MAAF / Efesus 4:31

 


Pada umumnya orang mengatakan bahwa maaf-memaafkan senantiasa membawa kebaikan, namun pada kenyataanya tidaklah demikian. Akibatnya, sejumlah individu berupaya untuk bertindak terburu-buru memberi maaf, sebaliknya juga terburu-buru mengharapkan segera dimaafkan ketika memintanya, namun akhirnya mereka kecewa karena kenyataanya yang mereka hadapi sama sekali berbeda. Memberi maaf seperti layaknya membebaskan seorang tahanan dari belenggu kesalahan. Terlalu cepat memberi maaf menyebabkan tahanan bebas tanpa dikenai sangsi. Sebaliknya , individu yang memberi maaf tadi sepertinya menggantikan kedudukan sebagai tahanan. Dapat dibayangkan jika seseorang terlalu cepat memberi maaf kepada pihak lain akibat dari peristiwa yang menyakitkan. Tentu saja hal itu tidak akan mudah dilakukan. Ada beberapa alasan tentang hal ini. Di antaranya dijelaskan di bawah ini;

Bila terlalu cepat dimaafkan, apalagi ketika kesalahannya besar, pihak yang bersalah akan merasa bahwa perilaku yang ia lakukan tidak memiliki bobot yang berarti bagi keretakan hubungan mereka. Akibatnya, dia akan menganggap perbuatan tersebut tidak perlu dipermasalahkan sehingga kalaupun terjadi kembali tidak akan menimbulkan masalah besar.

Sebaliknya, pihak yang tersakiti berharap dengan memberi maaf akan memperolah penghargaan dari pelaku. Kenyataannya justru tidak demikian. Ia terbelenggu ucapan maafnya sendiri, kecewa dengan pemberiaan maaf yang seolah-olah tidak bermakna.

Dengan memberi maaf pada seseorang secara otomatis menjadikannya sebagai seorang individu yang baik. Kenyataanya tidak demikian. Banyak yang memberi maaf dengan melakukan cara martir. Mereka mengorbankan perasaannya sendiri. Adakalanya mereka memendam perasaan, memaklumi perilaku pihak lain, dan memaafkannya dengan mudah sekali. Di balik perbuatan ini sesungguhnya terkandung niat untuk menunjukkan superioritas moral terhadap oranglain melalui perilaku seperti mau mengorbankan perasaan. Kenyataanya imbalan tcrsebut belum tentu diperolehnya. Sebaliknya, pihak yang bersalah menjadi kurang tanggap dengan sikap pihak lain karena merasa bahwa dianggapnya tidak peduli lagi pada dirinya dan sama sekali tidak berusaha memberikan penghargaan lebih atas perilaku martirnya.

Ada juga anggapan bahwa memberi maaf secara otomatis dapat mengatasi konflik sehingga kelangsungan hubungan dapat berjalan terus. Dalam kasus-kasus tertentu memberi maaf sesuai dengan kewajarannya memang dibutuhkan. Akan tetapi hal ini tidak secara otomatis mengatasi konflik antar personal, yang menjadi masalah dalam tindakan memaafkan, maaf dapat diberikan tanpa perubahan sikap dan emosi terhadap orang yang bersalah.

Proses memaafkan adalah proses yang berjalan perlahan dan memerlukan waktu. Semakin parah rasa sakit hati semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk memaafkan. Kadang-kadang seseorang melakukannya dengan perlahan-lahan sehingga melewati garis batas tanpa menyadari bahwa dia sudah melewatinya.

Ingatlah, “proses” itu “keharusan” bukan untuk “pembenaran diri” yang tidak bisa memberikan maaf. Sebab kita menyimpan kemarahan terhadap orang lain, disadari atau tidak, rasa marah itu sedikit demi sedikit menggerogoti hati kita, memperdalam luka dan membebani kita dengan perasaan negatif terus-menerus. Padahal, orang yang menyakiti kita belum tentu mengingat kesalahan yang telah ia perbuat kepada kita atau merasakan penderitaan yang sama.

Menurut Dr. Frederic Luskin dalam bukunya “Forgive for Good”, memaafkan memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran, seperti percaya diri dan harapan serta mengurangi beban kemarahan, stres, dan penderitaan yang disebabkan olehnya. Secara fisik, kemarahan yang terpendam lama juga menyebabkan suhu tubuh meningkat dan mempersulit kita berpikir jernih. Belum lagi gangguan-gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke dan lain sebagainya.

Apakah kamu tidak dapat membalas perbuatan jahatnya? Tentu bisa! Namun, sesungguhnya lebih banyak ketenangan dan kemuliaan bagi kita ketika kita mau memaafkan. Memaafkan dengan tulus, lebih dari sekedar kata-kata, memang seringkali terasa sangat berat, tapi kalau kita berhasil melakukannya, ia akan menyembuhkan kita, secara fisik dan jiwa. Hati kita akan terasa lebih ringan dan bahagia. Kita tidak lagi membawa-bawa perasaan negatif atau membiarkan kezaliman orang lain merusak kebahagiaan kita.

Tak heran, Paulus menasihatkan hal serupa pada jemaat di Efesus, yakni “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.”. Sebab semua ini hanyalah menjadi penghalang untukmu berkembang sebagai manusia baru dalam Kristus.

Komentar