurunya untuk mengambil air di dekat sebuah sumur yang terletak di belakang perguruan.

Si murid pun bergegas menuju ke belakang untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan. Tanpa berpikir panjang atau mempelajari situasi di sekitar sana, pikiran dan langkah kakinya langsung tertuju pada sumur dan ember untuk menimba air.

“Aha… itu dia ember kosong dan talinya,” serunya. Dengan gembira, dia pun mulai memegang tali dan mengayunkan ember ke dalam sumur. Tetapi sampai tali yang dipegang di tangan hampir tiba di ujung, dirasakan ember nya tetap kosong, tidak juga menyentuh air di dalam sumur. Maka dia melakukan usaha lebih keras.

Tubuhnya ikut dilengkungkan ke bawah seraya matanya menatap nanar berusaha menembus kegelapan sumur sambil tangannya sibuk mengayun-ayunkan ember.

Tetapi tetap saja tidak ada apa pun yang tersentuh ember di bawah sana.  Panas yang terik dan usaha sepenuh hati yang dilakukan berkali-kali membuat keringat mengucur deras membasahi bajunya.

Murid itu pun mulai merasa kesal dan jengkel. Usahanya berkali-kali dan keinginannya untuk tidak menyerah tetapi tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, membuat emosinya semakin memuncak.

Dari kejauhan, sang guru menyaksikan ulah si murid. Dengan senyum sabarnya dihampiri si murid. Melihat kedatangan gurunya, si murid segera berkata lantang, “Guru, saya sudah berusaha menimba air tetapi kelihatannya sumur ini sudah kering. Jika sumur ini tidak berair, mengapa Guru memerintahkan saya untuk mengambil air?”

Gurunya balik bertanya, “Berapa kali kamu menimba?”

Si murid menjawab dengan emosi, “Sudah berkali-kali. Lihat saja bajuku sampai basah kuyup begini!”

Sang Guru berkata lagi, “Kalau kamu merasa sumur itu kosong, mengapa harus terus menimba? Kamu marah, ya? Kemarahanmu sampai menutup kesadaran dan akal sehatmu ya?” Plaaaak!  Kepala si murid pun dipukul oleh sang Guru.

“Lihat ke samping sumur itu, di sana ada keran air. Tinggal dibuka krannya, airpun mengalir. Guru suruh kamu mengambil air di dekat sumur, bukan menimba di sumur!”

Seketika wajah si murid merah padam… dia merasa malu sekaligus merasa begitu bodoh karena telah membuang energi dan kemarahan tidak pada tempatnya.

Tak lebihnya dengan refleksi kita hari ini pula, Raja Yosia juga mengira diri dan bangsanya telah menjalani kehidupan rohani yang benar. Namun setelah kitab Taurat yang telah lama hilang tersebut dibacakan, sang raja menyadari bahwa selama ini ia dan rakyatnya telah tidak menaati Allah dan terpisah dari-Nya. Sebagai tanda pertobatannya, ia mengoyakkan pakaiannya dan membuat perjanjian di depan khalayak ramai "untuk hidup dengan mengikuti Tuhan, dan tetap menuruti perintah-perintah-Nya" (2raja 23:3). Sebagai hasilnya, bangsa tersebut bertobat dan kembali kepada Allah.

Juga pada kehidupan kita sehari-hari berapa banyak diantara kita yang menganggap bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik secara rohani dan bahwa kita sudah melakukan yang semestinya, padahal kenyataannya tidak demikian.

Itulah mengapa Albert Einstein pernah mengatakan, bahwa hanya orang gila yang melakukan hal yang sama secara terus menerus namun mengharapkan hasil yang berbeda. Karena, hanya dengan pembaharuan maka ada perbaikan dan hanya dengan pembaharuan maka ada hasil yang berbeda.

Tapi, BICARA TENTANG PEMBAHARUAN ITU SULIT! Sesulit kita mengajak para KPOPERS mencintai lagu dan film-film Bollywood. Mungkin kita berfikir berada di posisi  Imam Besar Hilkia ataupun Raja Yosia akan membuat kita dengan lebih mudah membicarakan pembaharuan. Padahal kenyataanya tidak demikian, membicarakan pembaharuan itu sulit dikarenakan tidak semua orang memiliki kesadaran dan pemikiran seperti yang telah kita dapatkan. Bahkan, tidak jarang dengan kapasitas dan hal-hal yang kita miliki seperti Imam Besar Hilkia ataupun Raja Yosia membuat kita terjebak pada penilaian, penghakiman ataupun perbudakan yang baru kepada orang lain saat ingin membicarakan pembaharuan.

Karena itu, “terkadang” kita tidak perlu membicarakan pembaharuan. Sebaliknya, meminta Hikmat dari Allah untuk menyatakan dan melakukan pembaharuan dalam diri akan jauh lebih berdampak dengan sekitar kita daripada menyibukan diri untuk terus menerus membicarakannya.

Komentar