BERSIAPLAH, RAJA MULIA AKAN DATANG / Lukas 12:35-40 - Mazmur 24:7-10

 


Dalam dunia militer ada satu kata yang hampir pasti selalu diucapkan setiap anggota satuan. Kata apakah itu? Kata itu adalah “SIAP” . Siap adalah kata yang selalu diucapkan setiap anggota satuan dalam dunia militer sebelum atau pada saat seorang anggota menerima perintah dari atasan atau sesamanya. Kata ‘Siap’ yang melekat pada mulut setiap anggota militer itu memang kedengarannya sangat singkat dan sederhana, tetapi kata itu memiliki kekuatan luar biasa dalam menentukan arah gerakan dan  model aksi yang akan dilakukan seorang anggota militer. Setiap perintah, aba-aba yang diarahkan kepada setiap anggota militer pasti disambut dengan kata, “Siap!”.

Kata ‘siap’ seperti ini selalu bernuansa harapan karena dalam kata itu tersembunyi atau impilisit ada kerinduan dan kemauan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu secara baik dan sukses. Siap dan kata ‘siap’ biasanya menjadi titik awal untuk setiap kesuksesan dalam hidup. Tidak ada kesuksesan yang dicapai tanpa persiapan. Kesuksesan untuk akhir suatu tindakan atau pekerjaan selalu menghadirkan kata siap dalam seluruh prosesnya. Seorang palajar, mahasiswa yang sukses misalnya selalu dikaitkan dengan kualitas persiapannya dalam seluruh proses yang terjadi. Seorang petani dapat dikatakan sukses hanya jika ia siap menjalankan pekerjaannya sebagai petani secara baik. Seorang pejabat pemerintah yang sukses adalah seorang yang sungguh memiliki kata siap dalam dan selama ia memerintah.  Begitu seterusnya kalau ada kata siap pasti ada kata sukses. Singkat kata, tidak ada kesususesan tanpa persiapan. Kata sukses menjadi anak sulungnya kata ‘Siap’.

Konsep ‘siap’ menurut Yesus dalam Lukas 12:35-40 menekankan kewaspadaan dan kesiap sediaan dalam menanti kedatangan Tuhan Yesus kembali. Ayat 35, pinggang yang tetap berikat selaras dalam pemahaman yang disampaikan Rasul Paulus dalam Ef 6:14, berikat pinggangkan kebenaran sebagai salah satu perlengkapan senjata Allah; pelitamu tetap menyala, bermakna kesiap siagaan dalam menunggu bandingkan dengan perumpamaan gadis-gadis yang bijaksana gadis-gadis yang bodoh dalam Mat 25:1-13. Hamba tidak tahu kapan tuannya pulang tapi hamba harus beraga-jaga dan siap sedia menyambut tuannya kembali. Sikap si hamba akan membahagiakan dirinya dan tuannya (ay 38). Setiap orang percaya harus siap sedia menunggu kedatangan Tuhan Yesus dalam sikap waspada.

Adapun kewaspadaan yang diharapkan tentu bukanlah kewaspadaan dengan rasa ketakutan. Sebaliknya, kesiapsediaan kita ini harusnya digambarkan seperti Mazmur 24 yang dalam pujian-pujian dan sukacita menerima kehadiran Tabut Perjanjian di Bait Allah.

Sebab berbicara mengenai kedatangan Tuhan, fikiran kita seringkali terjebak pada ‘hari kiamat’ yang ‘menyeramkan’, yaitu tentang bagaimana orang- orang Kristen akan mengalami penderitaan, kerusakan alam, bencana alam, dan berbagai kengerian-kengerian yang lain.

Dasar pemikiran tersebut juga seringkali didengung-dengungkan supaya banyak orang bertobat. Jika demikian, bukankah berarti pertobatan yang dilakukan adalah pertobatan yang didasari karena ketakutan? Kita berbuat baik karena takut masuk neraka, berkata sopan karena takut neraka, melayani karena takut neraka, tidak selingkuh karena takut neraka, mentaati nasihat orang tua karena takut neraka, dan segala perbuatan baik lainnya dilandasi karena takut pada sebuah penghukuman.

Apakah bagi kita sebagai orang yang mempercayai dan beriman kepada Kristus, pelayanan, perbuatan baik, kata-kata kasih, doa, saat teduh, ibadah, dan berbagai aktifitas lainnya juga didasari / dimotifasi oleh ketakutan?

Jika iya...betapa menderitanya hidup kita!

Adakah seseorang yang mencintai, namun hidupnya dipenuhi dengan ketakutan, dengan kebohongan, dengan kepalsuan?

Jika kita sedang menanti seseorang yang kita cintai, bukankah penantian kita dipenuhi dengan gairah dan sukacita yang membara? Bukankah tidak ada ketakutan di sana? Bukankah kita akan berdandan sebaik mungkin? Bukankah kita akan memperlihatkan muka kita sesempurna mungkin? Bukankah kita akan membersihkan tempat tinggal kita sebaik mungkin? Bukankah kita akan mempersiapkan begitu banyak cerita tanpa ada yang ditutup-tutupi? Bukankah semuanya itu kita lakukan dengan penuh sukacita?

Jika Tuhan adalah sosok yang kita cintai dengan tulus, bukankah kita akan memberikan yang terbaik bagiNya?

Jika membicarakan hari Tuhan namun hati kita dipenuhi dengan ketakutan, maka kita perlu memeriksa jauh ke dalam hati kita, sudah tuluskah cinta kita padaNya?

 

Komentar