“……..JADILAH PADAKU MENURUT PERKATAANMU ITU.” / Lukas 1:38



Dalam kehidupan para bintang Film banyak kisah yang mengungkapkan bahwa perjalanan karir mereka tapaki dengan tidak mudah. Ada yang untuk mendapatkan kesempatan berkiprah di dunia Film mereka harus berkorban terlebih dahulu baik tenaga, pikiran, harta bahkan berkorban harga diri. Ada yang sudah berhasil namun akhirnya tenggelam lagi karena pelbagai faktor. Dalam kisah yang lain ada juga kisah dimana mereka yang secara kebetulan dari seorang figuran, karena satu dan lain hal akhirnya mereka mendapatkan kesempatan tak terduga menjadi Bintang utama dan akhirnya menjadi aktor yang terkenal, yang disanjung dan dipuji. Dalam Alkitabpun ada Figur yang justru sering kali dianggap hanya figuran dalam Kekristenan.

Ya, dia adalah Maria, seorang yang mengatakan kepada Malaikat “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Kata-kata yang keluar dalam ketidaksiapannya, ia menerima dengan siap dan berserah penuh pada kehendak Tuhan. Dalam kesiapannya, ia harus merelakan anaknya untuk pergi melayani banyak orang. Setelahnya? Bunda Maria, harus menghancurkan hatinya sendiri untuk melihat anaknya yang mati di Kayu Salib demi keselamatan banyak orang. Itulah mengapa sosok ini bagi Marianne Kattopo juga sebagai role model yang sangat peka terhadap ketidakadilan sosial dan kesediannya mengambil risiko demi suatu perubahan sosial yang diperlukan. Bahkan juga layak menjadi model utama dari kemanusian yang bertumbuh menjadi citra Tuhan sepenuhnya. Sebab Maria menerima tindakan Tuhan, ikut serta dalam misi menyampaikan kabar baik tentang keselamatan kepada dunia, itulah alasan mengapa ia menjadi role model bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk lelaki. Maria merupakan manuisa yang baru (lelaki-perempuan), bersikap siap menerima di hadapan Tuhan, yang memanggilnya menjadi imago Dei.

Pertanyaannya, ada kah hal serupa juga kita hidupi, bersikap siap menerima di hadapan Tuhan, memanggil kita untuk menjadi gambaran dan rupa Allah yang hidup dalam lingkungan kita?

Tahukah saudara, Betapa banyak di antara kita yang selalu bertahan pada rasa tidak suka yang bisa menjadi awal pertengkaran, kesalahpahaman, pemicu kemarahan, atau saat menyakitkan lainnya. Kita bersikeras menunggu orang lain mendekati kita – percaya bahwa inilah satu-satunya cara yang akan membuat kita bisa memaafkan atau menghidupkan kembali sautu persahabatan atau hubungan keluarga.

 

Salah satu film menarik dari India, berjudul “Dream Girl” menceritakan tentang seorang laki-laki bernama Karam yang mampu menirukan suara perempuan. Karena sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan latar belakang akademinya, dan situasi perekenomian keluarga yang terlilit utang, membuat dirinya bekerja dalam sebuah perusahan legal yang memanfaatkan suara perempuannya. Perusahan tersebut mempekerjakan perempuan-perempuan (kecuali Karam) untuk menerima setiap panggilan dari laki-laki yang merasakan kesepian. Pekerjaan yang diguluti Karam membuat dirinya banyak disukai oleh para lelaki yang menelponnya. Bahkan, dalam cerita tersebut adapula seorang perempuan yang sudah tiga kali gagal dalam berumah tangga dan tidak mempercayai laki-laki mencintai suara Karam. Hal yang dilakukan Karam, sangatlah sederhana, merubah nama menjadi Pooja dan suaranya sangat mirip dengan perempuan. Ia memberikan telinganya untuk mendengar setiap masalah-masalah dan kesukaan-kesukaan dari penelponnya. Selebihnya, tidak ada! Ia tidak melakukan apapun selain berkomunikasi dengan para penelponya. Kegiatan tersebut ternyata, membuat dirinya memiliki banyak sekali palanggan.

Menarik dari refleksinya setelah melakukan kegiatan tersebut adalah Karam memperingatkan semua orang, bahwa populasi manusia mungkin semakin meningkat, tetapi hal serupa juga meningkatkan rasa kesepian. Hal tersebut, dia rasakan ketika Karam memberikan rasa empati dan dirinya bagi pelanggannya. Sesuatu yang sebenarnya dapat orang lain lakukan, tapi kita berhenti untuk tidak melakukan hal tersebut.

Mengapa? Karam mengumpamakannya dengan foto. Fakta yang dilihatnya betapa banyak orang lebih mementingkan foto selfie kita, bukan foto kebersamaan bersama orang-orang yang kita sayangi. Bahakan hal tersebut, membuat ego seseorang semakin tinggi, sampai batas kesepian itu memuncak. Orang-orang dapat membunuh dirinya sendiri, sembari melupakan lingkungan yang begitu mengasihinya.

Jadi bagaimana dengan kita? Masihkah kita terjebak pada anggapan akan “Harga diri” “Posisi” “Status” “Jabatan” sebagai yang terpenting dalam hidup? Bukankah “kebahagian” menjadi utama dalam hidup? Bila saudara setuju, maukah kita menghilangkan sikap individualis ini? Maukah kita menyirnahkan kesepian yang diakibatkan karena ego kita?

Ingatlah ini saudaraku, Belajar dari Maria, ia dapat menyebut dirinya sebagai perempuan bahagia dalam Lukas 1:46-48, karena baginya menyatakan kasih Allah bagi dunia jauh lebih penting daripada posisinya.

Komentar