RAKUS? Bilangan 11:31-35



Ada sebuah pepatah Latin yang  berbunyi, “Gula plures interemit quam gladius,” artinya kerakusan itu membinasakan lebih banyak hal dibandingkan pedang.  Di dalam kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata rakus memiliki pengertian suka makan banyak dengan tidak memilih; lahap; gelojoh. Bahan khotbah menceritakan tentang kerakusan yang dapat merugikan diri sendiri, sekaligus mendatangkan murka Tuhan.

Tuhan menghembuskan angin membawa burung puyuh mengarah kepada mereka yang berjalan di padang gurun. Bangsa itu mengumpulkan banyak, selama dua hari, siang dan malam, mereka bahkan mengumpulkan, masing-masing 10 homer (1 homer = 360 liter x 10 = 3600 liter = 3,6 ton). Ada dua hal yang perlu kita simak dari cara bangsa Israel ini yaitu: pertama, mereka mengambil bagi dirinya lebih dari kebutuhannya, mereka hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan yang lain. Kedua, mereka takut tidak mendapat makanan untuk keesokan harinya. Rasa takut membuat mereka melupakan, bahwa Tuhan dapat memberi jaminan bagi hidup mereka. Kerakusan membutakan mereka. Coba bayangkan selama dua hari mereka tidak mengalami kelelahan karena pikiran mereka hanya mengumpulkan. Mereka membabi buta sampai memiliki 3,6 ton burung puyuh? Dapatkah itu dihabiskan dalam seminggu dan dapatkah itu bertahan untuk bekal selama satu bulan? Kerakusan membuat mereka hanya ingin mengumpulkan dan mengumpulkan. Kerakusan juga menutup mata mereka akan berkat dan pemeliharaan Tuhan atas hidup dan masa depan mereka.

Saya teringat dengan salah satu buku yang sering direview di tahun 2018 ini adalah buku yang berjudul “Homo Deus”. Sayapun tidak begitu mengetahui apa yang membuat banyak orang menyukai buku ini. Tetapi sekilas, beberapa halaman yang saya baca dari buku ini. Pemikiran saya dibukakan dengan situasi-situasi yang sepertinya menjadi pembahasan secara luas. Salah satunya ketika pembahasan mengenai kesehatan, dituliskan demikian;

Kelebihan makanan telah menjadi masalah yang jauh lebih buruk ketimbang bencana kelaparan. Salah satu faktornya adalah, ketika massa yang kelaparan dinasihati bahwa jika mereka kehabisan roti, mereka harus makan kue. Kini kamu miskin, secara harafiah mengikuti nasihat ini. Sementara beberapa penduduk kaya Beverly Hills, makan salad selada, dan tahu kukus dengan biji gandum, diperkampungan kumuh dan perkampungan minoritas miskin, sementara orang-orang miskin melahap kue Twinkie, cemila ala Cheetos, hamburger dan pizza. Pada 2014, lebih dari 2,1 miliar orang kelebihan berat badan. Coba bandingkan dengan 850 juta orang yang menderita gizi buruk. Setendah dari populasi manusia diperkirakan kelebihan berat badan pada 2030. Pada 2010, kelaparan digabung dengan gizi buruk membunuh sekitar satu juta orang, sedang obesitas membunuh tiga juta orang. {Harari, Yuval Noah; Homo Deus (2018) hal. 6}

Jelaslah bahwa makanan sudah menjadi bagian dari masalah dalam proses manusia menjaga kesehatannya.

Kemudian, berbicara mengenai kerakusan juga tidak terbatas hanya soal makanan, kata rakus secara lebih luas dimaknai dengan pengertian “ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan; loba; tamak; serakah”. Itulah mengapa sifat ini tidak pernah memberikan kedamaian, sebaliknya kehidupan semacam ini akan membuat seseorang mudah mengalami depresi dan stress. Mengapa? Karena hidupnya penuh dengan kekhawatiran dan keinginan yang berlebihan. Itu jugalah mengapa perjalanan bangsa Israel kala itu, bukanlah perjalanan yang damai. Sebab setiap waktunya jiwa kerakusannya bergejolak oleh keinginan dan kekhawatiran dalam diri.

Nah, pertanyaannya sekarang. Apakah hal serupa juga merasuki kehidupan kita saat ini?

Suatu hari seorang ayah dan anaknya sedang duduk berbincang-bincang di tepi sungai. Sang Ayah berkata kepada anaknya, “Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan mati.” Pada saat yang bersamaan, seekor ikan kecil mendengar percakapan itu dari bawah permukaan air, ikan kecil itu mendadak gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini. Ikan kecil itu berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya, “Hai tahukah kamu dimana tempat air berada? Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.”

Ternyata semua ikan yang telah ditanya tidak mengetahui dimana air itu. Si ikan kecil itu semakin kebingungan. Lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sesepuh yang sudah berpengalaman, kepada ikan sesepuh itu ikan kecil ini menanyakan hal yang sama, “Dimanakah air?” Ikan sesepuh itu menjawab dengan bijak, “Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu bahkan tidak menyadari kehadirannya.“

Manusia kadang-kadang mengalami situasi yang sama seperti ikan kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya, bahkan kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai ia sendiri tidak menyadarinya. Terkadang kita tidak sadar bahwa apa yang kita miliki saat ini sudah cukup membuat kita bahagia.

Tahukah kita?

Banyak ahli kesehatan membuat sebuah kesimpulan yang mengatakan 90% banyak penyakit zaman sekarang ini diakibatkan pikiran. Sekarang ini banyak orang yang melakukan “diet makanan” untuk kesehatan ras kebugaran tubuh. Tapi ada juga yang penting dari itu yaitu “diet pikiran” untuk mendapatkan hasil yang maksimal selama “diet pikiran”

Bagaimana caranya?

Sederhananya, setiap orang hanya perlu menyadari bahwa banyak hal yang tidak bisa kita control dalam kehidupan ini. Untuk itu, kita tidak perlu berharap dan memaksa semua menjadi baik. Sebaliknya, responlah kesemua itu dengan baik untuk membuat hidup bisa lebih baik.

Komentar

Unknown mengatakan…
Makanlah seperlunya.🤗