CERITAKANLAH PADA KETURUNANMU / MAZMUR 78:1-8

 

Photo by Freepik


Orangtua ingin anaknya pandai di sekolah, sebab itu mereka mengajarkan anaknya menulis dan berhitung sebelum anak bersekolah. Namun sebenarnya, yang lebih perlu adalah membekali anak dengan kemampuan dasariah, misalnya konsentrasi, imajinansi dan vokabulari. Kemampuan berkonsentrasi, misalnya diperlukan setiap orang seumur hidup. Banyak mahasiswa mengalami kesulitan belajar bukan karena kurang cerdas, melainkan karena kurang mampu berkonsentrasi, misalnya barus saja membaca sepuluh halaman namun pikiran sudah melayang atau sudah ingin mengobrol. Sejak dini orangtua bisa menolong anak untuk berkonsentrasi, salah satunya dengan mengambil waktu bersama anak untuk bercerita.

Metode bercerita merupakan salah satu kegiatan yang disenangi oleh anak, dimana cerita itu harus mengandung makna yang berarti bagi anak. Stewigh (1980) menyatakan bahwa “anak senang pada cerita karena terdapat sejumlah manfaat bagi anak dalam perkembangan dan pembentukan pribadi anak”. Bercerita merupakan sebuah karya sastra yang dapat membantu meningkatkan konsentrasi dan daya ingat anak, meningkatkan kemampuan eksplorasi anak melalui karakter tokoh dalam cerita. Selain itu, kegiatan bercerita juga dapat meningkatkan imajinasi anak serta merangsang kognitif anak. Melalui bercerita dapat menyampaikan pesan-pesan moral secara lisan kepada anak.

Seperti kisah, Penulis Ronald Rood mengajar anak-anak kelas dua dengan memberikan presentasi melalui slide mengenai sebuah gunung berapi di Hawai. Gambar-gambar itu menunjukkan lava cair yang mengalir ke laut dan uap panas yang membubung ke udara sampai setinggi satu setengah kilometer. Pemandangan itu tampak begitu nyata sehingga anak-anak seolah-olah bisa mendengar suara gemuruhnya. Kemudian Rood mengedarkan sepotong lava beku agar anak-anak dapat mengamatinya. Sesudah semua anak memegang lava tersebut, seorang anak kecil membawanya kembali ke depan kelas. Dengan hati-hati ia memainkan batu tersebut di tangannya, lalu tiba-tiba berteriak dengan membelalakkan mata, "Pak, lavanya masih hangat!"

Ya, seperti kisah Rood, demikianlah kekuatan dari metode bercerita!

Terakhir, menjadikan anak pandai bukan berarti memberi ilmu, melainkan memberi dasar agar anak itu sendiri menggali ilmunya. Ibarat sebuah rumah peran orangtua adalah meletakkkan fondasi, sedangkan rumah itu sendiri dibangun oleh anak yang bersangkutan.

Seperti yang menjadi bahan dalam refleksi kita hari ini, maka fondasi itu dibangun dengan cerita-cerita dalam Alkitab. Sebab, Mazmur 78 adalah panggilan bagi kita untuk menjadi pencerita akan kehebatan kuasa dan kasih Allah bagi orang lain. Kita bisa menggunakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu sebagai bahan cerita, atau kita juga bisa memperlihatkannya dengan kehidupan kita saat ini. Apapun cerita yang kita ambil, harapannya adalah membawa orang untuk memuliakan Allah, Sang Pencerita Agung.

Itu jugalah warisan terbaik bagi anak, sebuah fondasi bukan bangunannya. Kita bangga kalau fondasi yang kita letakkan itu kokoh sehingga anak berhasil membangun sesuatu yang berguna. Kebanggaan orangtua adalah kalau pewarisnya bermanfaat.

Komentar