Bertambahlah Kasih dalam Dirimu / Filipi 1:8-11

 


Apa yang terlintas dalam benakmu saat berbicara mengenai “persekutuan”? Berbicara mengenai persekutuan, tentu tidak terlepas dengan Gereja. Suatu tempat yang tepat untuk mendapatkan informasi terbaru tentang apapun, pertandingan sepak bola, pengumpulan nilai pertandingan golf, berita keluarga, masalah kesehatan, atau sekadar berjumpa dengan teman-teman. Acara minum kopi bersama, jabat tangan yang hangat, tepukan bersahabat di pundak, merupakan bagian dari interaksi sosial yang kita butuhkan sebagai manusia.

Apakah ada yang salah dari semua bentuk sosialiasi tersebut? Tentu Tidak! Namun pernahkah diantara kita merungkan kembali makna yang lebih dalam dari sebuah persekutuan? Bila kita melihat bahan yang menjadi refleksi kita hari ini, maka kita akan menemukan bahwa Paulus menunjukkan gambaran menarik mengenai persekutuan. Ia memulai suratnya dengan berterima kasih pada jemaat Filipi untuk “persekutuan mereka dalam Berita Injil” (Filipi 1:5).

Persekutuan yang menarik bukan? Dapat dibayangkan, ketika Paulus banyak menulis surat untuk mengoreksi atau menegur permasalahan di jemaat mula-mula, suratnya untuk jemaat Filipi terlihat berbeda sebagai surat yang berisi ucapan syukur dan sukacita.

Tentu, persekutuan ini memiliki kekurangan. Terlihat dari beberapa pasal setelahnya, ada indikasi orang-orang yang membuat kekacauan dalam persekutuan tersebut dan sampai membuat Paulus berkata sangat keras di pasal yang ketiga. Persekutuan Filipi dan kedekatannya dengan Paulus ataupun keributan setelahnya menunjukkan kepada kita bahwa bersosial itu seperti telur dan keranjang. Telur telur dapat retak karena mereka ada dalam satu wadah yang sama. Kalau letaknya berjauhan, tentu tidak akan saling berbenturan dan retak. Begitu pula halnya dengan orang orang dalam persekutuan atau bahkan keluarga kita sendiri. Kedekatan dan wadah yang sama, membuat kita bisa saling berbenturan.   Karena dalam kedekatan tersebut muncul berbagai macam perasaan, misalnya cinta, kecewa, butuh, amarah, rindu, cemas dsb. Perasan-perasaan yang dapat menimbulkan kerukunan dan secara serempak juga keributan.

Pada titik ini, mengembangkan  kasih tulus dalam diri, sangatlah penting. Hanya dengan demikian, kita mampu melihat dan menerima segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas. Tampaknya, demikian jugalah hal yang diharapkan sehingga Paulus menambahkan: “dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian” (1:9a). Mengapa hal ini menjadi penting? Karena dengan sikap demikian ini, saat seorang berlaku aneh atau tidak sepaham dengan kita, bukannya bereaksi dalam cara yang bisa kita lakukan, misalnya “Aku tidak mengerti mengapa mereka bersikap seperti itu,” Sebaliknya, saat saudara menjadikan diri sebagai seorang antropolog, saudara akan berkata seperti ini kepada diri sendiri, “Yah, aku mengerti, mungkin memang ini caranya memandang sesuatu dalam hidupnya. Menarik sekali”  

Bila saudara mampu sampai pada tahap demikian ini, maka saudara akan lebih kepada berempati terhadap satu kejadian bukan sebuah penilaian apalagi penghakiman. Sebab dalam tindakan tersebut kita telah menggantikan menjadi kebaikan yang penuh kasih, yakni memahami dan mengerti orang lain. Alhasil, kita yang secara tulus ingin mengetahui bagaimana orang bereaksi atau perasaan mereka terhadap suatu hal, tidak akan memunculkan perasaan jengkel atau kesal apalagi sampai memberikan penilaian.

Terakhir, ada sebuah kisah tentang sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan disebuah huta pada suatu malam musim panas yang indah sesuai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan.

Tatkala mereka mendengar suara di kejauhan, “Kuek! Kuek!”

“Dengar,” kata si istri, “Itu pasti suara ayam!”

“Bukan, bukan. Itu suara bebek,” kata si suami.

Tapi tetap saja, si istri tidak mendengar dan menganggap itu sebagai suara ayam. Perdebatan yang panjang itupun membuat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya, suami itu teringat kenapa dia menikahinya. Dengan wajah dan kata lembut, si suami meminta maa kepada istrinya. Suami akhirnya sadar bahwa yang lebih penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang indah itu.

Berapa banyak kekeluargaan,persekutuan dan kelompok yang harus bubar karena hal-hal “ayam atau bebek”?

Saudaraku, Inisiatif minta maaf dengan tulus bukan hanya cara yang efektif untuk memperbaiki hubungan yang rusak. Tetapi juga membuat diri damai dan bahagia. Mengapa? Karena setiap kali memendam amarah, kita mengubah “masalah kecil” menjadi “masalah besar” dalam pikiran kita. Kita mulai percaya bahwa posisi kita lebih penting daripada kebahagian kita. Ternyata tidak demikian. Bila kita ingin menjadi orang yang lebih damai, kita harus memahami bahwa menjadi yang benar hampir tak pernah lebih penting daripada membuat diri kita bahagia. Cara untuk menjadi bahagia adalah membiarkan masalah itu berlalu dan mulai berbicara lebih dahulu. Biarkan orang lain menjadi yang benar. Ini tidak berarti kita bersalah. Semua akan baik-baik saja. Kita akan menikmati pengalaman membiarkan masalah berlalu, juga nikmatnya membiarkan orang lain menjadi yang “benar”, mereka akan menjadi tidak defensif dan lebih menyukai kita. mereka mungkin akan mendekati kita kembali. Tetapi, bila karena berbagai alasan mereka tidak melakukannya, itu tidak menjadi soal juga. Kita akan mendapatkan kepuasan batin dari memahami bahwa kita telah mengerjakan tugas kita untuk menciptakan dunia yang penuh kasih sayang dengan menjadi pantulan kasih Kristus kepada banyak orang, dan tentu saja kita sendiri akan menjadi lebih tenteram.

Komentar